PERTEMUAN KEDUA

3555 Kata
Mentari bersinar cerah cemerlang pagi ini. Secerah wajah Jasmine yang mengenakan kembali seragam sekolahnya. Jasmine bercermin beberapa saat. Warna seragamnya sudah sedikit memudar, sedikit kekecilan dan rok yang dahulu masih di bawah lutut, kini menyusut sedikit. Bibirnya tersenyum, mengingat ia sudah beberapa waktu ini tak menyentuh seragamnya lagi, karena ia sedang dalam masa tenggang menunggu pengumuman kelulusan. Suasana hati Jasmine diselimuti kegusaran sekaligus bertanya-tanya. Hari ini adalah pengumuman kelulusan sekolah menengah tingkat atas. Dan Jasmine yang sudah kelas tiga ini tentu saja menunggu dengan harap-harap cemas. “Kelihatannya kamu gelisah, Jasmine? Apa kamu ragu dengan kelulusanmu sendiri?” Pak Affandy menyapa Jasmine yang sedang melahap sepotong roti bakar pagi ini. Sementara segelas s**u coklat panas telah terlihat surut dari gelas tak bercuping dan berpindah ke lambungnya. Menyegarkan rasa perih yang disebabkan oleh lapar malamnya. “Jasmine tidak gelisah, Yah. Cuman sepertinya... entah mengapa hati Jasmine resah dan berdebar.” “Sudahlah. Ayah yakin kamu akan lulus hari ini.” Spontan senyum manis menghias di bibir cantik Jasmine. Kalimat Ayahnya memang selalu menjadi penyejuk yang paling mujarab. “Ayah datang kan nanti?” “Akan Ayah usahakan, Jasmine. Semoga hari ini tidak ada rapat mendadak.” Gadis itu lalu mengangguk memaklumi kesibukan sang ayah. Tiba-tiba wajah Jose tergambar di pikiran Jasmine, laki-laki yang sudah tidak muda lagi untuk ukuran dirinya, namun sangat berwibawa dan penuh pesona. “Yah...” “Ya?” “Jasmine boleh bertanya sesuatu?” Pak Affandy menghentikan kunyahan rotinya dan  memandang Jasmine penuh tanya. Beliau mengangguk untuk memastikan bahwa Jasmine boleh bertanya. “Apakah... apakah Ayah mengenal Mister Jose dengan baik?” tanya Jasmine dengan sedikit terbata, karena ia takut pertanyaan ini membuat sang ayah heran. Betul saja, Pak Affandy menatap heran ke arah Jasmine dan kemudian mengangguk. “Ayah mengenalnya, tapi tidak begitu jauh.” “Emh, Ayah ... bagaimana dengan beliau?” Jasmine bertanya dengan nada pelan dan malu-malu. “Maksudnya?” Pak Affandy mengerutkan keningnya mendengarkan kalimat Jasmine yang tak biasa ini. “Yaa... apakah beliau baik, sudah berkeluarga mungkin? Atau yang lain?” Pak Affandy menghela nafas sejenak. Ditatapnya Jasmine dengan sedikit seksama. “Yang Ayah tahu, dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab, berkharisma, memiliki insting bisnis yang bagus dan memiliki etos kerja yang sangat tinggi. Hanya itu yang Ayah tahu selama bekerjasama dengan beliau.” “Istri?” Jasmine semakin kelihatan penasaran mendengar bagaimana persepsi ayahnya mengenai laki-laki menawan sekaligus menyebalkan itu. “Setahu Ayah dia masih lajang.” Pak Affandy menjawab dengan nada santai. Cesss... hati Jasmine mendadak sejuk mendengar keterangan ayahnya bahwa laki-laki itu masih single. “Sudah siang, Jasmine. Jangan sampai kamu terlambat mendengar pengumuman hanya karena obrolan ini.” “Siap, Yah.” Jasmine segera bangkit dari sofa di mana ia dan Pak Affandi duduk bersama. Jasmine sempat menoleh ke belakang, terlihat ada gurat bertanya-tanya di wajah ayahnya, mungkin ia memikirkan Jasmine yang tiba-tiba menanyakan Jose. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itu berkemas dan berlari kecil menuju ke depan, karena di sana, Pak Rusman yang merupakan sopir pribadi Jasmine sudah menunggu untuk mengantar ke sekolah. Tiba di sekolah, suasana ramai menyambut Jasmine. Jantungnya berdegub cukup cepat, gelisah menghalau pikirannya. Beberapa teman Jasmine hadir bersama orangtua mereka. Terlihat canda tawa terlihat dari wajah teman-temannya, walau ada pula sebagian yang sama seperti Jasmine, belum bisa tertawa lepas sebelum tahu nasibnya. Jasmine celingukan mencari Celline, teman sebangkunya. Tapi kelihatannya Celline tak ada. Atau belum datang mungkin, Jasmine membathin. “Hai, Jasmine?” terdengar suara perempuan menyapa Jasmine. Gadis itu menoleh dan tersenyum begitu tahu siapa yang datang. Clara, teman sekelasnya yang cantik dengan rambutnya yang sedikit coklat, menandakan bahwa dia ada darah campuran. “Hai, Clara? Kamu sudah datang juga?” Jasmine balik menyapa Clara. “Ya...” “Dengan orang tuamu?” lanjut Jasmine yang dijawab Clara dengan menggeleng. Wajahnya sedikit mendung. “Lantas?” “Seharusnya  kakakku yang datang. Tapi katanya dia ada rapat, jadi entahlah, mungkin aku akan tahu kelulusanku paling akhir.” Jasmine tersenyum lembut. “Kenapa harus bingung? Ada ayahku yang bisa kau mintai bantuan untuk mengambil lembar pengumuman kelulusan kamu.” Clara berbinar. “Apa mungkin bisa?” Clara meragu. “Mengapa tidak kita coba?” Clara tersenyum cerah, berharap bahwa ide Jasmine kali ini benar-benar bisa dia terapkan. Karena menunggu kakaknya datang untuk mengambil lembar pengumuman kelulusan akan sedikit sia-sia karena dia sudah mengatakan bahwa hari ini ada rapat, serta urusan perusahaan yang selalu lebih penting dari segala hal yang berbau remeh temeh seperti ini. “Ayo kita bergabung dengan yang lain. Ayahku janji, akan hadir nanti pada pukul sembilan.” Clara mengangguk dan mereka berjalan menuju segerombolan teman sekolahnya yang lain. Keceriaan mereka tak surut meski sebentar lagi mereka akan berpisah untuk melangkah ke jenjang yang lebih tinggi.   * * * * *   Rapat karyawan yang membahas laporan akhir bulan tiap-tiap divisi di kantor Jose terlihat demikian serius. Karena beberapa laporan terlihat mengalami data yang tidak sinkron, sehingga butuh klarifikasi dari masing-masing penanggung jawab. Jose merasa sangat gelisah karena hari ini dia berjanji akan menghadiri acara pengumuman kelulusan adiknya, Clara. Beberapa kali mata tajamnya melirik arloji mahal yang terpasang manis di pergelangan tangan kirinya, dengan pandangan gelisah. Sekretaris pribadinya seakan menangkap kegelisahannya itu. “Maaf, Sir. Anda terlihat gelisah?” dengan suara lirih, Roza, sekretarisnya yang cantik itu memberanikan diri untuk bertanya. Jose mengangguk tanpa menatap ke arah Roza. “Hari ini kelulusan sekolah Clara diumumkan. Dan saya sudah berjanji untuk datang.” Jose menjawab lirih. Roza manggut-manggut mengerti. “Anda bisa saja ijin dari rapat ini, mengenai laporan yang kurang sinkron, biar nanti saya yang meminta laporan itu pada kepala divisi.” Roza menjawab dengan suara masih terdengar lirih. Jose kelihatan berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Oke, terima kasih, Za.” “Sama-sama, Sir.” Lalu Jose interupsi untuk meminta waktu dan mengatakan bahwa dia akan undur sejenak dari rapat dan meminta kepada setiap kepala divisi untuk mengantar laporannya kepada Roza. Sebenarnya Jose paling sungkan jika harus pamit dari rapat, tapi dia tak punya pilihan. Hingga akhirnya menyetujui usul Roza, mangkir sejenak dari rapat. Beberapa karyawan yang tadi terlihat tegang kini bernapas lega karena memiliki waktu untuk meneliti ulang laporan mereka yang tidak sinkron. Dengan sedikit menambah kecepatan mobilnya, Jose berharap tidak akan terlambat memenuhi undangan pengambilan pengumuman kelulusan. Meski Jose tahu, bahwa bisa saja dia terlambat karena jadwal penyerahan adalah pukul sepuluh. Jose melirik jam di dashboard mobilnya, yang telah menunjukkan pukul sebelas. Setelah melalui kemacetan di jalan, akhirnya ia sampai juga di sekolah sang adik. Jose bergegas turun dan mencari gedung yang dimaksud dalam undangan kemarin. Namun rupanya gedung tersebut sudah sepi dan menurut salah satu pegawai administrasi, penyerahan pengumuman sudah selesai lima belas menit yang lalu. Padahal ia melihat suasana sekolah masih sangat ramai oleh siswa-siswi yang sepertinya sedang menunggu kelulusan berikut orang tua mereka masing-masing. Ia menghempaskan napasnya. Ada perasaan menyesal karena ia tidak bisa datang tepat waktu. Kedua bola matanya mengedar ke segala penjuru mencari keberadaan Clara. Kacamata hitam yang dikenakannya membuatnya tak terlalu mencolok sedang mencari seseorang. Namun dia segera menoleh ketika sebuah panggilan menyebut namanya. “Kak Jose!” Jose mencari sumber suara dan di sana, didapatinya Clara sedang berlari dengan riang mendekat ke arahnya. Sebuah amplop berwarna coklat ditentengnya dengan senyum mengembang, menunjukkan bagaimana riang suasana hatinya saat ini. Jose menyambutnya dengan wajah menyesal. “Clara, Kakak minta maaf nggak bisa tepat waktu,” ekspresi Jose dibuat sedemikian memelas hingga membuat Clara menahan tawanya. “Yang penting aku luluuussss!” lantas gadis itu melompat memeluk Jose, kakak yang berubah menjadi orang tua baginya. “Ups!” Jose yang terkejut langsung memeluk adiknya itu, untuk ikut merasakan kebahagiaan yang baru saja dirasakan oleh Clara. “Selamat ya, Cantiiikkk.” Masih dalam pelukan kakaknya, Clara mengangguk. “Tunggu, bagaimana kamu tahu bahwa kamu lulus, sementara Kakak datang terlambat?” Jose bertanya begitu Clara turun dari pelukannya. Gadis itu masih saja tersenyum ceria. “Tadi teman aku menyarankan, agar hasil pengumuman diambil oleh ayahnya. Kebetulan Oom itu bersedia, jadi sekarang aku sudah pegang hasilnya.” Senyum tak juga lepas dari bibir Clara begitu dia mengatakan dengan berapi-api, bagaimana proses pengambilan pengumuman tadi. Jose manggut-manggut. “Mereka baik lho, Kak. Kakak temuin mereka, dong, bilang terima kasih atau apalah?” Clara merajuk. “Clara... mungkin lain kali kita bisa menemui mereka dan makan malam untuk mengucapkan rasa terima kasih kita. Karena hari ini kakak meninggalkan rapat, bahkan sebelum rapat usai.” Clara menggeleng. “Nggak! Pokoknya harus sekarang!” Jose mendengus tetapi selalu tak berdaya jika Clara sudah bilang harus. “Baiklah...baiklah.” Jose lantas berjalan karena Clara langsung menyeret langkahnya, memaksa menemui teman Clara beserta orang tuanya yang sedang bercakap-cakap dengan seorang petugas administrasi sekolah untuk menanyakan kelanjutan pengambilan ijazah. “Hallo, Oom.. Hello, Jasmine!” Clara menyapa ceria begitu mereka sampai pada Pak Affandy dan Jasmine. Keduanya menoleh dan tentu saja ada rona keterkejutan di wajah mereka. “Oom, ini kakak saya, Jose namanya. Dan kak Jose, ini Jasmine dan ayahnya yang tadi mengambilkan pengumuman buat Clara,” gadis itu memperkenalkan. “Pak Affandy?” Jose mengulurkan tangan, namun tak mempedulikan keberadaan Jasmine yang Jose yakin bahwa gadis itu sama terkejutnya dengan dirinya. “Mister Jose?” Pak Affandy menyambut uluran tangan Jose dan menjabatnya. “Selamat, Clara lulus.” “Terima kasih, Pak Affandy. Anda sudah berkenan mengambil hasil pengumuman untuk adik saya.” “Ah, hanya kebetulan karena saya diperbolehkan mengambilnya, Mister Jose.” “Jadi kalian sudah saling mengenal?” Clara bertanya dengan nada takjub. Jose mengangguk. “Kami rekanan dalam usaha, Clara. Oh, ya ... selamat juga untuk putri Anda, Pak Affandy,” Jose melanjutkan dan hanya melirik sekilas pada Jasmine yang ternyata tak menggubris kehadirannya sama sekali. Bahkan menyambut dengan malas uluran tangan Jose. Rasa itu, ya sebuah getaran akibat persinggungan kulit antara Jose dan Jasmine itu kembali terjadi. Jose kembali dapat merasakan kelembutan tangan Jasmine kini ada di genggamannya. Mengirimkan ribuan sinyal yang membuat darahnya mengucur deras dari kepala menuju jantungnya tanpa sensor. Membuat Jose waspada dengan efeknya. “Selamat, Jasmine.” “Terima kasih, Oom,” Jasmine menjawab dengan malas dan pelan, tanpa menatapnya sama sekali. Padahal kalau boleh jujur, sungguh, tangan Jasmine bahkan berkeringat dingin dengan perjumpaannya kali ini dengan Jose. Laki-laki yang tadi pagi menjadi bahan pembahasannya dengan sang ayah, yang sebenarnya mengganggu pikirannya sejak pesta ulang tahun perusahaan malam itu. Dan Jasmine berharap, Jose tak menyadari betapa dingin jemarinya tadi. Sial!  Jose merutuk dalam hati karena Jasmine memanggilnya dengan sebutan ‘oom’ dan hanya cuek saja dengan ucapan selamatnya. Gadis itu kemudian malah asyik cekikikan dengan Clara, setelah jabatan mereka terlepas, entah apa yang mereka bicarakan. “Baiklah, Pak Affandy. Sekali lagi saya berterima kasih untuk semua ini. Saya harus segera kembali, karena saya meninggalkan rapat hari ini.” “Baik, Sir. Sama-sama.” Pak Affandy menjawab dan mengangguk ramah ketika Jose pamit dan mengajak Clara pulang. “Sampai jumpa, Jasmine.” Clara melambai. Jasmine membalas melambai dengan senyum tak begitu cerah  yang malah mengundang kecurigaan ayahnya. Tentu saja karena senyum Jasmine sedikit gusar. “Kok malah murung, Jasmine? Kelihatannya kamu kurang suka dengan Mister Jose? Padahal tadi pagi kamu bertanya banyak tentang beliau?” Pak Affandy bertanya saat mereka sudah ada didalam mobil menuju jalan pulang. “Tidak murung, Yah. Jasmine biasa aja, kok?” jawab Jasmine sambil melihat ke luar jendela. Pak Affandy hanya tersenyum. “Hati-hati dengan rasa benci, Jasmine. Nanti berbalik menjadi cinta lho?” Pak Affandy menggoda Jamine sambil terkekeh, membuat gadis itu merengut kesal. Sementara di dalam mobil yang lain, Jose mendengarkan ocehan Clara. Terlihat bagaimana cerianya gadis itu yang hanya ditanggapi dengan kalimat-kalimat pendek oleh kakaknya. “Tahu nggak, Kak? Jasmine itu selalu baik dengan semua teman kami. Dia cantik, pintar dan baik banget. Nyatanya tadi nawarin agar ayahnya yang mengambil pengumuman milikku.” “Oh, ya?” Jose menanggapi pendek yang dijawab dengan anggukan semangat Clara. “Kalau nggak ada mereka, nggak tahu deh kapan bisa dapat pengumuman?” Clara menggerutu membuat  Jose menoleh. “Bukankah tadi kakak sudah minta maaf?” Jose berkata dengan nada datar. “Oke, aku maafin. Tapi janji ya, kapan-kapan kita ajak mereka makan malam?” “Mereka?” Jose mengerutkan keningnya. “Iya, mereka Kak! Jasmine dan ayahnya.” Jose menghembuskan napas sambil berpikir, dan menyesal karena tadi menjanjikan makan malam sebagai ungkapan rasa terima kasih. Dan memberi janji pada Clara adalah kesalahan berikutnya yang telah dia buat, karena gadis itu akan menjejalinya dengan kalimat-kalimat berdengung bagai lebah hanya untuk mengingatkan janjinya. Oke, makan malam sebagai ungkapan terima kasih di restoran mana saja akan Jose sanggupi demi menghindari bombardir dari Clara. Tapi satu meja dengan Jasmine? Tidak!  Jose harus memutar ulang otaknya untuk menghindari persinggungannya kembali dengan Jasmine. Ini akan berbahaya. Bukan bahaya bagi orang lain, tapi berbahaya bagi Jose sendiri. “Hmmm...bagaimana dengan voucher belanja? Kalian bisa berbelanja sepuasnya sebagai hadiah kelulusan kalian?” Jose mencoba menghindari pertemuan kembali dengan Jasmine. Laki-laki itu mengeluhkan, bagaimana dunia bisa sedemikian sempit? Clara menimbang ragu. “Tapi ucapan terima kasihnya bukan hanya untuk Jasmine, Kak ... tapi ayahnya juga?” “Itu bisa diatur. Kakak bisa mengundangnya makan siang saat kerjasama di kantor.” “Beneran?” Jose mengangguk dan Clara kemudian juga menyetujui ide belanja sepuasnya dengan senyum khas remajanya. Jose lega karenanya. Jalanan kembali padat merayap dan mobil Jose berada diantara kepadatan tersebut. Tapi Jose masih mengumpat dalam hati, dengan keacuhan Jasmine padanya. Oke, ini memang tak seharusnya jadi bahan pemikiran Jose, karena bagaimanapun dia dan Jasmine tak memiliki hubungan. Jadi kalau sampai Jose selalu kepikiran tentang Jasmine, bisa dipastikan bahwa ada yang tidak beres dengan otaknya. Fix, bisa disimpulkan bahwa kini, Jose mulai kehilangan  kewarasannya.   * * * * * Seminggu dari pengumuman kelulusan Jasmine sukses menjadi pengangguran. Ia bebas, tidak ada lagi yang dipikirkan maupun dikerjakan, semua urusan pendaftaran kuliah telah diselesaikannya jauh-jauh hari. Tiduran di rumah malah membuat gadis itu semakin rusuh saja. Seringkali, bayangan Jose kembali menghantui otaknya. Berulang kali Jasmine mencari kegiatan yang bahkan hanya bertujuan untuk mengalihkan pikirannya dari laki-laki yang satu itu. Tapi tetap saja hasilnya nihil, karena justru Jose nyaris seperti hantu yang membayang dalam otaknya. Ini tak bisa dibiarkan. Jasmine harus mengeyahkan laki-laki yang satu ini. Selain karena dia terlalu dewasa, lelaki itu sudah memiliki perempuan sempurna. Jasmine masih mengingat jelas, perempuan cantik di acara itu, perempuan yang telah menyambut Jose dengan sebuah ciuman. Tapi memangnya ada yang salah dengan ciuman mereka? Mereka mau lebih dari sekedar ciuman juga bukan urusan Jasmine, seharusnya. “Eeerrrrggghhh...,” Jasmine menggeram sambil menyembunyikan kepalanya di bawah bantal. Hatinya geram ketika bayangan Jose kembali hadir. Ddrrrttt...ddrrrttt... Ponsel Jasmine bergetar dan di sana muncul nama Clara. Jasmine memegangnya, tak langsung mengangkat panggilan itu. Tumben Clara meneleponnya, padahal selama ini mereka hanya teman sekolah biasa. Cenderung jauh karena Jasmine memang jarang berteman dekat dengan teman sekolahnya yang lain. Tapi dia pikir, mungkin saja ada yang penting sehubungan dengan urusan ijazah? “Hallo, Clara?” “Hei, Jas? Apa kabar?” “Baik. Kamu?” “Aku juga baik, kok.” “Apakah ada sesuatu?” “Hmm... kamu ada acara hari ini?” “Sepertinya tidak,” Jasmine menjawab sambil menggeleng, padahal Clara juga tak bakal tahu kalau dia menggeleng. “Kita shoping, yuk!” ajakan Clara membuat Jasmine berpikir, tumben-tumbenan Clara mengajaknya shoping, padahal mereka bukan teman dekat. “Shoping?” Jasmine bertanya untuk memastikan pendengarannya. “Iya. Jadi gini, anggap saja ini ucapan terima kasih kami karena ayahmu bersedia mengambil hasil pengumuman kelulusan kemarin.” Jasmine tersenyum. “Nggak perlu pakai acara begitu. Kebetulan Ayah sempat, jadi nggak masalah.” Jasmine mencoba menolak dengan halus, karena dia masih saja ingat bagaimana menyebalkannya kakak laki-laki Clara. Menyebalkan? Oh tidak, Jasmine hanya tidak ingin merasakan setruman yang lebih kuat jika tidak sengaja bersentuh dengan Jose. “Ayolah, Jasmine ... please ...” Clara memohon dengan suara yang dibuat memelas dan menyedihkan. Jasmine tersadar dari lamunannya. Jasmine mencebikkan bibirnya meski akhirnya menyanggupi. “Baiklah,” kata Jasmine kemudian. Sementara di seberang, Clara tersenyum riang karena berhasil membujuk Jasmine, hingga akhirnya mereka berada di sini sekarang. Di sebuah mall yang besar, jalan-jalan berdua tanpa pak sopir, dengan beberapa tas tenteng yang berisi hasil buruan mereka. Lebih tepatnya buruan barang-barang Clara, sebab Jasmine tidak terlalu mood berbelanja. “Aku lapar, Jasmine. Kita makan, yuk?” “Tapi ini sudah hampir malam, Clara? Ayah akan marah jika aku pulang terlalu malam.” Jasmine mencoba mengelak karena sudah kelelahan. “Nanti aku yang akan bilang sama ayah kamu, bahwa aku yang mengajak kamu main sampai malam.” “Tapi, Cla ...” “Ayolah!” Clara menyeret Jasmine masuk ke resto. Beberapa kali Jasmine melihat ke arah arloji cantiknya dengan gelisah. Sudah pukul delapan malam dan Clara masih juga susah diajak pulang. “Tenang, Jasmine. Bentar lagi sopirku datang kok.” Jasmine mengangguk dan kembali menyesap minuman yang dari tadi hanya menghiasi meja di depannya. “Kak Jose!” tiba-tiba Clara berteriak memanggil seseorang yang namanya membuat Jasmine menegang. Jose? Bagaimana mungkin laki-laki itu ada di mall begini? Ucap Jasmine dalam hati. Clara bangkit ketika seseorang, lebih tepatnya sepasang manusia, datang menghampiri mereka. Jasmine masih tak berani menolehkan pandangannya. “Kak Jose di sini?” “Hai, Clara?” suara manis seorang wanita terdengar, yang disambut dengan say hello juga oleh Clara. “Ya. Kamu belum pulang?” Jose bertanya dengan nada datar, namun ada yang terusik ketika dia melirik bahwa yang dibawa Clara kali ini adalah Jasmine. Jose mendadak hilang fokus. Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Dia harus segera menghindari gadis ini, Jose membathin. “Ya. Sama Jasmine.” “Ini sudah malam, jadi sebaiknya kalian segera pulang. Sudah telepon Pak Min?” Jose bertanya tanpa mengacuhkan keberadaan Jasmine, membuat gadis itu mengumpat dengan kesombongan Jose. “Sudah, katanya akan datang segera.” Tiba-tiba ponsel Clara bergetar dan gadis itu segera meraihnya untuk membaca pesan yang dia terima. Seketika itu, Clara memandang wajah Jose dengan tatapan sedih, membuat laki-laki itu tiba-tiba merasa akan ada hal tidak mengenakkan dengan tatapan Clara kali ini. “Pak Min bannya bocor, Kak. Boleh kan kami nebeng?” kalimat Clara jelas membuat Jose menegang. “Tapi, Cla ... Kakak harus mengantar Irina, dan ...” “Nggak apa-apa, Jose. Kita bisa mengantar mereka satu demi satu.” Irina, perempuan cantik itu menengahi. Jose menyerah. Dia tak tahu lagi, bagaimana cara menghindari Jasmine kalau sudah seperti ini. Maka jadilah Jose sopir mendadak. Laki-laki itu mengumpat dalam hati. Selama dalam mobil, Clara dan Irina selalu terlibat dalam obrolan asyik, karena sepertinya mereka saling kenal. Clara adalah penumpang yang diturunkan Jose pertama kali, di depan apartemennya. Setelah cipika-cipiki, gadis itu melambai dengan riang ke arah Jasmine yang dibawa kembali oleh mobil Jose, untuk selanjutnya mengantar Irina. Selama dalam perjalanan mengantar Irina, Jasmine merasa seperti kambing congek yang keberadaannya sama sekali tak dianggap. Irina, si cantik ini, dia adalah perempuan yang mencium Jose ketika pesta ulang tahun perusahaan dulu itu, selalu mendominasi percakapan dengan Jose. Bahkan beberapa kali terlihat perempuan itu mendaratkan elusan pada lengan Jose yang sedang memegang kemudi, membuat Jasmine harus memalingkan muka karena jengah. Sesekali Jasmine pura-pura sibuk dengan ponselnya, walau pada kenyataannya ia mencuri-curi pandang pada Jose dan Irina di kursi depan. Seharusnya ia tidak perlu merasa risih, tapi entah mengapa ia merasa tidak rela jemari Irina menyentuh tubuh kekar Jose. Jose sesekali melirik dari kaca spion ke arah belakang di mana Jasmine duduk sendiri sekarang. Ia berusaha mengurangi sikap Irina yang berusaha mesra padanya. Jose sebenarnya merasa risih dengan sentuhan-sentuhan Irina, terlebih karena Jasmine ada bersama mereka malam ini. Jasmine menghela napas perlahan. Ia benar-benar jengah berada di dalam mobil Jose. Dalam hati, Jasmine menggerutu sebal melihat tingkah Irina yang mempertontonkan kemesraan dengan Jose. Ia berharap waktu cepat berlalu dan segera sampai di rumah. Namun, ketika mobil Jose berhenti di depan hunian Irina, drama keduanya belumlah usai. Irina memeluk Jose dengan sekejap di dalam mobil sebelum kaki jenjangnya melangkah keluar pintu mobil. Belum puas, Irina membuka pintu mobil Jose – menarik Jose keluar hingga tubuh Irina jatuh bersandar pada d**a Jose yang bidang. Oh, Tuhan ini benar-benar memuakkan! Pekik Jasmine dalam hati. Bagaimana tidak, setelah dianggap kambing congek selama dalam perjalanan, kini Jasmine harus menyaksikan dengan jelas, bagaimana mereka akhirnya saling melumatkan bibir mereka untuk waktu yang lumayan lama. Geramnya perasaan Jasmine membuat ia mengalihkan wajah dari adegan yang membuat hatinya merasa terbakar. Jasmine, berusaha tidak melihat ke arah luar, ia tidak ingin menyaksikan detik demi detik bibir Jose melumat bibir Irina dan desahan mereka yang terdengar di sunyinya malam hari ini. Beberapa menit berlalu, Jasmine masih tidak peduli apa yang dilakukan dua orang dewasa itu. Ia berkutat dengan ponselnya saja, sampai tiba-tiba ada sentuhan yang berbeda pada bahunya. “Maaf. Bisa duduk di kursi depan?”    Jasmine sedikit terkejut. Jose, menyentuh bahunya dan meminta ia pindah menemaninya mengemudi. Jasmine mengatur pikiran dan napasnya, ia harus mengontrol perasaan yang ia rasa bukan rasa yang biasa. Entah mengapa setiap kali mendengar Jose berbicara, jantungnya mendadak berdebar tak wajar. Dengan malas-malasan Jasmine mengikuti kata-kata Jose untuk duduk di jok depan. Mobil kembali melaju membelah jalanan yang hingar-bingar dengan lampu jalanan yang gemerlap, setelah Jasmine duduk santun di jok depan. Jasmine tak menyadari, bola mata Jose mengawasi gadis yang duduk di sampingnya itu. Malam semakin larut, sunyi tercipta diantara mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang Jose jaga di dalam dirinya, sisi Jose yang lain yang sangat berbahaya.     * * * * *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN