Tanpa arah

1104 Kata
Mobil Agatha memasuki halaman garasi rumah. Di dalam mobil, Agatha menghela nafas, dia sungguh lelah hari ini. Jam sudah menunjukkan larut malam dan esok hari dia harus bersiap ke sekolah barunya. Agatha keluar dari mobil, melangkahkan kaki memasuki rumahnya. Rumah besar itu terasa sepi seperti tidak ada penghuni yang tinggal di sana. Tapi memang benar, di rumah ini seperti tidak ada penghuninya, karena hanya ada Agatha, adiknya beserta asisten rumah tangga disini. Sebelum ke kamarnya, Agatha menyempatkan diri untuk menjenguk adiknya. Semua kamar tidur terletak di lantai dua, Kamar adiknya berada di bagian kiri tangga sedangkan kamar Agatha sendiri berada di sebelah kanan. Agatha mengetuk pintu. “Daffa udah tidur, ya?” Agatha mendekati daun pintu, bertanya dengan pelan melalui sela-sela pintu. Ia yakin adiknya itu mendengar ucapan Agatha, jika dia belum tidur. Namun jika tidak ada sahutan berarti adiknya sudah tertidur. ”Belum, masuk aja, Kak. Pintunya gak di kunci.” Setelah mendapatkan jawaban, Agatha memasuki kamar adiknya. Hal yang pertama kali Agatha rasakan adalah kesedihan dari ruangan ini. Agatha seolah merasa ruangan ini di desain untuk selalu bersedih hati bagi pemiliknya. Setiap kali Agatha memasuki kamar ini, maka relung hatinya merasa tersentil oleh sesaknya kenangan-kenangan yang ada. Huh.. Di sana, di ranjang kasur, Agatha dapat melihat adiknya sedang menonton film. Namun setelah Agatha melangkah lebih dekat lagi, Daffa, adik Agatha, justru mematikan ipad itu membuat film yang tadi berputar berhenti begitu saja. “Hai, Daffa,” sapa Agatha dengan senyum lebarnya, kemudian duduk di kasur adiknya. Daffa bergeser. Dia memicing mata. “Kakak habis dari mana? Kakak nangis?” Tanya Daffa begitu dia melihat wajah Agatha nampak bengkak sehabis menangis. Agatha tersenyum lagi, lalu menggelengkan kepala pelan. “Bukan ih, ini nangis karena film yang kamu rekomendasiin ke kakak itu, tau.” Agatha berpura-pura merajuk. Raut antusias Daffa tunjukan kala mendengar Agatha ternyata menonton film yang ia rekomendasikan. “Tuh kan! Sedih! Bener kata Daffa, Kak Dira pasti nangis nonton film itu, Daffa aja sampai gak bisa tidur karena nangisin tokoh utamanya.” Daffa bersedekap d**a. “Tanggung jawab kamu, karena kamu kakak jadi gak bisa tidur juga.” Agatha berkacak pinggang. Pura-pura merengut kesal. Sedangkan Daffa cekikikan melihat raut wajah Agatha, “Kak Dira harus teraktirin Daffa es cream sesuai janjinya Kak Dira.” Adiik Agatha itu membuka telapak tangan lebar-lebar seakan menagih janji Agatha. ”Hm, iya deh kamu menang. Besok kakak bawain es cream buat kamu. Tapi.., kamu harus minum obat dulu. Janji sama Kak Dira?" Agatha menunjukkan jari kelingking, Daffa membalas jari kelingking Agatha dengan jari kelingkingnya juga. “Daffa janji! nanti Daffa pasti minum obat, kalo gak percaya kak Dira bisa tanya bibi Santi nanti. Oh iya, temen-temen kak Dira ajak ke sini lagi dong. Daffa kangen tau sama Kak Kekey, Kak Lala apalagi Kak Gigi! mereka seru banget! Semenjak kakak gak di rumah mereka juga gak pernah main sama Daffa lagi.” Wajah Daffa berubah menjadi sedih. “Daffa sedih gak ada yang mau temenan sama Daffa lagi.” “Hey, kata siapa gak ada yang mau temenan sama kamu lagi? Daffa cuma belum bisa ketemu sama mereka aja, nanti kapan-kapan kakak ajak mereka ke sini ya, supaya kamu bisa main sepuasnya sama mereka, gimana? jangan sedih gitu, ah.” ”Yeay! Kak Dira gak bohong ‘kan?” Agatha berlagak sok berpikir. “Hm, bohong gak ya?” Mata Daffa sudah berkaca-kaca, “Kak Dira pasti bohongin Daffa lagi.” “Eh, gak dong, Kak Dira cuma bercanda, mereka pasti akan kakak bawa ke sini. Mereka juga katanya mau kasih oleh-leh buat kamu," ujar Agatha panik. Bisa perang ketiga ini jika Daffa menangis. ”Kak Dira beneran gak bohong?” “Iya, Daffa manis.” Agatha melihat Daffa merona karena ucapannya. Dia sudah hafal betul bagaimana respon Daffa. Pasti anak itu akan seperti itu, sebab adiknya itu paling tidak bisa di puji dengan kata ‘manis’. Jika kalian memuji ‘ganteng’ mungkin Daffa akan biasa saja tapi lain halnya ketika dia di puji ‘manis’ pasti dia akan salah tingkah. Agatha mengacak-acak rambut Daffa dan terkekeh. Awalynya Agatha ingin menggoda sang adik, namun melihat jam sudah lumayan malam, akhirnya Agatha urungkan. “Ya udah, kamu tidur gih, besok kakak perdana masuk kelas di sekolah baru kakak, jadi kakak gak boleh sampai telat. Nanti Daffa jangan nakal ya sama Bibi Santi.” “Siap kapten.” Agatha terkekeh, ia merindukan panggilan itu dari Adiknya. ”Dadah, Daffa Good Night.” “Good night juga Kak Dira, jangan tinggalin Daffa lagi, ya.” Usai perkataannya, Daffa memejamkan mata, mulai asik dengan alam mimpinya. Sementara Agatha tertegun mendengar perkataan tulus adiknya. Dia tidak menyangka Daffa akan mengatakan seperti itu. Semoga aja Agatha benar-benar tidak di usir lagi dari rumah ini. Ya, semoga aja. *** Agatha tidur di ranjang. Posisinya menghadap dinding-dinding langit kamarnya. Ia merenung. Akhirnya dia balik ke Jakarta setelah tiga tahun setengah dia menetap di Bandung. Banyak sekali yang berubah saat dia balik ke Jakarta. Suasana dulu sebelum insiden itu terjadi dia tidak lagi merasakan kehangatan keluarganya. Agatha sangat menyesal, kenapa bukan dia saja yang meninggal. Kenapa harus Daddy-nya yang meninggalkan Mereka. Jika saja Agatha tidak ceroboh pasti keluarga mereka masih utuh sampai saat ini. Dan.. Adiknya masih baik-baik saja dan bisa sekolah dengan normal. Tidak terasa air mata Agatha mengalir lagi, namun ada yang berbeda air mata ini tidak di iringi dengan isak tangis gadis itu. Dia tidak ingin adiknya terbangun hanya karena suara tangisannya. Padahal jarak kamar mereka cukup jauh. Ketakutan akan seorang yang akan datang ke sini tiba-tiba saja timbul. Bagaimana orang itu balik ke sini? Apakah Agatha akan di usir lagi? Agatha akan mempertahankan dirinya di Jakarta. Semoga saja Agatha tidak berbuat hal yang dapat memancing kemarahannya. Ya, Agatha hanya perlu menjadi anak yang penurut, dan tidak macam-macam pasti dia tidak akan kembali ke sini. Meski Agatha sudah di ijinkan untuk tinggal di sini, tapi munafik jika dia masih takut di usir. Semua harapan dan impiannya harus terhenti begitu saja. Meski masih ada anggota keluarga, namun agatha merasa kehilangan arah tujuan hidupnya. Dulu ia ingin menjadi dokter hewan, namun sekarang ia bertekad ingin menjadi psikolog karena Mommy-nya. Ia harus menjadi psikolog, pokoknya dia harus bertekad menyembuhkan Mommy-nya. Dia harus mengembalikan Mommy-nya seperti empat tahun yang lalu. Esok hari adalah hari pertama ia menginjakkan kaki di sekolah barunya. Agatha harap dia tidak akan macam-macam di sana, tujuan Agatha hanya untuk belajar, tidak lebih. Manik mata itu tertutup perlahan. Seharian ini Agatha sudah bolak balik mengurusi keperluan sekolah sampai keperluan Mommy-nya, sekarang tanggungan Agatha akan lebih berat di banding dia di Bandung. Tapi dia tidak merasa keberatan selagi dia bisa bersama anggota keluarganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN