Cewek aneh
"Revita ...!" Suara melengking nan nyaring itu menggelegar di koridor sekolah, sehingga seluruh siswa yang berada di area itu sontak menoleh ke sumber suara.
Namun anak yang dipanggil Revita itu tidak menggubris orang yang meneriaki namanya dengan lantang, dan terus berjalan cepat.
"Revita ...!!" Orang itu lagi-lagi berteriak kencang dan membuat dirinya benar-benar menjadi objek pasang mata. Kedua tangan Revita terkepal. Kepalanya menunduk dalam untuk menghindari tatapan aneh di sekitarnya. Langkahnya kian tegap dan cepat, diiringi mulut yang bergumam kesal untuk menyumpah serapah orang di belakang sana.
"Revitaaa ...! Tungguu ...!!!"
Akhirnya orang yang terus mengejar Revita sampai di depan kelasnya. Napasnya terlihat memburu. Kulit wajahnya yang putih tampak memerah kesal. Keringatnya bahkan telah sampai ke mana-mana. Padahal ini masih pukul enam pagi lewat dua puluh menit. Masa bodo dengan badannya yang seperti ikan asin.
"Revitaaa!!!" Orang itu melangkah tegap dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakkan. Dadanya terlihat naik turun dengan napas yang tidak beraturan. Ia juga menulikan telinga karena semburan protes akibat suaranya yang melengking dari teman-teman kelasnya.
"Revita! Gue gak mau tahu. Lo harus tanggung jawab!" teriaknya kepada Revita yang telah duduk manis di tempatnya. Sementara Revita tetap bergeming dan menghiraukan ocehan itu.
"REVITA!!!" Kini suara itu lebih tinggi beberapa oktaf, sehingga seluruh teman kelasnya langsung menyumpahinya dengan nama-nama hewan yang ada di kebun binatang.
Mau tidak mau Revita yang tadinya tidak peduli akhirnya menoleh dan menatap orang itu tajam. Dirinya sangat tidak rela jika gendang telinganya rusak dengan sia-sia.
"Apaan sih? Gue sumpel lama-lama tuh mulut dengan kaus kaki Anam!" bentak Revita galak yang ikut-ikutan terserang emosi.
"Lo gila ya?! Gara-gara lo pagi-pagi telfon gue katanya udah jam tujuh lebih, gue sampai belum make up! Belum sisiran! Belum pakai deodoran! Belum ini belum itu. Dan lo tahu? Gegara lo juga gue mandi cuma lima menit! Bayangin! Lima menit! Sama banci Thailand aja kalah gue, Rep!" cerocos Novi menggebu-gebu dengan napas yang semakin memburu.
Revita langsung berdecak kesal dengan memutar bola matanya kesal. Temannya itu memang tidak punya rasa terima kasih.
"Siapa suruh nyuruh gue buat bangunin pagi?" ketus Revita.
"Ya tapi gak sepagi ini juga! Jahat lo kelewatan tahu gak!"
"Siapa suruh gak bangun sendiri?" timpal Revita lagi.
"Kan gue nge-kos! Gak ada yang bangunin gue!"
"Siapa suruh nge-kos!"
"Kan rumah gue jauh!"
"Siapa suruh punya rumah jauh-jauh?"
"Revitaaa!!! Kok lu nyebelin sih! Harusnya gue yang marah ke lo!"
"Siapa suruh lo marah ke gue?"
"REVITAAA ...!!!"
Lontaran demi lontaran pertengkaran panas itu terus terjadi sampai bel masuk pelajaran pertama berdentang. Hal itu membuat Revita bernapas sedikit lega karena telinganya bisa terselamatkan dari racauan Novi yang tak henti-hentinya mengoceh.
Revita langsung menegapkan punggungnya saat guru mata pelajaran pertama memasuki kelas. Di sisi lain, Novi masih saja meracau dengan gumaman yang tidak begitu jelas, membuat Revita kehilangan konsentrasi saat Pak Rahman menjelaskan materi.
Dan saat itu juga Revita benar-benar ingin menyumpal mulut Novi dengan kaus kaki Anam yang baunya bisa mencemari saraf otak!
Setelah lama berkutat dengan materi, akhirnya bel istirahat pertama berkumandang. Revita langsung merenggangkan kedua tangannya yang terasa pegal. Tidak tanggung-tanggung, Pak Rahman memberikan tugas tulis tangan pada kertas folio sebanyak empat lembar.
"Nop, kantin, yuk!" seru Revita menoleh ke arah Novi yang tengah melakukan hal yang sama dengan dirinya.
Revita berdecak malas kala tidak ada respons apapun dari temannya itu.
"Yaudah kalau gak mau, gue pergi sendiri," kata Revita lagi langsung beranjak dari tempatnya.
"Revita! Kok gue ditinggalin?!" seru Novi kesal. Ia pun segera menyusul temannya itu dengan sedikit berlari kecil.
"Revita ...! Tunggu, ih!"
Akhirnya langkah Novi yang pendek berhasil menyejajarkan dengan langkah Revita yang panjang. Cewek bertubuh mungil itu pun langsung mendongak, menatap Revita dengan raut kesal.
"Gue ini lagi marah sama lo. Bukannya bujuk gue lo malah ninggalin gue gitu aja! Gue itu gak bisa diginiin!" omel Novi yang terus berusaha menyeimbangkan langkahnya agar bisa terus sejajar dengan langkah Revita.
Revita tidak peduli dan terus berjalan. Mengabaikan Novi yang terus komat-kamit di sebelahnya. Hingga akhirnya mereka berdua sampai di kantin sekolah yang super duper padat. Kantin yang tidak begitu luas itu membuat seluruh siswa yang berada di sana mau tidak mau harus berdesak-desakan. Dan bahkan rela menahan lapar jika tidak mempunyai rasa sabar.
"Kok rame?" Novi berujar lesu.
"Soalnya gak sepi!" sahut Revita dengan mata yang menerawang jauh menyusuri seluruh penjuru kantin. Embusan napas kasar langsung terlontar saat kantin benar-benar padat.
"Balik, Nov!" ucap Revita seraya menepuk pundak Novi.
"Lah terus? Gak jadi makan, gitu? Gue laper, Rev!" rengek Novi yang masih bertahan di posisi berdirinya, sepasang matanya menatap sendu ke arah kantin.
"Kalau lo mau desak-desakan yaudah pergi aja, gue sih ogah!" telak Revita sehingga Novi langsung menggembungkan pipinya kesal.
"Tapi kan gue ...."
Sebelum Novi menyelesaikan ocehannya, Revita sudah lebih dulu mengunci leher Novi menggunakan siku tangannya. Menarik kepala Novi layaknya menarik seekor kerbau untuk menjauh dari area kantin. Sedangkan Novi harus berjalan mundur dengan kedua tangan yang menggenggam siku Revita agar terbebas dari anak itu.
Bahkan, Revita tidak memperdulikan lagi jika mereka kini lagi-lagi menjadi pusat perhatian.
"Mentang-mentang punya tubuh tinggi, tarik anak orang sembarangan!" sembur Novi kala ia telah terlepas dari tangan laknat Revita.
Dan Revita hanya tersenyum tipis sembari mengeluarkan ponselnya.
"Lo gak lihat apa jalan gue udah kayak undur-undur! Lo tarik sesuka hati pula! Lo pikir gue Sapi?!" ketus Novi lagi dengan berkacak pinggang di hadapan Revita yang tengah duduk di deretan kursi depan ruang kelasnya.
"Oh, sapi. Gue kira babi," jawab Revita enteng tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel.
"Ihh, lo itu bener-bener ngeselin, ya, Rev!" celoteh Novi lagi dengan sepasang mata yang melotot dan bibir bawahnya yang maju bersenti-senti.
"Emang." Jawaban yang super duper enteng itu membuat Novi benar-benar muak dan ingin memakan Revita hidup-hidup.
"Tapi gue laper, Rev!" cerca Novi lagi. Ternyata rasa lapar anak itu belum juga reda.
Revita mendengus kesal. Kepalanya mendongak, menatap Novi tak kalah kesal. Telinganya sudah cukup panas akibat keluhan Novi pagi ini.
"Lo udah lihat kan tadi ramainya melebihi konser K-pop? Dan istirahat pertama cuma lima belas menit. Itu aja mungkin habis buat antre doang, belum makannya."
Novi kian terlihat kesal. Wajahnya memuram. Kemudian memilih untuk menghempaskan diri duduk di sebelah Revita dengan bibir yang semakin mengerucut.
"Kenapa sih istirahatnya cuma lima belas menit. Gak tau apa ya kalau itu habis cuma buat antre doang! Udah kantinnya sempit, muridnya banyak, waktu gak sinkron! Kesel gue!" cerocos Novi yang terus-terusan membuat kepala Revita ingin meledak.
Reflek hal itu membuat Revita menjitak kepala Novi yang membuat si empunya mengaduh tak terima.
"Kalau lo mau protes, sana lo protes yang buat jadwal. Jangan ke gue! Berisik tahu, gak!" geram Revita kemudian berlalu masuk ke dalam kelas.
"Revita ...! Kok gue lo tinggal lagi ...!!!"
***
Bel berakhirnya pelajaran akhirnya berdering nyaring. Hiruk pikuk siswa langsung berhamburan dari ruang kelas masing-masing. Mata yang sedari tadi suntuk berubah segar seakan baru saja memenangkan sebuah lotre.
Revita berjalan gontai menuju parkiran untuk mengambil motornya. Kedua matanya menyipit dan langsung menghela napas kesal. Tatapannya meredup melihat motornya masih terjepit sesak diantara motor lain. Ia langsung merutuki Novi yang berpamitan untuk segera pulang bersama Ashilah karena keluhan perut yang tiba-tiba mulas. Karena biasanya Novi lah yang membantu dirinya mengenai hal ini.
Revita berdecak sebal kala tak bisa mengeluarkan motor itu dikarena terlalu berat dan terjepit. Umpatan kasar pun keluar dari bibirnya akibat adanya motor yang dikunci setir sehingga tidak memberikan akses keluar untuk motornya. Revita mendengus, sepasang matanya mulai menyapu parkiran. Banyak orang di sekitarnya. Bukannya senang, Revita justru lagi-lagi berdecak kesal karena tidak ada yang ia kenali dari semua orang itu.
Di tengah-tengah kekesalannya, Revita dikagetkan dengan suara berat seseorang yang tiba-tiba saja berada di dekat telinganya.
"Ini motor lo?"
Revita menoleh. Tubuhnya seketika menegang saat seseorang bertubuh jangkung berdiri tepat di sebelahnya. Netra cokelatnya tak sengaja bersinggungan dengan netra hitam legam milik orang yang sepertinya menunggu jawabannya. Revita dengan reflek menggenggam erat sisi rok seragam. Tangannya terasa sangat dingin dan bergetar. Revita mengangguk canggung sebagai jawaban.
"Gak bisa keluarin?" tanyanya lagi. Dan Revita hanya bisa mengangguk lagi.
Cowok itu terlihat mendesah berat, lantas bergerak mengeluarkan motor lainnya agar ada jalan untuk motor Revita. Lebih tepatnya, motornya sendiri memang terjepit di antara motor Revita.
Revita menggigiti bibir bawahnya. Anak itu hanya berdiri di tempat tanpa membantu sedikitpun. Dirinya jadi merasa bersalah saat melihat orang itu yang sedikit kesusahan kala memindahkan sebuah motor besar dengan kondisi dikunci setir yang sempat ia rutuki tadi. Namun dalam waktu satu menit lebih sedikit, motor miliknya akhirnya dapat dikeluarkan.
"Nih, motor lo. Makanya kalau gak bisa parkir gak usah bawa—"
"Makasih, Kak," potong Revita cepat dengan kepala yang menunduk dalam. Ia segera mengambil alih motornya tanpa menoleh ke arah cowok itu lagi dan segera melaju meninggalkan tempat parkir. Revita benar-benar gugup dan takut hingga seluruh tubuhnya basah karena keringat dingin.
Cowok itu menatap punggung Revita yang telah melesat dari hadapannya dengan dahi yang berkerut dalam. Dia menggeleng bingung, lantas bergegas untuk mengambil motornya yang terletak tepat di sebelah motor Revita tadi.
°°°