Aku menunggu kepulangan tunanganku di stasiun kereta api, dia barusaja melakukan project investasi pembangunan di sebuah pulau. Selama tiga bulan kami harus LDR-an.
Aku sengaja tidak mengabarinya kalau aku akan menjemputnya di stasiun. Ingin memberikan kejutan untuknya karena rindu yang sudah bertumpuk. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya kereta yang di tumpangi tunanganku-Devandra tiba.
Aku segera berdiri dan tak luput mataku mencari sosoknya turun jadi kereta. Tak sabar berhambur memeluknya.
Senyum di wajahku perlahan luntur saat melihat Devan turun dari kereta bersama seorang wanita. Dia terlihat perhatian sekali dengan wanita itu, bahkan ia merengkuh pinggangnya untuk melindungi wanita itu dari kerumunan.
Dengan perlahan aku mendekat, menyibak kerumunan orang yang lalu-lalang ingin berpergian.
"Dev...," panggilku setelah tiba di hadapannya.
"Naya, kau disini?" tanyanya sedikit terkejut. Kemudian wajahnya kembali biasa.
"Ya, aku ingin menjemputmu," ucapku dengan senyum sedikit dipaksakan.
"Siapa dia, Dev?" tanyaku melirik wanita itu. Wanita itu menundukan wajahnya.
Dengan perlahan Devan menurunkan tangannya yang merengkuh pinggang wanita itu.
"Dia Karin, sepupuh jauhku, dia akan menginap di rumahku," dengan ragu Devan menatap mataku.
Entahlah, aku merasa janggal dengan ini. Mengapa tadi sebelum aku menghampiri mereka, mereka terlihat mesra.
"Oh, kenalin aku Naya, aku adalah tunangan Devan." aku mengulurkan tangan.
"Karin," jawabnya singkat. Wanita itu menerima jabatan tanganku, dapat kurasakan tangannya dingin. Mengapa dia gugup?
"Terima kasih sudah menjemputku, ya. Sekarang kita pulang aku sangat lelah," Devan menuntunku menuju mobil. Namun bisa kulihat dia selalu melirik ke arah wanita itu dengan wajah penuh kekhawatiran. Karena wanit itu berjalan sendiri.
"Kamu mau langsung pulang ke rumah?" tanya Devan saat kami sudah di jalan. Devan yang menyetir dan aku duduk di sebelahnya. Sedangkan wanita itu di belakang sendirian bersama barang-barang. Devan terus saja mencuri pandang melihat wanita itu melalui kaca.
"Enggak, aku mau ikut ke rumahmu sebentar, ya."
"Iya." jawabnya singkat.
Aku menatap wajah Devan yang fokus menyetir, entah mengapa wajahnya terlihat gusar dan sedih. Padahal tadi sebelum bertemu denganku terlihat bahagia. Ada apa sebenarnya?
"Mama," aku mencium punggung tangan calon mertuaku setelah sampai.
Mama Devan terlihat bahagia melihat kedatanganku dan putranya, namun wajahnya berubah setelah melihat wanita yang datang bersama kami, matanya beralih menatap Devan, Devan terlihat berbicara lewat mata.
"Ini, Karin?" Mama sedikit terbata mengucapkan itu.
"Iya, Ma." jawab Devan singkat dan masih seperti mengode lewat mata.
Rasanya sedikit aneh, bukankah tadi Devan bilang kalau dia adalah sepupuhnya, namun mengapa Mama seperti tidak mengenali.
"Oh, mari Mama antar kamu ke kamar," dengan bergegas calon mertuaku menuntun gadis itu ke kamar tamu.
Setelah itu, kami bertiga makan malam bersama. Wajah Mama juga terlihat berubah setelah melihat perempuan itu, Devan juga lebih banyak diam.
"Dev, bagaimana investasinya? Lancar?" aku mencomot topik untuk merenggangkan keheningan.
"Lancar, Nay. Semuanya lancar," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
"Mengapa sepupuh kamu tidak diajak makan bersama?" gerakan sendoknya terhenti.
"Katanya lelah, jadi dia pamit tidur duluan."
Aku ber-Oh pelan.
"Sudah, Nay? Ayo, aku antar pulang," Devan berjalan ke arah pintu namun tiba-tiba berhenti. Dia menatapku dari atas sampai bawah.
"Kamu gk bawa jaket?" tanyanya. Aku menggeleng pelan.
"Aku ambilkan jaket dulu di kamar, " Devan berlalu menuju kamarnya. Setelah itu ia memakaikan jaketnya untuk menghangatkan tubuhku.
"Kita naik motor aja, ya?"
Aku mengangguk senang. Setelah itu dia mengantarku pulang naik motor.
"Aku rindu, Dev." aku mengencangkan pegangan tanganku di bajunya.
"Aku juga rindu," aku melihat Devan tersenyum mengatakan itu lewat kaca spion.
"Berapa lama sepupuh kamu menginap?" wajah Devan berubah lagi ketika aku menanyakan tentang perempuan itu.
"Tidak tahu."
Motor Devan berhenti di depan rumahku. Dia membukakan helm yang melekat di kepalaku.
"Kamu gk mampir dulu?" tanyaku setelah turun dari motor.
"Enggak, aku capek banget besok deh kesini lagi, salam sama Ayah Bunda, ya."
Devan meraih tanganku saat aku hendak berjalan masuk.
"Ada apa?"
Aku sedikit terkejut saat Devan tiba-tiba menarikku ke dalam pelukannya. Devan menenggelamkan wajahku di d**a bidangnya dan memelukku erat.
"Maafin aku, Nay." ucapnya lirih.
Aku sedikit menjauhkan wajahku dan menatapnya heran.
"Maaf, maaf kenapa? Tidak ada yang salah dari kamu, Dev."
Kutatap lekat matanya, terdapat penyesalan mendalam di sorot matanya.
Dia kembali menenggelamkan wajahku.
"Maaf," ucapnya lirih hampir tak terdengar.
Maaf? Sebenarnya ada apa dengan dirinya? Mengapa semuanya terasa aneh sekarang. Perasaanku juga menjadi berubah setelah melihat wanita yang datang bersama tunanganku tadi.
Setelah melepas kepergian Devan, aku berjalan memasuki rumah. Yang pertama aku tuju adalah kamar. Aku membaringkan tubuhku di ranjang, menatap lekat langit-langit kamar.
Apakah Devan-ku mendapat masalah? Apakah hubungan kita akan baik-baik saja?
Perlahan aku menutup mataku, membuang jauh-jauh fikiran yang menggangguku. Hingga akhirnya aku tertidur dalam mimpi yang sendu.
***
Setelah mengantar Naya pulang, aku merebahkan tubuhku di sofa. Menyalakan sebatang rokok dan menyesapnya. Asap rokok mengepul menghalangi pandanganku. Entah sejak kapan aku menjadi perokok, semenjak kejadian itu aku tak bisa mengendalikan diri, bahkan aku pernah ingin mencoba minuman haram untuk menghilangkan stres.
Sungguh, aku merasa bersalah kepada tunanganku. Wanita yang selama ini aku cintai, dan sekarang aku telah menodai cinta itu sendiri. Aku telah melakukan kesalahan besar.
Kuletakan puntung rokok itu di ujung meja lalu bangkit melangkahkan kaki ke dapur. Aku mengambil nasi dan lauk secukupnya, serta air putih. Aku membawanya menuju kamar Karin.
Kubuka pintu perlahan, wanita itu berbaring di ranjang dengan selimut menutupi tubuhnya. Aku dekati perlahan. Kuusap pucuk kepalanya yang sedikit berantakan.
Tubuhnya menggeliat, dan kemudian matanya perlahan terbuka.
"Apa masih sakit?" tanyaku memastikan.
Wanita itu menggeleng pelan.
"Tadi itu tunanganmu?" tanyanya pelan.
"Iya." jawabku singkat.
"Kita harus bagaimana?"
Harus bagaimana? Aku sendiri bingung dengan semua ini. Aku tidak mungkin melepas Naya begitu saja, kami sudah saling mencintai enam tahun lamanya, hingga sebentar lagi hampir menuju jenjang serius.
Tapi kurasa semuanya telah hancur, hancur karena kebrengsekan diriku. Karena nafsu sialan!
"Makan dulu, Rin." aku menyodorkan piring berisi nasi itu. Dia menerimanya dan menyuapkan nasi demi nasi ke mulut.
"Apa sebaiknya kita jujur saja padanya?" tanyanya di sela makan.
"Tidak, Rin! Pasti ada jalan lain, tidak semudah itu untuk melepasnya."
"Apa kau begitu mencintainya, Dev?" aku menatap kedua mata Karin, terdapat kecemburuan disana.
"Enam tahun bukan waktu yang sebentar, Rin. Kami sudah melalui banyak hal bersama, susah senang kami sudah lewati. " kami berdua terdiam.
Hening. Namun tidak dengan yang di dalam sini. Hatiku berkecamuk. Aku dirundung gelisah antara harus memilih. Aku tak ingin melukai keduanya.