Kesalahan fatal
Sekali lagi aku menatap wajah polos wanita yang terlelap di sampingku, apa aku benar-benar melakukannya semalam?
Aku mengusap wajahku gusar, itu benar-benar di luar kendaliku. Perlahan aku bangkit dari ranjang yang telah aku nodai, melangkahkan kaki menuju kamar mandi.
Guyuran air shower mendinginkan pikiran yang berkecamuk, bagaimana aku bisa seceroboh itu, ketika libido tak bisa ditahan, beginilah jadinya.
"Maafin Abang, Nay...," ucapku lirih.
Kejadian sebelum ini, saat itu aku baru sampai di pulau tujuan. Pulau yang akan dilakukan investasi pembangunan.
"Devan, jangan terlalu ke tengah lu kan gk bisa berenang,"
"Ya, tahu gue,"
"Gue balik ke hotel dulu, ya!" sahabatku itu melangkah pergi.
Hingga matahari hampir tenggelam menampakkan cahaya jingganya, aku masih berendam di pantai. Rasanya sangat damai, menghilangkan pikiran penat saat di kota.
Namun tiba-tiba aku merasakan air semakin meninggi, apakah akan berubah pasang?
Dengan cepat aku berusaha ke tepi, namun tubuhku seakan terbawa ombak semakin ke dalam lautan. Panik bukan main, sahabatku sudah pergi. Pengunjung disini juga sudah sepi karena hampir gelap. Hingga tubuhku tenggelam sempurna.
Sesekali aku menyembulkan kepalaku meminta tolong, langit sudah gelap.
"Astaga," wanita yang melihat kejadian itu panik melihat tangan melambai-lambai di dalam air.
Tanpa fikir panjang wanita itu menghampiri, melawan ombak yang hampir berubah pasang. Hendak menolong.
Dirinya yang sejak kecil tumbuh di kawasan laut, membuatnya mahir berenang melawan ombak.
Wanita itu meraih tubuhku dan membawanya ke tepi. Dengan cepat ia menekan-nekan dadaku bahkan memberi nafas buatan. Saking paniknya.
Aku terbatuk-batuk mengeluarkan air dari mulutku, nafasku tersenggal. Satu tanganku menopang tubuh untuk bangkit duduk. Aku menatap wanita penolongku yang basah kuyup. Seketika aku memalingkan wajah melihat bajunya yang tembus pandang karena basah.
Dia menelangkupkan kedua tangannya di depan d**a ketika sadar, wajahnya bersemu merah karena malu.
"Terima kasih...," senyum tersungging di bibirku. Entah karena dia telah menolongku, atau karena dia terlihat cantik dengan wajah bersemu merah.
Pandanganku buyar ketika tetes air mengenai hidung lancipku. Tetes air itu mulai banyak berjatuhan, hujan turun. Kami berdua mendongak.
"Ayo, berteduh disana," aku menunjuk sebuah pondok dekat pantai. Ia mengangguk karena hujan mulai deras.
Tubuhku menggigil ketika sudah berada di pondok. Mengapa hujan turun segala.
"Kau tinggal dimana?" tanyaku memecah lengang. Tubuh wanita itu juga menggigil menahan dingin.
"Lumayan jauh dari sini," jawabnya tanpa menoleh ke arahku. Sial, suaranya lembut sekali.
Sejam berlalu hujan tak kunjung redah, malah semakin deras. Wanita itu terlihat tak nyaman karena pakaiannya yang basah.
Tanpa pikir panjang aku membuka kemeja yang menempel di tubuhku. Wanita itu melotot terkejut.
"K-kau mau apa?" tanyanya ketakutan melihatku mendekat ke arahnya.
Aku tak menggubrisnya, terus mendekat ke arahnya. Wanita itu memejamkan matanya dan semakin mengeratkan kedua tangan menutupi dadanya.
Aku menarik pelan tubuhnya agar tak menempel di dinding, dan langsung memasangkan kemejaku untuk menyelimuti tubuhnya.
"Bajumu tembus pandang, mengganggu mataku." senyum tersungging di bibirku.
Wanita itu salah tingkah, wajahnya kembali bersemu merah.
"Mau menerobos hujan? Sepertinya hujan tak akan redah, biar kuantar pulang." tawarku.
Namun wanita itu malah menunduk,
"Kalau Anda ingin pulang, pergi saja tidak apa-apa,"
"Lalu kau bagaimana?"
"Jangan dipikirkan, aku sudah terbiasa,"
"Mana bisa begitu, kau sudah menolongku, aku harus mengantarmu pulang. Lagian ini sudah malam, hujan, apalagi kau seorang perempuan,"
"Kau juga tadi bilang rumahmu cukup jauh, kan?".
"Tidak masalah, biasanya aku pulang lebih larut dari ini," jawabnya tersenyum.
Aku menelan ludah. Aku harus bagaimana? Tak mungkin aku tega meninggalkannya disini.
"Bagaimana kalau malam ini kau menginap di penginapanku?" tawarku.
Wajah wanita itu tampak gelisah, bingung menjawab.
"Aku tak akan menyakitimu, malam semakin larut, kita bisa sakit kalau terus-terusan disini. Besok akan kuantar kau pulang."
"Ayo!" aku menarik tangan wanita itu menerobos hujan.
Aku menyalakan api setelah sampai di penginapan. Aku tak mungkin membawanya ke hotel tempatku menginap dan sahabatku serta rekan kerja lainnya. Lagian jarak hotel cukup jauh.
Aku menuju lemari hendak mengambil pakaian, namun kosong. Aku lupa kalau semua pakaianku tertinggal di hotel. Hanya ada selimut satu disini.
Aku menatap wanita itu yang juga sudah sangat kedinginan. Terpaksa aku harus terus bertelanjang d**a.
"Beradalah di dekat perapian, hangatkan tubuhmu." wanita itu tidak menjawab namun menutut. Dia beranjak menuju perapian.
"Siapa namamu?" aku merebahkan tubuhku di sampingnya.
"Karin, Karina Senja."
"Oh, aku Devan. Devandra Erlangga." wanita itu menerima jabatan tanganku. Damn! Desiran halus terasa di tubuhku saat tangan halus itu menyentuh kulitku.
Seperti ada bongkahan batu besar menghimpit dadaku, nafasku sesak. Dengan cepat aku melepaskan tanganku, sebelum pikiran-pikiran sialan itu menguasaiku.
"Kau tidak mengabari orangtuamu?" aku mencoba mencomot topik lain.
Wanita itu menggeleng.
"Kenapa?"
"Aku tidak punya orangtua. Aku sejak kecil di asuh oleh orang yang menolongku, namun mereka tak sebaik itu. Aku selalu dipaksa bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan mereka, dengan alasan untuk balas budi karena mereka telah menolongku waktu tenggelam dulu,"
"Mereka juga tak segan memarahiku dengan kekerasan kalau aku berbuat salah, aku diperlakukan seperti layaknya babu,"
"Apa mereka takkan marah selarut ini kau tidak pulang?" tanyaku.
Wanita itu menggeleng lagi.
"Asalkan aku membawakan mereka uang, mereka takkan marah." Wanita itu menyeka ujung matanya.
"Kau menangis, Karin?"
"Aku hanya memikirkan orangtuaku, aku tak tahu mereka selamat atau tidak saat kejadian dulu. Andai sekarang aku bersama mereka aku pasti takkan menyedihkan seperti ini," bulir bening menetes di pelupuk matanya yang indah. Bahunya terlihat naik-turun menahan isakan.
Aku kalut saat dia semakin sesenggukan. Tanpa pikir panjang, aku menarik bahunya menenggelamnya dalam pelukanku.
"Menangislah...,"
Hingga aku merasakan dadaku basah oleh genangan air matanya. Desiran halus kembali terasa, seperti ada yang ingin meledak di dadaku saat pipi kembung wanita itu menempel sempurna di dadaku yang telanjang.
'Tahan, Dev!'
Bahunya yang bergetar naik turun, menambah imajinasi sialanku muncul.
Aku menatapnya, rambutnya yang basah karena hujan menambah aurah berbeda tersendiri. Aku menelan saliva.
"Karin...,"
"Hm?" wanita itu mendongak. Nafasnya menghantam wajahku. Kata 'Hm' yang dia keluarkan terasa indah di telingaku.
Aku tak bisa berpikir lagi, aku menyatukan bibir kami. Tubuhnya tersentak karena terkejut, ada sedikit pemberontakan darinya. Namun takkan kuberi celah, aku mengunci tubuhnya dipelukanku.
Sialnya, bibirnya sangat manis.
Gairah sialan ini menggelapkan mataku. Aku meminta lebih. Aku memboyongnya ke ranjang, tak memperdulikan rintihannya. Malam itu, aku melakukan kesalahan fatal.
BRUK!
Aku memukul dinding kamar mandi, ingatan kejadian tadi malam kembali terbesit. Bayangan rintihan Karin di bawahku menari-nari di kepala. Bayangan wajahnya yang menahan sakit membuatku frustasi.
Saat itu, aku tak menghiraukan apapun.
"Bodoh kau, Dev!" umpatku.
Naya, maafin Abang. Abang telah melakukan kesalahan.
Mengapa kau begitu bodoh, Devan. Kau sudah memiliki tunangan. Tapi kau barusaja merenggut kesucian wanita lain.