"Hai, lo Diva kan?" Tanya seorang laki-laki pada Diva yang baru saja mendudukkan dirinya di perpustakaan sekolah mereka.
Diva menganggukkan kepalanya kecil sebagai jawaban 'iya' darinya.
"Kalau begitu, boleh gue duduk disini?" Tanya orang itu lagi, namun langsung duduk tanpa mendengar jawaban dari Diva terlebih dahulu.
"Oh iya, kenalin gue Athaya Raja Pramudiaji. Panggil aja gue Raja," katanya lagi.
Kali ini, wajah Diva berubah was-was dan tidak nyaman. Dia takut kalau seseorang memergokinya yang akan berujung pada salah paham lagi hanya karena dia mau menerima laki-laki yang didepannya ini untuk duduk bersamanya. Pengalamannya yang menerima bully dari Laura hanya karena dia menerima bantuan Redo saat dia jatuh kemarin, belum hilang dari ingatannya sama sekali.
"Hei, rileks. Lo nggak perlu nunjukin wajah setakut ini karena gue nggak punya pacar atau punya seseorang yang lagi dekat sama gue kok yang bakal nge-bully elo kalau ngelihat kita berdua dekatan. Selain itu, gue yakin kalau nggak bakal ada yang berani ngebully elo setelah apa yang dilakukan Deva kepada Laura." Kata Raja sambil memberikan senyum ramahnya yang membuat Diva sedikit lebih rileks dari rasa takutnya.
Perkataan laki-laki itu mengingatkan Diva akan kejadian sekitar beberapa bulan yang lalu, saat dimana Deva melihatnya dalam keadaan mengenaskan. Saat itu rambut Diva acak-acakan, pipinya memerah akibat tamparan Laura dan juga baju yang robek akibat tarikan dari Laura beruntung robekan itu sudah ditutupi kemeja Nathan. Yang Diva ingat hanya kata 'terima kasih' yang keluar dari mulut Deva pada Nathan saat itu karena setelahnya Deva langsung menarik Diva dengan lembut menuju kantin. Tepatnya menuju Laura dan teman-temannya berkumpul.
“Lo yang buat dia gini?” Tanya Deva tanpa tedeng aling-aling saat dia dan Diva tiba dihadapan Laura dan teman-temannya.
Saat itu, semua orang yang ada di kantin langsung diam dan memilih untuk menyaksikan apa yang akan dilakukan Deva kepada Laura. Sedangkan Diva, dia memilih untuk menundukkan kepalanya karena jujur saja dia takut kepada perempuan itu.
Siapapun yang melihat Deva saat itu, sangat tau kalau dia sangat marah. Jadi lebih baik diam dan menjauh daripada merasakan kemarahannya. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku pada Laura, dia malah memilih untuk menantang Deva dengan sombongnya dia berkata, ”Iya. Kenapa?” katanya lalu berdiri dari duduknya sambil melipat tangannya, “adek lo pantas mendapatkannya karena dia murahan.” Lanjutnya lagi yang membuat emosi Deva benar-benar tersulut.
Deva melayangkan tinjuannya tepat di depan wajah Laura. Hal itu membuat Laura terkejut dan wajahnya berubah seketika pucat saking takutnya dia akan pukulan Deva tadi.
“Gue tipe laki-laki yang membatasi penggunaan kalimat seorang pria tidak akan pernah memukul seorang wanita. Gue nggak peduli lo cewek atau cowok karena gue orang yang akan melakukan apapun kalau itu bisa ngejaga dan ngelindungi orang-orang yang gue sayangi.” Kata Deva menurunkan pukulannya yang tidak benar-benar mengenai wajah Laura karena memang Deva tidak akan pernah memukul seorang perempuan. Perkataannya tadi hanyalah sebuah ancaman saja. Kenyataannya pukulan itu berjarak sedikit berjarak dari wajah Laura.
Sejak saat itu, Laura berhenti mengganggunya. Tidak hanya Laura, beberapa orang yang awalnya tidak menyukai Diva juga saat itu secara terang-terang menjauhinya karena menurut mereka, Diva orang yang manja yang akan mengadu pada Deva atau Divo kalau dia merasa tidak senang atau sakit hati dengan siapapun.
"Apalagi sekarang lo udah jadi pacarnya Nathan," ucap Raja itu yang berhasil menarik perhatian Diva setelah membayangkan kejadian antara dia, Deva dan Laura beberapa waktu yang lalu.
Wajah Diva merona, lalu dia tersenyum malu-malu. Selalu seperti itu, dia memang selalu merona dan senyum malu-malu setiap kali seseorang menyinggung hubungannya dengan Nathan. Itu karena dia sendiripun tidak menyangka bisa berpacaran dengan Nathan sampai sejauh ini, setelah laki-laki itu mengajaknya berpacaran sekitar 3 bulan yang lalu. Namun rona dan senyum malu-malu itu menghilang saat Raja mengeluarkan pertanyaan yang seakan menamparnya dengan telak.
"Apa kalian sama-sama bahagia dengan hubungan ini?"
Wajah Diva berubah muram sesaat, namun dengan cepat digantinya wajah muram itu dengan sebuah senyuman kecil namun terlihat sendu dan terpaksa bagi siapapun yang melihatnya. Diva tidak menjawab pertanyaan Raja tadi karena dia tidak tau harus menjawab apa pada Raja. Pernah Diva menanyakan hal ini kepada dirinya sendiri beberapa kali, namun hanya rasa sesak dan airmata yang dia dapatkan karena pertanyaan itu. Buatnya Nathan masih saja menjadi sosok yang tidak bisa dia sentuh dan mengerti.
Suasana diantara Diva dan Raja berubah hening untuk sesaat, sampai Raja kembali mengatakan sesuatu yang menurut Diva sangat gila. "Gue mau jadi alat lo agar lo bisa ngejawab pertanyaan yang seharusnya bisa lo jawab itu."
***
"Va, hari ini Nathan dan kedua kembaran lo ke LOPI kan?" Raja yang baru saja mendudukkan dirinya di depan Diva segera mengajak Diva berbicara dengan mengajukan pertanyaan itu.
Diva yang tadinya sibuk dengan bukunya kini mengalihkan perhatiannya kepada Raja, lalu dia menganggukkan kepalanya pada Raja. "Iya, mereka berlima diminta oleh Pak Michael kesana untuk persiapan olimpiade selanjutnya." Lanjut Diva kemudian.
Mendengarkan penjelasan Diva itu, membuat Raja mengangguk-anggukkan kepalanya kecil tanda mengerti. Setelahnya dia terdiam sejenak dan terlihat seperti memikirkan sesuatu, akhirnya Raja mengatakan apa yang baru dipikirkannya itu. "Kalau begitu, bagaimana kalau hari ini gue yang anterin lo pulang?"
"Maaf Ja, tapi aku ada pelajaran tambahan sampai sore nanti." Jawab Diva setelah terlihat terdiam sejenak karena harus berpikir bagaimana cara menolak ajakan Raja yang untuk kebeberapa kalinya ini.
Untuk penolakannya yang beberapa kali ini, Diva merasa tidak enak. Dia bisa mengerti kalau seandainya Raja tidak mau lagi berteman dengannya karena semua penolakan yang dia lakukan. Siapa yang tidak sakit hati atau tersinggung apabila setiap kali ajakanya ditolak oleh orang yang mengaku temannya itu. Kalau dipikir-pikir lagi, sejak awal bertemu dengan Raja, Diva memang selalu menolak apapun yang Raja tawarkan kepadanya. Dimulai dari dia yang menolak tawaran Raja soal menjadi alat untuk mengetes Nathan.
Diva pikir Raja akan langsung mejauhinya seperti orang lain yang memang menganggapnya sombong selama ini. Tapi ternyatanya tidak, Raja malah menawarkan sebuah pertemanan pada Diva yang awalnya juga ditolak oleh Diva. Tapi Raja terlalu gigih berusaha mendekati Diva dengan selalu mendatangi dan mengajaknya bicara, membuat Diva merasa tidak enak kalau harus mengabaikan Raja terus menerus. Hingga akhirnya Raja mendapatkan apa yang dia mau karena pada akhirnya Diva mau menerima Raja sebagai temannya.
Sering menghabiskan waktu bersama dengan Raja membuat Diva terbiasa dengan kehadiran laki-laki itu. Padahal biasanya sangat sulit buat Diva untuk bisa beradaptasi dan terbiasa dengan kehadiran orang baru dalam hidupnya. Sulit buat Diva untuk menggambarkan bagaimana sebenarnya bentuk pertemanan dia dan Raja. Menurutnya pertemanan mereka memang terasa aneh karena pertemuan mereka seolah sudah dirancang dari awal. Dimulai kapan mereka harus bertemu dan dimana mereka harus melakukan pertemuan karena Diva benar-benar tidak pernah menemui Raja diluar dari semua itu. Sepanjang Diva berteman dengan Raja, mereka selalu bertemua saat jam istirahat sekolah saja. Lalu untuk tempat pertemuan mereka biasanya Diva hanya bisa menemukan Raja hanya di perpustakaan saja.
Selain itu, pernahkah kamu merasakan memiliki seorang teman, tapi kamu merasa kalau kamu tidak tau sedikitpun tentang teman kamu itu? Padahal kalian begitu dekat dan sering bertukar cerita satu sama lain. Begitulah perasaan yang dimiliki Diva berteman dengan Raja.
"Mmm, bagaimana kalau gue nungguin lo? Kebetulan gue ada latihan basket juga hari ini di SMA 54?" Ujar Raja lagi setelah berpikir sejenak dan membawa Diva kembali dari pemikirannya.
Berpikir ini adalah kesempatannya untuk mengenal Raja lebih dekat dan kebetulan juga kalau Nathan hari ini tidak hadir, Diva akhirnya menyetujui tawaran Raja itu. "Baiklah, nanti aku akan menghubungi kamu kalau aku sudah selesai." Katanya sambil tersenyum.
"Tapi lo nggak punya nomor gue," ujar Raja yang menyadarkan Diva kalau dia tidak punya kontak Raja setelah berteman dengan laki-laki itu beberapa bulan belakangan ini.
"Oh iya, aku nggak punya." Diva menyengir lucu saat mengatakan itu pada Raja.
Raja terdiam karena terpesona pada reaksi Diva tadi. Sepertinya dia baru menyadari kalau Diva itu sebenarnya sangat cantik dan baik. Namun keterpesonaan Raja itu hanya sebentar karena setelahnya dia terlihat seperti tersadar, lalu tersenyum sambil menyodorkan tangannya pada Diva yang dibalas Diva dengan kernyitan tidak mengerti. "Handphone lo," kata Raja menjawab kebingungan di wajah Diva tadi.
"Ini nomor gue. Lo bisa hubungin gue nanti," lanjut Raja setelah menunjukkan sebuah nomor yang baru disavenya di hape Diva.
***
Diva memandang langit yang terlihat gelap karena mendung. Dia yakin kalau sebentar lagi hujan besar akan mengguyur bumi. 'Padahal tadi masih cerah, bagaimana ini?' pikir Diva dengan tatapan yang sudah kembali ke whiteboard kelasnya.
'Oh iya, Raja.' Diva langsung teringat akan janjinya dengan Raja.
Raja Pramudiaji
Ja, sebaiknya kamu tidak menjemput aku karena ini akan jadi hujan yang sangat deras.
Aku akan pulang sendiri.
Diva mengirimkan pesan itu pada Raja karena dia yakin kalau pelajaran mereka berakhir saat hujan telah turun. Dia tidak mau menyusahkan Raja dengan memintanya kembali ke sekolah mereka, lalu menunggunya dan mengantar dia pulang saat keadaan tidak mendukung seperti ini. Diva lalu meringis, saat handphonen-nya tiba-tiba mati karena kekurangan daya. 'Sial. Seharusnya aku tidak lupa menchargernya tadi malam. Mana powerbank-nya juga ketinggalan lagi.' Umpat Diva dalam hatinya.
Diva lalu mendesah kuat, mengembalikan hapenya ke tas miliknya dan memilih fokus sampai pelajaran usai. 30 menit kemudian, pelajaran tambahan untuk kelas Diva selesai dan sesuai dugaan Diva tadi kalau hujan benar-benar mengguyur bumi dengan derasnya. Beruntung saat mereka menyelesaikan kelas tambahan mereka, hujan sudah tidak sederas itu lagi.
Meski hujan sudah tidak deras, sebagian teman-teman sekelas Diva memilih untuk tinggal di dalam kelas mereka. Mungkin mereka tidak suka kalau harus merasakan basah dan dingin yang berasal yang masih mampu dilakukan hujan diluaran sana. Diva sendiri, dia memilih untuk meninggalkan kelas. Dia berjalan melalui koridor panjang sekolahan mereka yang ujungnya dekat dengan gerbang utama mereka. Selama di lorong sekolah, Diva sibuk memikirkan dia harus melakukan apa untuk menghubungi keluarganya. Meminta, papa, kembarnya atau supir keluarganya untuk menjemput dia karena tidak akan ada angkutan umum yang lewat dari wilayah sekolahnya. Dan jalan satu-satunya yang terpikir oleh Diva adalah meminjam hape milik satpam sekolahannya.
Saat Diva hampir sampai di ujung koridor sekolahnya, langkah Diva terhenti. Dia antara percaya dan tidak percaya dengan sosok laki-laki yang tengah bediri dan memegang payung di ujung koridor yang akan ditujunya. Dengan pikiran yang tidak percaya, namun hati berharap, Diva melangkahkan kakinya kearah sosok itu.
Sesampainya dia di belakang orang itu, dia segera memanggilnya untuk memastikan kalau dia tidak hanya bekhayal. "Nathan," panggilnya.
Nathan memutarkan tubuhnya, lalu tersenyum kecil pada Diva. Saat itu hati Diva berdegup, dia merasa hangat akan keberadaan Nathan saat ini karena jujur saja, dia tidak menyangka kalau Nathan akan datang kesekolah hanya untuk menjemputnya. Seolah Nathan tau kalau dia akan membutuhkan bantuan.
"Ayo," katanya kemudian sambil menyampirkan jaket hitam miliknya yang tadi dia kenakan ke tubuh Diva.
"Kamu gimana?" Tanyanya karena dia khawatir dengan Nathan yang hanya menggunakan kemeja sekolahan mereka.
"Ada payung. Tadi mang dadang meminjamkannya," ucap Nathan sambil menunjukkan sebuah payung kuning yang berukuran besar .
"Ayo," Katanya lagi mengulang ajakannya kepada Diva. Sedikit berbeda dengan ajakan yang pertama sekali, kali ini Nathan mengajaknya dengan menyodorkan tangan kirinya pada Diva.
"Ayo," balas Diva dengan semangat menyambut tangan Nathan yang langsung digenggam Nathan dengan erat.
Saat keduanya sudah berjalan meninggalkan sekolah mereka, ada sepasang mata yang melihat mereka dengan mata sendunya. Sepasang mata milik dari salahsatu orang yang Diva sebut sebagai teman.
"Apa masih ada kesempatan buat aku?"
***