Malam ini di kediaman keluarga Evan, terlihat satu keluarga sedang menyantap makan malam bersama.
Semua sibuk dengan makanannya, hanya suara denting sendok menyentuh piring yang terdengar di ruang makan yang luas itu, namun itu tak berlangsung lama saat Mia berdehem memecah keheningan. “Ehem.” membuat dua pasang mata lainnya sontak menaruh atensi padanya.
“Evan, gimana keadaan perusahaan hari ini nak?”
“Semuanya baik-baik saja Ma.”
“Syukurlah kalau gitu. Kalau ada apa-apa, bilang sama Mama, jangan sembunyikan apa pun dari Mama,"
“Iya Ma. Mama enggak usah khawatir soal perusahaan. Aku bisa mengurusnya dengan baik.”
Mia menyunggingkan senyumnya seraya menepuk pelan punggung tangan Evan yang berada di atas meja. “Iya, Mama percaya kok sama kamu.”
Mia kemudian beralih melirik Lia yang menunduk sambil mengunyah makanannya dalam diam. “Lia,”
“Iya Ma?” Lia dengan cepat menjawab, menaruh perhatian penuh pada mama mertuanya pasalnya jarang sekali mertuanya itu mengajaknya bicara duluan.
“Kamu itu lulusan S1 manajemen ‘kan ya?”
“Iya Ma.”
“Tapi kok kerjanya cuma jadi kasir ya?”
“Ma,” timpal Evan ketika mendengar pertanyaan Mamanya yang cukup menyinggung itu.
“Kenapa sih Evan. Mama cuma nanya loh. Mama cuma nanya ya Lia.”
Lia memasang senyum yang dipaksakan. “Enggak apa-apa kok Ma. Hm, itu karena aku ingin cepat bekerja dan punya penghasilan biar bisa bantu keluarga juga. Sebelumnya aku udah pernah ikut tes tapi gagal, udah ngirim lamaran ke beberapa kantor juga enggak dipanggil terus akhirnya dapatnya kerja jadi kasir,” jelas Lia.
“Oh sayang banget ya lulusan S1 tapi cuma jadi kasir.” Lia sontak membasahi bibirnya, menelan ludahnya, merasa tak nyaman.
“Justru bagus lah Ma. Itu artinya Lia pekerja keras dan enggak mudah menyerah. Banyak juga orang di luar sana yang lulusan S1 tapi masih menganggur. Cari kerja itu susah.” Mia akhirnya hanya bisa diam, sementara itu Lia sedikit menarik bibirnya ke atas ketika Evan membelanya.
Setelah makan malam, Evan dan Lia masuk ke kamar. Evan yang berada di belakang Lia tiba-tiba meraih pergelangan tangan istrinya, membuat istrinya tersentak kemudian berbalik. “Maafin kalau kata-kata Mamaku tadi menyinggung kamu ya,”
Lia menghela napasnya. “Mau sampai kapan kamu minta maaf terus? sampai kapan Mamamu akan membenciku?”
“Kenapa kamu bicara seperti itu? Mamaku enggak benci sama kamu tapi—“
“Tapi apa?” Lia dengan cepat memotong perkataan Evan hingga membuat suaminya terdiam, tidak dapat menjawab. “Tapi Mamamu enggak suka sama menantunya karena enggak selevel dengan keluarganya ‘kan? kamu enggak lihat perlakuan mama kamu ke aku? atau kamu pura-pura enggak tahu aja?” lanjutnya kembali berbicara.
“Kamu salah paham Lia.”
“Salah paham apa? Mamamu udah beberapa kali menyindir aku. Aku dan keluargaku memang tidak selevel dengan keluargamu tapi aku enggak akan pernah memanfaatkanmu. Aku menikah denganmu juga karena anak ini," tutur Lia dengan mata memerah menahan tangis seraya menunjuk perutnya yang masih datar lalu keluar dari kamar.
Evan sontak mengusap wajahnya kasar seraya menghela napas kasar. Sebenarnya ia tidak ingin berdebat dengan istrinya, ia ingin berdamai dan memiliki hubungan yang baik dengan istrinya tapi yang dikatakan istrinya ada benarnya. Ia juga menyadari bila mamanya memang masih belum bisa menerima Lia dan terkadang omongannya sudah keterlaluan pada Lia.
Lia melangkah cepat menuju kamar mandi belakang dengan wajah berlinang air mata. Ia sudah tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya. Bi Siti, salah satu ART yang berada di dapur menyaksikan dengan jelas wajah Lia yang penuh air mata. Ia merasa simpati dengan penghuni baru rumah majikannya tersebut tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, ia tidak ingin ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain.
Lia terisak sendiri di dalam kamar mandi, meluapkan segala sesak yang tertahan di d**a. ‘Kenapa semuanya menjadi seperti ini? Apa ini hukuman buatku karena telah melakukan perbuatan laknat itu? aku sangat menyesal. Kalau waktu bisa diputar kembali aku tidak akan melakukan itu.' ia menatap pantulan dirinya di cermin, pipi basah karena air mata, hidung dan mata merah, begitu menyedihkan dirinya. Tapi tidak ada yang bisa diperbuat, ia hanya bisa menyesali perbuatannya di masa lalu.
***
Di tengah malam, Evan terbangun dan tak menemukan istrinya di sebelahnya. ‘Ke mana Lia? jadi dia tidak kembali ke kamar semalam.’ Ia bangkit dari tidurnya, melangkah keluar kamar.
Saat pergi ke ruang tamu, ia mendapati istrinya sedang tertidur di sofa dengan posisi duduk. “Astaga. Kenapa kamu tidur di sini Lia?” ucapnya pelan takut membangunkan istrinya. Evan akhirnya mengendong Lia kemudian membawanya ke kamar.
Ia membaringkan istrinya hati-hati ke atas ranjang lalu menarik selimut hingga sebatas perut. Ia berlutut menatap lekat-lekat wajah Lia yang terlelap. Wajah putih bersihnya itu kelihatan sedikit membengkak dan lembab di bagian kelopak matanya. ‘Apa Lia habis menangis?’ begitulah isi pikiran Evan saat ini. Tangannya tergerak membelai lembut poni panjang yang menutupi kening tinggi istrinya. Perlahan sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman manis, “Kamu sangat cantik Lia,” namun sepersekian detik kemudian sudut bibirnya kembali turun. “Maaf telah membuatmu menangis.” Tangannya tergerak mengusap pelan pipi Lia sebelum akhirnya memberi kecupan lembut ke kening istrinya. “Selamat malam. Semoga mimpi indah istriku.”
***
Evan kembali terbangun saat pagi ketika pintu kamar dibuka, ia menyipitkan mata untuk melihat siapa yang masuk, yang ternyata adalah istrinya dengan wajah pucat, lesu sambil memegang perut. Ia sontak bergegas bangun, menghampiri istrinya, memegang tangan istrinya agar tidak oleng. “Lia kamu enggak apa-apa? Mukamu pucat banget. Kamu sakit?”
“Aku enggak apa-apa. Aku cuma mual, sepertinya bawaan hamil aja,” jawab Lia dengan suara pelan, untuk berbicara saja sepertinya tidak sanggup. Ia pergi duduk di sisi ranjang, menyentuh dahinya yang terasa berdenyut. “Kamu udah sarapan?” Lia menggeleng.
“Aku minta Bi Siti buatin bubur ya, kamu tunggu di sini dulu. Berbaring aja dulu.” Evan lalu bergegas menuju dapur.
“Bi Siti lagi ngapain?” tanya Evan pada salah satu ART di rumahnya yang bertugas memasak. Bi Siti adalah salah satu ART yang paling dekat dengannya karena sudah lama bekerja dengan keluarganya. “Lagi buat sarapan ini Mas. Mas Evan ada mau dibuatin sesuatu?”
“Iya tolong buatin bubur ya Bi untuk istri saya.”
“Non Lia sakit Mas?”
“Enggak, cuma mual bawaan hamil aja Bi,”
“Oh emang kalau lagi hamil muda gitu, biasa gitu Mas. Sebentar ya Mas nanti saya anterin aja ke kamar.”
“Iya Bi,” setelah mandi dan berpakaian rapi, Evan membawa bubur buatan Bi Siti yang baru masak ke kamar. Ia sendiri yang ingin menyuapi Lia makan.
Ketika masuk kamar, ia mendapati Lia sedang duduk bersandar di tepi ranjang sambil memejamkan matanya. Evan meletakkan mangkuk dan segelas air ke atas nakas dengan pelan kemudian menepuk tangan Lia. “Lia.” Membuat Lia membuka matanya perlahan. “Makan dulu yuk,”
Lia menggeleng, “Aku enggak napsu makan.”
“Sedikit aja, daripada perut kosong.” Evan duduk ditepi ranjang, menyendokkan sedikit bubur lalu hendak menyuapi Lia, tapi Lia tetap menggeleng, enggak membuka mulut.
"Tolong makan sedikit saja," Evan berkata dengan suara memohon dan wajah memelas hingga akhirnya Lia luluh dan mau makan walaupun hanya beberapa sendok. Evan menyunggingkan senyum bahagianya ketika melihat istrinya mau makan, setidaknya perutnya terisi.
TBC