JEVIN mengendarai motor BMW SPORT hitamnya dengan kecepatan penuh, ia melakukan hal gila yang belum pernah dia lakukan, mengikuti wanita luar biasa yang menjadi pelanggan tetapnya selama seminggu terakhir. Jevin tahu, ia tidak punya banyak waktu untuk teralih dengan hal-hal semacam ini—wanita. Ia harus mempersiapkan diri untuk syuting, berbagai meeting. Jevin harus fokus. Hanya saja ia tidak mampu menahan diri pada Becca—ah, nama yang indah.
Mobil yang ditumpangi wanita itu berhenti pada salah satu kedai dessert ala Korea terkenal di daerah Kemang, masih daerah kedai kopi milik Jevin.
Jevin sengaja menunggu Becca masuk dan memesan dessert, baru ia memarkirkan motor dan masuk ke kedai. Jevin menyunggingkan senyum tipis saat mendapati Becca mengambil posisi paling pojok, menata laptop—hal yang biasa dilakukan wanita itu di kedainya.
Kejadian tidak terduga terjadi, wanita itu menatapnya, kemudian membuka bibir terkejut melihat Jevin.
Jevin sengaja memberikan reaksi yang sama, lalu menghampiri Becca. "Wah, kita ketemu lagi...."
Becca menghadiahinya sebuah senyum tipis sambil bertopang dagu. "Ini sebuah kebetulan atau ada yang ketakutan baju kesayangnya dibuang?"
Baju. Bukti kekonyolan Jevin, dan ia menyukai itu. Jevin mempunyai alasan untuk berbicara dengan Becca. Tabrakan tadi terjadi bukan karena ia tidak menyadari gerakan Becca. Dia menyadari, dan membiarkan Becca menabraknya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Jevin.
"Duduk. Bekerja. Dan menggendutkan badan lagi." Becca menyuap satu sendok dessert, menggigit ujung sendok sebentar tanpa melepaskan pandangannya dari Jevin. "Jadi kebetulan atau disengaja?"
"Anggap saja takdir," sahut Jevin pelan.
Jevin melirik kursi kosong di depan Becca, menunggu wanita itu peka dengan apa yang dia mau. Sebenarnya bisa saja Jevin meminta diperbolehkan untuk duduk, tapi kembali pada jawabannya tadi—ini hanya takdir.
"Takdir yang bagus, sayang untuk dilewatkan. Banyak perempuan di luar sana berharap bisa duduk bersama Jevin Adhitama, masa aku yang diberikan kesempatan cuma-cuma oleh takdir mau mengabaikannya."
"Kamu—"
"Tahu kalau kamu artis dan model?"
Jevin menarik kursi dan duduk di depan Becca, lalu mata cokelat Becca memesona Jevin sedemikian rupa. Wanita itu tahu siapa dirinya, tapi tidak bersikap seperti orang yang bertemu artis kebanyakan. Bahkan Jevin mengira Becca tidak tahu siapa dirinya, beberapa kali mereka berpapasan di kedai, Becca bersikap tak acuh. Tatapan Jevin mendarat di tempat salah—bibir, karena Becca membuang muka cepat dan rona kemerahan menghiasi wajahnya.
"Sejak kapan?"
"Apa?"
"Kamu tahu kalau aku, ya—profesiku."
"Sejak vanila latte-ku tumpah secara dramatis ke bajumu." Becca menutup laptopnya, dan hal itu sangat mempermudah Jevin memandang Becca dengan leluasa. Becca meniup beberapa helai rambut dari wajah, lalu mempertemukan membalas tatapan Jevin. "Kamu belum pesan sesuatu di sini?"
"Aku tadi sudah berniat untuk melakukannya, tapi melihatmu mengalihkan semuanya."
"Kalau begitu aku harus meminta maaf karena mengalihkan perhatianmu." Becca bangun dari kursi. "Aku traktir Patbingsu. Best seller di sini." Sebelum sempat Jevin membantah wanita itu sudah berjalan meninggalkan Jevin, dan menyunggingkan senyum yang bahkan mampu membuat seluruh es di kedai ini mencair.
Jevin memperhatikan b****g Becca yang berayun dengan selaras. Ia berusaha menyembunyikan seringai lebarnya, tapi tidak berhasil. b****g dan bentuk badan Becca yang luar biasa sexy—menurutnya adalah hal paling menggoda sepanjang hidupnya, terutama p******a yang pasti pas dalam rengkuhannya. So f*****g sexy.
"Apakah aku alasanmu tersenyum seperti itu?" Ketika Jevin sibuk memikirkan hal-hal gila, Becca kembali.
"Mungkin," jawab Jevin.
"Kamu benar-benar melakukan usaha dengan sangat baik Tuan Jevin Adhitama. Jadi sudah berapa banyak wanita yang takluk dengan cara ini?" Becca menyeringai.
Jevin menggeleng. "Nol." Kemudian memajukan badan ke arah Becca sampai d**a bidangnya menempel pada tepi meja. "Ya—seperti yang kamu tahu, profesiku mempermudah banyak hal, termasuk bagian mendekati wanita. Aku belum pernah usaha, kamu yang pertama."
Jevin kembali bersandar di kursi sambil menunggu reaksi Becca. Wanita tidak juga menanggapi, Jevin tidak sengaja melihat cara Becca memandangi dirinya. Dan hal yang tidak seberapa itu membuat aliran darah Jevin mengucur deras menuju celana jinsnya. Jevin memajukan lagi badannya untuk mengurangi ketegangan yang terjadi pada saraf di dalam sana, ia meletakkan tangannya di meja dan tidak sengaja menabrakkan buku-buku tangannya dengan milik Becca. Pupil wanita itu melebar, membuat jemari Jevin gatal ingin menyentuh bagian yang lain, dan dari cara badan Becca bereaksi sepertinya dia juga menginginkan hal yang sama. Usaha pertamanya ini akan berhasil.
"Jadi... apa pekerjaanmu?"
"Sesuatu yang menyenangkan."
"Apa itu?"
"Penerjemah novel."
"Wah. Keren."
Ponsel Jevin bergetar. Ia meminta waktu sebentar pada Becca untuk mengangkatnya, setelah sepuluh menit berbicara dalam Bahasa Belanda—Jevin menutupnya dan wajah kecewa terlihat jelas pada wajah tampannya.
"Pekerjaan. Aku lupa hari ini ada pemotretan majalah," kata Jevin.
"Patbingsu kamu bagaimana?"
"Kamu saja yang makan, sepertinya pekerjaanmu cocok dengan itu."
"Dan ini musuh buat pekerjaanmu."
Senyum merangkak lambat di sepanjang bibir keduanya. Jevin memandang lurus ke arah Becca, semakin berat rasanya ia mengakhiri pertemuan ini. Ia belum banyak bicara dengan Becca, belum tahu apa pun tentang Becca selain pekerjaannya.
"Jadi. Kapan kita bisa bertemu lagi?" Meskipun Jevin bermaksud baik, kata-katanya keluar dalam bentuk pertanyaan yang memelurkan jawaban, bukan bentuk basa-basi.
"Apa aku harus menjawab itu?"
"Bajuku masih di kamu."
"Aku bisa mengirimnya ke kedai kopi."
Jevin tersenyum tipis. "Apa kamu ingin mempersulit usahaku?"
"Hanya ingin memberitahumu, nggak semua hal bisa menjadi mudah hanya karena kamu artis, memiliki wajah tampan, dan badan menggiurkan." Mata Becca berbinar. "Nggak semua wanita mudah bertekuk lutut di depan kamu."
"Aku sedang bertaruh pada diriku sendiri."
"Ya—terserah kamu saja. Menurutku kamu harus menyiapkan hati untuk gagal, tapi aku sunggu menghargai usahamu. Hanya saja... aku nggak akan bisa menanggapi usahamu, walaupun aku sebenarnya senang. Gila! Kapan lagi didekatin artis?!" Becca menarik kuncirannya dan membiarkan rambut hitamnya tergerai. "Tapi aku nggak bisa."
Ditolak pada langkah pertama... baru pertama kali ini terjadi. Seharusnya Jevin tidak perlu memikirkannya, dia memang tidak akan bisa menjalin satu hubungan serius yang lebih dari sekadar kesenangan dan penghilang penat. Sepertinya Becca tipe wanita penyuka hubungan serius. Namun, penolakan Becca tidak mampu mengalihkan perhatian Jevin, melupakan gagasan Jevin betapa menyenangkannya bisa bersama Becca. Mungkin ini karena Becca wanita pertama yang mampu mengalihkan perhatian Jevin dari banyak hal, dan ia tidak sanggup mengucapkan selamat tinggal.
Jevin memperhatikan kedua tangan Becca, tidak ada cincin di sana—Becca wanita bebas, tapi kenapa dia mengatakan tidak bisa.
"Aku nggak melihat tanda-tanda kamu sudah dimiliki orang lain," ucap Jevin tanpa mengalihkan pandangan dari jemari Becca.
"Wah... apa aku membuatmu semakin pensaran?"
"Kamu penyuka sesama jenis?"
"No! Aku masih nafsu sama pria. Serius." Becca tertawa geli, tidak terlihat tersinggung sama sekali. "Hanya saja, aku cuman singgah di sini. Hanya tiga minggu." Becca mengurai rambut dengan jemarinya. "Dan aku tipe wanita yang susah melupakan. Sebelum terjadi something yang membuatku perlu bersusah payah melupakanmu, lebih baik diurungkan saja niatmu itu." Becca beringsut mundur menepel ke sandaran kursi. Matanya menyapu wajah dan badan Jevin sebanyak dua kali, Becca terlihat sangat tertarik untuk menyambut usaha Jevin—tetapi tidak menyurutkan keinginannya untuk membuat usaha Jevin gagal. "Semoga pekerjaanmu lancar hari ini. Senang berkenalan denganmu. Ah—bajumu siap dua hari dari sekarang."
Setelah mengucapkan kata-kata perpisahan, Becca membuka laptop, memasang earphone, lalu tenggelam dalam dunianya. Jevin tersenyum lebar. Mungkin Becca tidak ingin menemuinya lagi, tetapi wanita itu tidak punya banyak pilihan. Jevin Adhitama tidak biasa menyerah sebelum berjuang sampai titik darah penghabisan. Kata Becca ini masalah singgah, maka Jevin akan membuat wanita itu menetap.