BAB 1. Manusia Setengah Lemak
Separuh dariku lemak. Itulah yang menjadi alasan utama Dion memutuskanku. Padahal, dia belum memberikan kesempatan aku untuk Yoga, Pilates, Zumba, Muay Thai atau minum Thai tea.
"Kamu gendut, Dara! Kayaknya aku nggak sanggup lagi sama kamu," kata Dion senja itu.
"Etapi, kan, Mas, waktu kita jadian, kamu gak masalah dengan berat badanku?"
"Itu dulu, sebelum warisan kamu habis, sekarang kita pisah ya?"
"Loh, ini baru enam bulan Mas, tunggu setahun aja gimana? Malu kalau jadi jomlo lagi...."
"Aku juga malu bawa kamu ke kondangan, udah ya babay!" balasnya nyelekit.
Bum! Seolah ada ledakan bom Nagasaki menyerbu dadaku ketika menerima penghinaan Dion, dia meninggalkanku tanpa kompensasi sakit hati. Aku sudah curiga, dia hanya mau uangku. Sekarang, setelah aku tak punya apa-apa dia memutuskanku karena tergoda janda kaya. Untunglah aku belum ngasih semua tabunganku, sehingga aku tidak merasa rugi bandar.
Segitu susahnya jadi orang gendut? Iya, banget. Sakitnya tuh di sini!
Jangan ditanya sudah seberapa banyak uang yang aku keluarkan, hampir setengah tabunganku habis dan hampir setengah bulan aku menghabiskan diriku dalam kelaparan. Namun, si lemak yang membandel tidak enyah juga.
Saking hampir putus asanya, aku sempat berpikir meminum cairan sabun agar lemak membandel hempas dari lipatan b****g, pinggang, kepala, pundak, lutut kaki- lutut kaki dan sekujur tubuh.
Honey-bunny-sweety-miami! Rasanya ingin tenggelam saja di laut mati. Tuhan sedang mengujiku dengan berbagai dilema, kenapa ada orang yang makan banyak tapi enggak gendut? Sementara aku, napas sekali saja naik satu kilogram.
Ini tidak adil! Sungguh teganya ... teganya ... teganya!
Apalagi kalau udah masuk kantor. Semua orang menyingkir, jika aku datang. Mereka langsung menyembunyikan makanan mereka. Sungguh, enggak enak jadi orang gendut. Makanan hilang aja, jadi tersangka. Padahal lihat bentukannya saja enggak.
"Dara datang! Dara datang! Minggir!"
"Pecel lu, mana?"
"Aman!"
"Keroket? Gorengan?"
"Ada, udeh."
"Puk! Puk! Puk!"
Seperti pagi-pagi biasanya, suara nyaring teman kerja menjadi backsound paling indah di hari ini. Selain mereka menyangka aku yang menjadi pencuri makanan mereka, dengan kurang-ajarnya mereka menirukan suara pahaku yang beradu. Maklum, karena lemak yang menumpuk saat aku berjalan kadang terdengar ada bunyi-bunyian gaib.
"Maafin mereka ya Ra? Mereka suka gitu." Rasyid, anak keuangan yang nasibnya enggak jauh denganku. Bedanya dia disebut si tompel sementara aku, si manusia setengah lemak.
Padahal beratku cuman 82 kg dengan tinggi 157 cm. Berat sih ... ya lumayan -lah kalau dikurbanin.
Agh, nasibku.
(***)
"Buset! Kacang-kacangan gue ke mana?" Suara Fandi menggelegar di seluruh ruangan HRD PT. Raffles Sinergi, ini adalah kantor di mana tempatku bekerja. Dia baru pulang ke mejanya dari tugas interview.
Semua mata mengarah padanya, si galak membalas tatapan kami satu persatu.
"Siapa yang ngambil?"
"Lah, pan elu yang naruh di sana?"
"Enggak, gue yakin ada yang ambil mix kacang gue, elu ya?" tuduhnya pada Arifin yang berada di samping tempat duduknya.
"Lu lupa kali Fan, mungkin udah lu buang! Main tuduh aja lu, sini gue upilin!" Soraya yang mejanya bersebrangan denganku bersuara. Di antara semuanya, gadis ini paling selengean.
"Emang elu simpen di mana?" Rasyid yang baru keluar dari toilet langsung nimbrung. Fandi menunjuk pajangan keranjang alat tulis yang terletak di samping laptop.
"Di samping sini, elu lihat?"
Rasyid menggelengkan tanda enggak tahu. Fandi mengacak rambutnya dengan kesal, dia kemudian melihat ke arahku. Aku melotot waspada.
Kena lagi deh. Batinku.
Lelaki sombong itu berjalan mendekati mejaku, semua mata mengikuti arah langkah Fandi sementara aku berdiri tegang.
"Elu, pasti kan, yang ngambil sisa makanan gue?"
"Eh, gue? Kenapa gue?" tanyaku sambil menunjuk diri.
"Ngaku lu! Bukannya elu, yang paling kasian sama makanan?"
Aku memberengut. "Iya sih, tapi kan ngapain juga gue nyuri yang elu?" Aku membela diri.
Sudah jadi rahasia umum, kalau aku itu orangnya penuh empati. Jadi, kalau ada tukang bakso lewat, aku panggil kasian enggak ada yang beli. Kalau ada tukang bakwan lewat, sama juga. Coba kalian pikir, tukang-tukang itu sudah cape dorong gerobak mana panas, kan kasian.
Tuh, mana ada pembeli sebaik aku? Setiap dagangan yang lewat aku beli. Mereka harusnya bersyukur, karena aku baik hati. Ralat, doyan maksudnya.
"Agh! Sini lihat isi tas lu!" Fandi mengambil tas cangklongku dari kursi.
"Eh, mau ngapain? Ini namanya pelanggaran hak asasi! Pelanggaraan privasi!" Aku coba mengambil tasku, tapi tangan Fandi menepisnya. Tak habis akal aku langsung mengambil bagian tas lainnya.
"Siniin tas gue!"
"Enggak!"
Soraya langsung meloncat dari tempat duduknya, dia juga sama membantuku begitu juga Rasyid. Di ruangan HRD hanya ada delapan orang dan hanya dua orang yang membantuku sementara yang lainnya hanya menonton.
Aku dan Fandi masih saling tarik-menarik tas. Sebegitu tidak berharganya kah diriku? Kutahan semua genangan di pelupuk mata. Baru kali ini, aku merasa sangat terhina menjadi orang gendut, aku memang kasian sama makanan. Makanya, aku pasti sebisa mungkin coba menghabiskan, tapi aku bukan pencuri.
"Gak boleh gitu lu Fan! Berlebihan banget lu, makanan doang!" Rasyid mendengkus kesal.
"Kenapa enggak? Dia yang paling gendut di sini!"
"Fandi! Elu gak sopan!" bentak Soraya yang tak dihiraukan oleh Fandi. Rasyid juga coba menolong, dia memegangi badan Fandi yang sekuat tenaga menarik tasku, sehingga isi tasku keluar semua.
Malu.
"Emang! Sini gue mau lihat dulu tas lu!"
"Ada apa ini?"
Sret! Semua mata menoleh pada suara yang tiba-tiba menyela. Semua orang langsung terdiam, Pak Syakir sudah kembali dari rapat ternyata. Cengkraman tangan Fandi melemah, hingga akhirnya terlepas. Aku langsung menunduk, menenggelamkan diri saat Pak Syakir menatapku. Dari semua orang yang ingin aku hindari di dunia ini, salah satunya adalah tatapan Bosku itu.
"Kamu! Kenapa isi tas kamu berserakan?" tanya Pak Syakir tajam. Dia baru dua minggu menggantikan Bos sebelumnya, tapi sudah membuat banyak orang takut. Nahas, kabarnya Dion akan menikah dengan Ibunya Pak Syakir.
Awalnya aku tak menyangka, dia akan menikahi wanita 58 tahun itu, tapi kesibukan Pak Syakir telah mengkonfirmasinya. Lelaki itu sampai harus merelakan kerjaannya, demi pernikahan sang Ibu, kasian Pak Syakir ganteng tapi jomlo. Agh, bahas mereka itu yang pasti njelimet dan ruwet.
"Gimana, Dara? Kamu malah bengong?"
"An-anu Pak, tadi kit--"
"Dia mencuri makanan saya Pak!" potong Fandi berbohong membuatku semakin merasa terpojok.
"Eh, enggak Pak, saya gak pernah nyuri makanan siapa pun!" Aku menatap sebal pada Fandi yang balik menyerang.
"Bener Pak, udah seminggu makanan pada hilang, waktu itu sisa makanan rapat juga hilang inget gak yang kita ada di ruangan meeting? Belum ada 10 menit kita tinggalin, pas aku balik lagi mau ngambil udah gak ada dong Pak dan di situ aku ketemu Dara," timpal Rayi seenaknya.
"Loh, kok gue? Kan gue cuman gak sengaja lewat ruangan rapat, kenapa lo nyangka gue habisin?"
"Ya iyalah, secara elu paling gendut dan gembul! Lagian, bagi-bagi napa? Elu mah main abisin aja!"
"Engga Ray, gue gak tahu kenapa makanan itu sampai habis! Mungkin dibawa cleaning service!"
"Iya bener, kali aja OB yang bawa!" Soraya membelaku. Namun, namanya orang su'udzon dan kepalang benci mereka mana perduli.
"Masa? Gue gak lihat OB tuh di sana, gue cuman lihat Dara!"
Aku mengurut d**a. Ini sih namanya, tuduhan prasangka. Sungguh dosa besar, mungkin mereka enggak lulus pelajaran agama dulu. Pak Syakir menatap kami satu persatu, dia lalu tersenyum miring.
"Saya miris sama kalian, untuk masalah makanan kalian sampai harus mengorbankan teman kalian, sebentar saya harus panggil seseorang!"
Kami berpandangan tak mengerti apa yang akan dilakukan Bos muda itu. Yang jelas, kami tahu dia ini disebut Mister solusi.
Tak berapa lama setelah Pak Syakir beres menelepon seseorang, seorang lelaki tua datang tergopoh-gopoh. Dialah Mang Ojo.
"Mang, saya mau nanya, Amang tahu yang suka beresin makanan di meja staf saya siapa?" tanya Pak Syakir lugas.
Mang Ojo mengangguk.
"Saya Pak, kan diminta Bapak, agar remahan-remahan itu dibersihkan kalau ada di meja agar rapi. Nah, setiap saya rapi-rapi ada saja remahan sisa makanan, kadang ada yang sampai busuk Pak, saya khawatir nanti malah gak semangat kerja."
"Terus, Amang juga yang beresin makanan sisa hasil rapat?"
"Muhun (iya) Pak, Amang yang beresin. Soalnya, waktu itu ruangannya mau dipake Bu Bos," jelas Mang Ojo membuat aku bisa bernafas lega.
Semuanya kini sudah jelas, aku sangat bersyukur. Soraya menepuk pundakku menegarkan. Fandi dan Rayi terlihat ngedumel enggak jelas. Mereka jadi aneh seperti itu, semenjak aku ditunjuk mewakili tim ke acara yang penting bersama Pak Syakir. Pada awalnya aku tak melihat itu, sekarang aku tahu alasannya.
"Sekarang, sudah jelas kan?" Pak Syakir menatap Fandi dan Rayi lurus. Kedua teman kerjaku itu hanya menundukan kepala.
Aku menggigit bibir, rasanya ingin menangis. Merasa bahwa akhirnya aku bisa terbebas dari semua tuduhan.
"Minta maaf sama Dara! Lagipula, kalian jangan memandang seseorang dari fisik! Saya tidak suka! Dan... yang harus kalian tahu, saya suka orang yang rapi," Pak Syakir menutup ceramahnya.
"Iya Pak, maafkan kami. Maafkan saya juga ya, Dara?”
Aku hanya mengangguk lemah, menanggapi mereka yang menuduhku.
"Sudah ya! Saya harap hal sepele gini gak usah dibesar-besarkan! Silahkan yang lain kembali bekerja!" Pak Syakir menggebah kami dengan tangannya untuk membuat kami kembali ke meja masing-masing.
Mau tak mau, semua dengan enggan mengambil posisi. Aku bersyukur akhirnya semua sudah jelas walaupun nyeri di dalam hati masih ada, padahal gendut bukanlah kesalahan. Apakah ada yang mau seperti ini? Mereka tidak tahu betapa setengah matinya aku berusaha menjadi langsing.
Dari fitness sampai kelas studio, aku jabanin. Dari diet mayo sampai keto tak lupa aku lakukan. Baru-baru ini, aku mencoba jurus sehat Rasullulah saw, itu loh ... yang lagi happening di IG gitu. Agh, pokoknya banyak yang aku lakukan. Seandainya mereka tahu, setengah sekarat aku menahan air liur kala melihat gorengan.
Mana mereka mau perduli?
Aku berjongkok dengan hati sendu untuk mengambil barangku yang berjatuhan. Semua sudah lengkap kecuali ....
Pak Syakir mengambil sesuatu yang terjatuh di fantopelnya, spontan aku melotot setelah aku sadar itu adalah obat dietku yang aku beli secara online. Aku deg-degan takut dia menyadarinya, untunglah dia tak berbicara apa pun, lelaki muda itu lalu berjalan menuju ke arahku.
"Jangan gunakan ini lagi! Ini berbahaya, kamu cantik meski gak pake itu," bisiknya sambil menyerahkan obat diet itu. Oh, rasanya bisikan itu bagaikan bisikan syurga.
Kalian tahu kan, iklan permen yang napasnya aja wangi? Nah, Pak Syakir kayaknya punya napas yang sama.
Sepeninggalnya, aku mematung, menatap punggung tegap itu menjauh. Entah kenapa ada rasa hangat yang tiba-tiba merambat ke dalam d**a, menggantikan rasa sedih karena terhina. Bahagia.