04

1255 Kata
PREVIOUSLY ON RAVEN BOY AND ME . . . Aku hanya tertawa, membayangkan hal apa yang bisa aku lakukan untuk membalas Tiberius. Namun pandanganku tertuju pada satu hal. Kotak hitam kecil yang berada di dalam loker. Aku mengerutkan keningku dengan bingung. Siapa yang memberikanku hadiah? “Bagaimana bisa seseorang membuka lokermu?” bisik Theressa saat aku sudah mengeluarkan kotak itu. “Aku tidak tahu.” Rasa tidak enak mulai menjalar di seluruh tubuhku. Masalahnya, bisa jadi ini ulah Tiberius lagi. Aku tidak tahu apa yang bisa dia lakukan. Sejauh apa dia akan bertindah untuk mengusik hidupku. Dengan satu anggukan mangtap dari Theressa yang menunjukkan kalau dia ada untukku, aku membuka kotak itu. Suara teriakan kami menggema di koridor sekolah, saat sebuah tikus kecil menjijikan penuh darah keluar dari dalam kotak saat aku menjatuhkannya. *** AKU PENYUKA GENRE thriller, misteri, suspense, kriminal, horor, apa pun itu yang berbau konspirasi teori. Jarang bagiku untuk merasa takut atau creepy. Terlebih lagi, aku memiliki dua orang kakak lelaki yang selalu siap menemani aku saat sedang menonton film atau tv seri. Jadi, aku tak pernah merasakan teror atau ketakutan dan semacamnya sebelumnya. Bisa kau bayangkan apa yang aku rasakan begitu aku membuka loker dan melihat sesuatu yang mengerikan seperti itu? Aku tak dapat mencerna apa pun. Rasanya duniaku seperti berhenti berjalan. Napasku tercekat di tenggorokan. Mataku hanya tertuju pada sesuatu yang keluar dari dalam kotak tersebut. Tikus kecil tidak bersalah itu sudah tergeletak mengenaskan di lantai koridor sekolah, perutnya penuh darah dan mengeluarkan bau tidak sedap. Hal pertama yang aku tangkap saat duniaku tak lagi bekerja adalah pekikan nyaring dari seseorang. Teriakan itu membangunkan aku dari posisi yang stagnan. Mendadak, aku merasakan setiap tatapan dari banyak orang di sekeliling aku. Ketika aku menoleh, Theressa sedang melototi tikus itu, kedua tangan menutup mulut untuk menahan teriakan dan mungkin muntah yang akan keluar. Jadi bukan Theressa yang berteriak. Kepalaku otomatis melirik semua orang. Seorang murid perempuan berdiri tidak jauh dari kami, dua tangannya di depan perut, mulutnya terbuka lebar. Ah, ternyata dia yang tadi menjerit keras. Aku menelan ludah. Murid-murid di sekolah kami sudah berhenti di dekat kami seperti aku ini tontonan menyenangkan. Theressa memegang tanganku erat. Kami berdua saling lirik, pupil penuh takut. Belum juga kami bisa melakukan apa-apa, seseorang sudah lebih dulu menyeruak dari balik kerumunan. Aku menciumnya lebih dulu dari pada melihat sosoknya. Aku mengetahui keberadaannya lebih dulu sebelum wajahnya muncul dari balik wajah murid lain di depan kami. Tiberius menatapku. Tatapan itu membuatku bingung. Apa Tiberius cemas? Khawatir? Tapi untuk apa? Lalu pandangan dia menyapu hadiah yang aku jatuhkan. Kotak bersama dengan isi tikus yang sudah mati. Tiberius menaikkan satu alisnya tinggi. “Apa ini?” Aku tidak bisa menjawab. Jika aku membuka mulut, bisa jadi aku akan mengeluarkan seluruh isi sarapanku pagi ini. Dan mungkin sisa makan malam. Maka dari itu aku hanya mengangkat bahu dengan lemah. Aku yakin wajahku pasti sudah sangat pucat pasi seputih nasi sekarang. Untung saja Theressa masih memegang tanganku dengan kuat. “Aku tanya, apa ini?” Tiberius bertanya lebih keras. Butuh beberapa saat bagiku untuk sadar kalau dia tidak hanya bertanya padaku—atau mungkin dia memang tidak melontarkan pertanyaan itu padaku—tetapi pada kerumunan di sekitarnya. “Siapa yang melakukan ini?!” Tiberius terlihat murka. Urat di lehernya menonjol keluar. Tangannya dikepalkan di dua sisi tubuhnya. Aku melihat rahangnya mengatup rapat. Jika aku tidak tahu lebih banyak, aku pasti akan mengira dia memang benar-benar cemas. Atau marah karena ada yang melakukan ini padaku. Karena dia peduli padaku. Aku tertawa di dalam hati. Tiberius peduli padaku? Es di Antartika akan mencair semua sebelum dia mampu untuk memberikan rasa afeksi sebesar itu padaku. “Tiberius,” aku berterima kasih di dalam hati ketika suaraku tidak terdengar seperti pecundang yang sudah terpojok. “It’s okay.” “It’s okay?” dia mengulang perkataaku tidak percaya. “Ini sudah keterlaluan!” dia menoleh ke semua orang, matanya penuh sangsi. “Aku katakan sekali ini, jika ini ulah kalian, atau kalian tahu siapa yang melakukan hal konyol ini, maka aku sarankan keluar sekarang!” Theressa meringis di sebelahku. Beberapa murid lain juga terlihat meringis dan terlonjak ketika Tiberius membentak semua orang. Tapi tidak aku. Tidak pernah aku. Tiberius bertingkah seperti ini sudah seperti musik di telingaku. Setiap hari aku sudah tahu kelakuannya yang tidak beradab begini. Lagi pula, sudah menjadi aktivitas kami sehari-hari untuk berteriak sejadi-jadinya di koridor sekolah. Aku sudah imun terhadap teriakan menggelegar dari Tiberius. Yang lain tentu saja tidak ada yang menjawab. Lelaki itu berdecak. Pandangannya kembali menuju ke arah tikus mati tadi. Tikus yang malang yang tidak memiliki dosa sama sekali. Aku menerka apa yang akan dia lakukan. Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu. Tiberius hanya berdiri dan menatap tikus itu penuh murka, seperti jika dia memandangnya cukup lama makan tikus itu akan terbakar habis. Setelah beberapa saat, dia hanya mengatakan, “Semuanya pergi dari sini.” Ajaib, hanya dengan beberapa kata itu, satu kalimat seperti itu, yang dikatakan dengan nada rendah tanpa kontak mata, semua orang di koridor sekolah yang tadinya mengerumuni kami akhirnya pergi, tidak menoleh ke belakang satu kali pun. Aku sudah imun dengan Tiberius, tapi aku tidak akan pernah terbiasa dengan kekuasaan yang dia miliki. The power of Tiberius. “Apa kau baik-baik saja?” OK . . . apa dia makan sesuatu yang salah? Atau dia kerasukan setan? Apa dia benar-benar baru saja menanyakan keadaanku? Bukannya menjawab, aku hanya menganga mendengar pertanyaannya. Aku tahu aku terlihat bodoh, tapi ini justru hal yang lebih horor dibandingkan kotak hadiah berisikan tikus mati di dalam lokerku. Lebih membuat aku merasakan teror ketimbang darah yang keluar dari perut tikus tadi. Tiberius tidak pernah bersikap ramah begini. Jangankan ramah, untuk bertatap muka denganku tanpa mencibir saja dia tidak pernah, satu kali pun! Lalu bagaimana bisa dia bertanya seperti ini di depan aku dan Theressa? Apa kau baik-baik saja? Tidak! Aku sedang terkena serangan jantung karena kau ternyata mampu bertindak seperti orang yang waras dan ramah. “I guess so . . .” Hanya itu yang keluar dari bibirku. Theressa menelengkan kepalanya padaku, memberikan sinyal yang aku tahu maksudnya. “Apa ini asli?” aku hanya mengangkat bahu padanya, sama bingung dan terkejut. Tiberius berdecak lagi. “Orang gila macam apa yang melakukan ini.” “Er . . . apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Theressa bingung. Aku juga ikut bertanya tentang itu. Namun, belum kami sempat melakukan sesuatu atau mengatakan ide cemerlang, Tiberius sudah lebih dulu melepas bandana yang dia ikat di pergelangan tangan. Lelaki itu mengangkat tikus mati tadi dengan bandana hitam miliknya, lalu melemparnya ke dalam kotak. Dia menutup kotak itu dengan wajah datar. “Apa yang kau lakukan?” “Membuang ini,” ujarnya santai. “Atau kau ingin membawanya pulang?” “Tidak!” jawabku cepat. “Maksudku, tentu saja tidak.” “Sudah kuduga.” “Aku bertanya, apa yang kau lakukan, maksudnya, kenapa kau membantuku? Kenapa aku di sini? Apa yang sedah kau lakukan?” Tiberius hanya menatapku penuh sangsi. Dia tidak menjawab pertanyaan itu untuk beberapa saat. Samar-samar aku mendengar suara langkah kaki murid lain. Aku berharap Vinny tidak akan melihat ini. Tapi, aku sudah bisa menduga kalau kakak keduaku itu akan tahu tentang ini dari gosip sekolah yang beredar seperti kicauan burung tak terhentikan. “Aku menolongmu.” “Ya, itu dia. Kenapa? Kenapa aku membantuku? I thought we hate each other?” tanyaku lagi. “Karena hanya aku yang boleh mengganggumu.” “Apa?” “You’re mine.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN