bc

Ayah yang Tak Dirindukan

book_age16+
51
IKUTI
1K
BACA
dark
family
icy
small town
illness
rejected
lonely
spiritual
like
intro-logo
Uraian

Cerita perjuangan seorang anak bernama Ayu yang bertahan dalam keluarga yang seperti neraka. Kekerasan verbal dan fisik yang dialaminya setiap hari membuatnya tumbuh dengan penuh luka batin.

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1
PROLOG Orang bilang Ayah adalah pahlawan, cinta pertama bagi anak gadisnya. Tidak untuk Ayu, Ayah adalah neraka. Sosok yang seharusnya menjadi pelindung, justru membuat gadis kecil itu kerap gemetar ketakutan. Seperti saat ini. "Ampun, Ayah, ampuunn ... Huuu ... Huuu ... Huuu...." Gadis kecil itu meratap, menahan pedih di pipinya. Air matanya berjatuhan, tidak mengerti, mengapa ayah menamparnya berkali-kali. "Aaahh ... Sakiitt ... Ampun Ayah, maaf .... Aku ngga sengaja ... Ampuun Ayaaahh ...." Tangisnya semakin keras tatkala tangan ayahnya menarik dan memutar daun telinganya tanpa belas kasihan, membuat permukaan kulitnya sedikit terkelupas di sana. "Ibuuu ... Sakit, Buu.. Maaf, aku ngga sengaja ...." Gadis malang itu berusaha meminta pertolongan ibunya, meski dia tahu hal itu sia-sia. Tanpa menjawab sepatah kata pun, ibunya berlalu sambil menggendong adiknya yang berusia 9 bulan. Bayi mungil itu masih sedikit terisak, mungkin menahan perih karena luka gores di dahinya. Pasrah, Ayu yang malang berusaha sekuat tenaga menahan rasa sakit saat ayahnya kembali mendera sekujur tubuhnya dengan kepalan tangannya yang besar, lagi, dan lagi. Sampai pria itu merasa puas dan meninggalkan tubuh kecil tak berdayanya meringkuk di lantai. Menggigil dalam isak tertahan. Remuk, jiwa dan raganya. Dia tidak mengerti, mengapa ayah memukulinya demikian rupa, hanya karena adiknya terjatuh dan lecet. Dia hanya berpaling sedetik, saat kereta yang diduduki adiknya terjungkal di atas tanah. Tidak ada yang tahu, bukan hanya fisiknya yang terluka kala itu. Hatinya menganga, menyisakan luka yang tak kunjung sembuh. Ada lubang besar di sana. Dia baru berusia 9 tahun saat itu. *** "Ayuuu!!" Teriakan Ayah membahana sampai ke rumah tetangga, membuat nyali Ayu menciut. Apa lagi kesalahannya kali ini. "Iya, Ayah," jawab Ayu dengan suara mencicit, tak berani memandang sosok beringas di hadapannya. Bukan sekali dua kali Ayah menghajarnya habis-habisan hanya karena kesalahan-kesalahan kecil. Ayah melempar piring beserta semua isinya ke wajah Ayu, membuat sekujur tubuhnya dipenuhi nasi dan sayur kangkung yang setengah mati dimasaknya tadi. Kepalanya berkunang-kunang saat kepalan tangan itu menghantam pelipisnya. Pusing, mual. Tapi ditahannya, lagi. "Dasar anak ga berguna! Kamu punya mata ngga? Hah?! Kamu masak nasi apa batu? Patah semua gigiku!" umpat Ayah sambil melotot, mendorong kepala Ayu hingga membentur tiang penyangga rumah. "Bodoh kau! d***u! Kerbau!" makinya lagi, "masak ulang nasinya! Bersihin dulu batu-batunya, g****k!" perintahnya lagi, menyentak tubuh kurus itu sebelum pergi menjauh. Ayu memunguti tumpahan nasi dan membersihkan meja yang porak poranda diacak-acak Ayahnya. Air mata meleleh di pipinya, tanpa suara. Sakit. Hatinya sakit sekali. Tidak tahukah Ayah, kalau dia harus pergi mencari kayu bakar sampai ke kampung sebelah untuk bisa menanak nasi itu. Menyeberangi sungai, menyusuri kebun orang. Menajamkan mata mencari ranting-ranting kering yang jatuh. Di saat anak-anak seusianya sibuk bermain, Ayu sibuk mengurus rumah dan menjaga kedua adiknya. Mereka bukan dari keluarga berada, penghasilan Ayah dan Ibu hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ada beras untuk dimasak hari ini saja sudah syukur. Ayu tidak pernah mendapat uang saku, jarak sekolah yang hampir 3 kilometer harus ditempuh dengan berjalan kaki pulang pergi. Itu berarti hampir 6 kilo dia berjalan tiap hari, tanpa sarapan. Pulang sekolah harus mengurus adik-adiknya dan memasak, merapikan rumah, mencuci pakaian. Tapi Ayah, tidak mau peduli semua itu. Ibu lebih banyak diam. Ibu dan Ayah sering bertengkar, hampir setiap hari. Namun jika kelakuan Ayah sudah kelewatan, Ayulah tempat sasaran kemarahannya. "Jagain adikmu aja ga becus!" maki Ibu sambil melecut betis Ayu dengan bilah bambu. "Dasar anak pembawa sial! Mati aja kamu! Menyesal dulu kenapa ga aku matiin aja kamu waktu baru lahir!" Ayu tergugu. Betisnya yang robek terasa pedih, tapi sudut hatinya yang rapuh terkoyak lebih besar lagi. Darah tergenang di sana. Dengan terisak, gadis berkulit gelap itu menyeret kakinya ke luar rumah. "Pergi sana! Minggat dari sini! Biar diperkosa sampe mati kamu, anak sial!!" Ah, hatinya ... Sudah tak berbentuk lagi .... Tidak ada yang tahu, kemarin malam sesuatu terjadi padanya. Om Andre, adik tiri ibunya, telah melecehkan dia. Tak ada tempat mengadu. Sendiri, menghadapi kerasnya hidup. Berusaha memungut serpihan hati, merekatkannya lagi dengan satu kata. Harapan. "Kalian, tunggulah saat aku besar nanti," gumamnya sembari menatap betisnya yang koyak, membiru di sisi kanan kiri dagingnya yang terlihat. Luka di tubuhnya ada yang telah sembuh, hanya meninggalkan bekas guratan putih atau hitam yang samar. Tidak dengan luka hatinya. Gadis malang itu, baru berusia 11 tahun kala itu. *** "Dasar anak sial! Percuma aku pelihara dari kecil, ngga berguna!" Kata-k********r keluar lagi dari mulut Ayah, entah yang ke berapa ribu kali. "Mending aku piara babi, besar bisa ku jual, dapat duit. Daripada pelihara kau, ngga berguna sama sekali!!" Ah, Ayah. Lupakah dirimu, siapa yang memasak dan menyiapkan makanan untukmu? Siapa yang menjaga adik-adik saat kau dan Ibu pergi bekerja? Siapa yang menjaga rumah ini tetap bersih dan rapi, sesuai perintahmu? "Kau dengar ngga? Hah!" Matanya yang melotot menatap nyalang saat melihat Ayu bergeming. Gadis itu membalas tatapan Ayahnya tak kalah tajam. Dia bahkan lupa, apa penyebab Ayah mengamuk kali ini. "Anak kurang ajar!" Tangan Ayah yang terangkat hendak menampar, terhenti di udara saat Ayu menggebrak pintu dengan kasar. "Apa?? Hah?! Mau pukul? Pukul aja!!" Tantang Ayu, maju satu langkah mendekati Ayahnya dengan tangan terkepal di kedua sisi tubuhnya. Matanya menatap tak kalah nyalang. Ada kebencian yang terpancar dengan jelas di sana. Sepuluh detik yang sunyi, Ayah dan anak itu saling menatap dalam kebekuan. Sampai akhirnya tangan sang Ayah melemah dan terkulai lalu berbalik dan pergi tanpa suara. Ayu tersenyum sinis, ada rasa puas saat melihat pria itu kalah. Dia berusia 17 tahun saat itu. *** [Nak, apa kabar? Ayah rindu.] Ayu menatap layar ponselnya tanpa ekspresi, tidak perduli. [Nak, km kpn plg? Ayah nanyain trs. Katanya sms km, tp ga prnh di bls.] Ayu membaca pesan dari Ibunya, mengabaikannya. Seperti yang sudah-sudah. [Maafkan Ayah, nak, kl ayah ada slh sama km. Maaf kl ayah memperlakukanmu berbeda dng kedua adikmu. Pulanglah. Ayah benar-benar rindu.] Masuk lagi pesan dari Ayahnya. Maaf? Cih. Ayu menekan teks itu agak lama, lalu memilih gambar tempat sampah yang muncul di sana. Bertahun-tahun sudah Ayu merantau, mencari kehidupan yang lebih layak untuk dirinya. Belum pernah dia pulang ke kampung halamannya, satu kali pun. Hanya mengirimkan beberapa rupiah setiap bulan ke rekening ibunya. Rindu? Apakah mereka tahu, sudah tidak ada lagi rasa di dalam hatinya. Amarah, dendam, kebencian, perlu waktu yang lebih lama untuk benar-benar menghapusnya. Tapi rindu? Kata itu bahkan terdengar asing baginya. Hampa. Hambar. Seakan mereka bukan siapa-siapa. Hanya orang asing yang berpapasan di jalan. Orang asing yang menggoreskan luka. Itu yang dia rasakan sekarang, jika mereka ingin tahu. Kini, dia berusia 28 tahun.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M
bc

Perfect Honeymoon (Indonesia)

read
29.6M
bc

Istri Simpanan CEO

read
214.5K
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

Pengganti

read
304.0K
bc

KISSES IN THE RAIN

read
58.1K
bc

DIA UNTUK KAMU

read
39.9K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook