"Aku kayaknya bakalan sibuk. Mau cari pengacara buat bantu masalah ibunya Laras," ungkap Arkian.
"Ouh soal itu. Aku mau nanyain sama kamu. Ada masalah apa sama tanah itu? Kok bisa jadi sengketa?" Bara terpancing rasa penasaran.
Tak jauh dari tempat mereka duduk ada sebuah kipas angin. Hal yang membuat Arki heran karena ada AC juga di sana. Mungkin agar cafe ini terlihat jadul alias bagian dari dekorasi. Memang dari desainnya, cafe ini terlihat vintage. Kursinya mirip seperti kursi zaman Belanda. Kursi kayu dengan sandaran punggung melengkung dan sandaran tangan yang lebar.
Cat temboknya diberi warna dark beech dan perabotan kayu hampir semua didominasi walnut brown. Bahkan di tengah cafe ada panggung bulat dengan piano di atasnya. Seseorang memainkan alat musik itu hingga memperdengarkan lantunan merdu.
Arkian menceritakan apa yang sempat mertuanya katakan. "Cukup rumit, sih. Apalagi sertifikatnya dibuat setelah pemilik sebelumnya meninggal," komentar Bara sambil memakan keripik kentang yang dia beli di minimarket sebelum dia sampai di tempat makan ini.
"Ada surat yang menguatkan, kok. Jadi itu yang bakalan aku bikinin senjata." Arkian menghapus noda di tangan Dikara. Sepertinya anak itu mengusap-ngusap kaca.
"Kenapa kamu yang cari pengacara? Emang keluarga Bu Sofi enggak ada yang cariin. Itu bisa dibilang masalah mereka bersama, 'kan?" Aril berkomentar.
"Iya, sih. Aku juga enggak enak ikut campur. Apalagi Laras sudah enggak ada. Tapi di sana ada makam istriku. Sebagai suami aku harus memperjuangkan haknya. Lagian yang hidup ngapain ganggu orang yang sudah enggak ada? Cari uang banyak jalan. Ngapain sampai maksa orang yang sudah meninggal pindah tempat?" Arkian jadi emosi jika mengingat masalah itu.
"Pantas sih kamu kesal. Tapi minta izin dulu sama keluarga yang lain. Dengan gitu kamu juga lebih tenang mengurusnya. Lagian kalau yang lain ngalah dan milih mindahin makam itu ke tempat lain, masa Laras sendirian di sana?" nasihat Bara.
Itu yang Arki takutkan. Ia takut kalau keluarga Sofi yang lain memilih menjual dan membagikan uangnya. Apalagi tanah makam itu berada di pusat kota yang harga tanahnya tentu tidak murah. Letaknya pun dibilang strategis. Tak jauh dari makam ada pusat keramaian seperti pasar, mall dan taman.
"Aku minta izin sama keluarga Uwanya Laras nanti. Sekalian mau tanya gimana pendapat mereka."
Pelayan datang membawa makanan yang mereka pesan. Aril yang mendadak kebingungan. Dia menatap satu per satu makanan di sana. "Kok kalian sudah mesen saja?" protes pria itu.
"Makanya, kenapa lama datang, sih?" omel Bara.
"Enggak setia kawan kalian. Sama kawan saja enggak setia, apalagi sama pasangan!" Aril mengerutkan dahi.
"Siapa yang enggak setia? Lihat noh Abang Arki. Sudah jadi duda tiga tahun masih saja sendiri. Enggak ada istri saja setia, apalagi ada." Bara menunjuk Arkian. Aril sempat menarik piring makanan Bara, tetapi langsung Bara tepis. Mereka jadi main pukul-pukulan sampai terdengar suara decitan kursi.
"Hei, anak aku lihat! Di sini enggak semua bujangan!" protes Arkian.
Barulah Bara dan Aril berhenti. Lekas Aril panggil pelayan untuk memesan makanan. Selagi temannya makan, dia hanya melihat. "Oom lapal, ya? Mau?" tawar Dikara.
"Tuh, anak kecil saja peka," sindir Aril.
"Tuh, Dika sudah nawarin. Kalau mau, makan situ!" tunjuk Bara. Aril menatap piring Dikara yang terlihat acak-acakan. Belum lagi bibir anak itu yang penuh dengan saus makanan.
"Enggak usah. Oom sudah pesan makanan, kok. Makasih Dikara sudah nawarin Oom. Kamu baik sekali. Pokoknya Oom kasih kamu sepuluh bintang." Aril menggerak-gerakan tangannya di udara.
"Dika mo ceatus." Dikara geleng-geleng kepala.
"Kan makanannya enggak Oom makan. Kalau makan, Dika baru dapat seratus," jelas Aril. Dia ambil tissue dan melap mulut balita itu.
Terlihat Dikara menutup mulutnya dan menahan napas. "Makannya kenapa cemong-cemong gini? Kan jadi mirip sama harimau."
"Bersihinnya nanti saja abis makan. Kalau belum habis, cemong lagi," saran Arkian.
"Iya, tuh!" Dikara menarik tissue di tangan Aril dan menyimpan di sisi meja.
"Kapan kamu mau punya Mama baru? Papa suruh nikah sana!" tanya Aril.
"Papa mau nikah, kok. Ma Ateu Laya, ya?" Jawab Dikara.
Arkian saat itu langsung tertegun. Matanya spontan beralih ke arah Bara. Kini Bara dan Arkian saling tatap. Apa yang diungkap Dikara membuat kedua sahabat itu berada di posisi yang membingungkan. "Kamu ngomong apa, sih? Tante Raya itu adiknya Papa. Jadi Papa enggak nikah sama Tante Raya. Kalau Tante jadi Mama kamu, boleh saja. 'Kan enggak perlu nikah sama Papa," tolak Arkian.
"Tante Raya manggil Papa Arki apa?" tanya Bara.
"Kakak," jawab Dikara.
"Iya, artinya mereka itu kakak sama adik, anak pintar. Jadi Papa enggak cinta sama Tante Raya. Cuman sayang. Kalau menikah harus saling cinta. Mengerti?" Bara ikut menjelaskan.
Aril terkekeh. "Bilang saja kamu yang cinta sama Raya," celetuk pria itu sambil menepuk bahu Bara. Sedang Bara hanya nyengir kuda.
"Ya, salahnya di mana? Dia sama aku sama-sama single, 'kan? Lagian yang penting aku enggak suka sama istri orang." Bara membela diri. Pria itu bangun dari duduknya.
"Mau ke mana, Bar?" tanya Arkian.
"Mau minta air putih ke barnya. Tadi enggak pesen," jawab Bara lalu berjalan pergi meninggalkan mereka.
Aril menggelengkan kepala. "Lagian dia sudah suka Raya dari zaman kuliah, 'kan? Kenapa enggak ditembak saja, sih?" Aril mengetuk ujung jemarinya ke meja.
Arkian mengingat-ingat. "Raya yang nolak. Katanya dia cuman anggap Bara kayak kakak sendiri. Setelah itu Raya kayak ngehindar gitu sama Bara. Enggak tahu deh itu anak, aku sudah jodohin sama banyak lelaki. Dia nolak terus. Apa perlu kita bantuin, ya?"
Aril mengangguk. "Lagian perasaan enggak bisa dipaksa, Arki. Mungkin Raya suka sama seorang cowok. Biasa cewek kayak gitu, 'kan? Susah move on kalau sudah cinta. Coba kamu tanya sama dia, siapa cowok yang dia suka. Kalau bisa bantuin dapetin cowok itu," saran Aril.
Kedua pria itu langsung berhenti bicara tatkala Bara datang membawa sebotol air putih bermerk. Pria itu kembali duduk dan menyimpan botol minum di atas meja. "Kenapa? Ada aku datang kok langsung diem?" tanya Bara.
"Kita lagi ngomogin kamu. Makanya langsung diem," celetuk Aril membuat Bara menyipitkan mata.
"Ada ya, orang ghibah di belakang tapi ngaku." Bara menoyor kening Aril.
"Lagian ngobrol juga yang jelek-jelek, enggak yang bagus-bagus. Soalnya dari dulu kamu, enggak ada yang bagus, Bro!" ledek Aril. Arkian hanya tertawa mendengar perdebatan kedua sahabatnya itu.
"Enaknya gini, nih. Kalau sama-sama belum nikah bisa nongkrong bareng. Dulu pas Laras masih ada, pasti kalian berdua yang makan bareng." Arkian menunduk lesu.
"Kamu rindu sama Laras, Ar?" tanya Bara dengan suara berat.
"Hah?" tanya Arkian seakan kaget dengan pertanyaan Bara.
Sedang Bara mengeluarkan suara decakan dari mulutnya. "Kamu bisa bohong sama orang lain. Tapi aku sama Aril kenal kamu dari dulu. Kamu masih belum bisa lupain Laras, 'kan? Kita tahu gimana dulu kamu berjuang buat dapetin Laras. Aku tahu sulit buat lepasin dia. Hanya saja Laras sudah enggak ada, Ar. Waktunya kamu lupain dia dan bina perasaan dengan wanita lain biar kamu lupa. Jujur kami ini khawatir dengan kamu."
"Emang aku kenapa?" tanya Arkian.
Bara dan Aril saling tatap. "Enggak kenapa-kenapa. Tapi kami tahu ada yang salah." Aril berkomentar.
***
"Papa gosok gigi." Dikara mengangkat sikat giginya ke udara malam itu. Arkian melihat jam di dinding. Dia sedang membuat merekap laporan toko hari ini. Dengan begitu, bisa terlihat berapa banyak modal yang masuk dan keluar setiap harinya. Pendapatan perhari toko juga lebih mudah terhitung.
"Sudah jam delapan, ya? Duh, maaf. Papa asik kerja sampai lupa kamu belum sikat gigi. Ayok kita ke kamar mandi." Arkian menuntun Dikara ke kamar mandi. Sampai di depan wastafel, Arkian menggendong Dikara naik ke atas kursi.
"Apa yang pertama?" tanya Arkian.
"Cuci sikat dulu," jawab Dikara.
"Benar."
Dikara mencuci sikat giginya setelah memutar keran wastafel. Kemudian dia menutup kembali kerannya. "Odolna, Pa," pinta Dikara.
Arkian mengambilkan odol dengan rasa jeruk. Dia bantu memberikan odol seujung sikat gigi. "Sikat kayak lagu kemarin, yuk?" ajak Arkian.
"Papa nyanyi, Dika sikat."
Arkian menyanyikan lagu tentang langkah menggosok gigi kemudian dipraktekan oleh Dikara. Setelah selesai, Dikara berkumur dengan menggunakan gelas kumur. "Ah," ucap balita itu sambil mengusap bibirnya dengan tisyu.
"Wah, hebat sudah bisa sikat gigi sendiri. Mana Papa lihat giginya," pinta Arkian.
Dikara membuka mulut. Arkian memeriksa gigi putranya, memastikan tak ada sisa makanan yang menyangkut. "Sudah bersih. Sekarang waktunya apa?" tanya Arki.
"Baca buku tulus bobo," jawab Dikara.
Arkian mengangguk. Dia gendong Dikara untuk turun dari kursi. Anak itu berlari menuju kamar dan naik ke atas tempat tidur. Rupanya Dikara sudah menyiapkan buku favoritnya sendiri. "Baca ini, Papa." Buku itu dia berikan pada Arkian.
Lekas Arkian ambil bukunya dan ikut naik ke atas tempat tidur. Dikara berbaring dan menarik selimut. "Papa bacakan sekarang?"
"Iya."
Arkian bacakan dongeng di buku. Baru satu halaman, dia berhenti. "Lihat, ada siapa di gambar?" tanya Arkian.
"Ada momo ma Gugun," jawab Dikara.
"Mana tulisan Momo di sini?"
Dikara menunjuk tulisan yang dia pikir itu Momo. "Hmm, Momo namanya diawali huruf yang seperti gunung," jelas Arkian.
"Ini?" Dikara menunjuk kata lainnya dalam kalimat.
"Benar. Wah, kamu mulai bisa baca, ya? Hebat! Itu namanya huruf M. Coba ulangi."
"M," jawab Dikara.
Setelah halaman dua, Dikara menguap. Matanya sudah sulit untuk terbuka lebar. "Baca doa dulu, Nak."
Keduanya membacakan doa sebelum tidur. Arkian mengusap kepala Dikara hingga anak itu benar-benar terlelap. Tak butuh waktu lama bagi Dikara untuk tidur setelah membaca buku. Mungkin kegiatan itu membuatnya mudah lelah sehingga lebih mudah untuk tertidur.
Perlahan Arkian turun dari tempat tidur. Matanya sempat terpaku pada foto Laras. Dia tertegun seketika. "Aku baik-baik saja, kok," ucapnya dalam hati.
Namun, tak lama matanya terasa hangat. Arkian ambil foto Laras yang berada di atas nakas. Dia berdiri dan membawa foto itu ke balkon. Tak lupa pintu balkon ditutup takut udara dingin masuk ke dalam.
Arkian berdiri sambil bersandar lengan ke railing balkon. Dia nikmati angin lembut yang berembus menggerakan rambutnya. "Laras, kamu lagi ngapain?" tanya Arkian.
Matanya tak berpaling dari foto wanita yang memberikannya sosok Dikara. "Kamu ingat enggak? Dulu kamu bilang mau bikin perpustkaan mini untuk anak kita? Sekarang aku bikin perpustakaan buat dia. Dia senang banget baca buku. Hampir setiap hari dia minta buku baru. Aku enggak turutin, sih. Aku baru berikan kalau bukunya sudah selesai dibaca. Dia baca buku hanya dua halaman setiap hari. Aku selalu ingat kata kamu. Sebelum dia tidur, bacakan buku dan ajak membahas kegiatan dia sehari ini untuk mengevaluasi. Dia anak yang baik," cerita Arkian.
Tak lama Arkian terdiam. Di bawah sana pepohonan bergerak terkena angin. Dia menarik napas. Terasa nyeri di dadanya. Hingga Arkian tak sadar air matanya menetes. "Aku selalu gantikan kamu untuk dia. Tapi tetap saja, enggak bisa. Terus aku, aku gimana, Ras? Kalau aku rindu kamu, aku enggak bisa apa-apa. Bahkan setiap dia sakit dan manggil Mama, aku enggak bisa bawa kamu ke rumah." Lirih suara Arkian. Tangannya gemetaran.
Iya, dia sering menepis rasa sakitnya sendiri. Dia sering bilang baik-baik saja. Namun, nyatanya dia masih terjebak dalam rasa rindu. "Aku mau kamu di sini. Aku mau kamu temani aku dan jaga Dikara. Aku butuh kamu. Kenapa kamu pergi gitu saja, Ras? Apa kamu enggak sayang sama aku? Kamu enggak sayang Dikara?"
Arkian menghapus air matanya. Dia sesegukan. Betapa sering dia menangis memanggil nama Laras. Namun, wanita itu tak pernah kembali. Laras bagaimana pun telah pergi untuk selamanya.