Chapter 7. Move on sulit

1808 Kata
"Halo, salam kenal. Aku Raya," ucap Raya ketika bertemu dengan pria yang dijodohkan oleh bapaknya. Lelaki itu kerja di salah satu pabrik kain di Kota Bandung. Ibunya bilang, Raya sudah waktunya untuk menikah. Ibu selalu punya kalimat senjata untuk itu, " Enggak ada orang yang sukses pas masih perawan sama bujang." Walau Raya selalu menepisnya dengan membawa nama Arkian yang sukses walau saat membangun karirnya sebelum menikah. Kini dia pun hidup menduda dan usahanya semakin maju. Namun, melawan ibu-ibu sama saja bohong. Akhirnya Raya tetap kalah dan terpaksa bertemu dengan pria itu. "Halo, Raya. Aku Topan. Anak kenalannya Bapak kamu." Topan punya wajah yang manis dengan kulitnya yang sawo matang. Dia tak terlihat terlalu tampan pun wajahnya tak bisa dikatakan jelek. Justru dia terlihat dewasa dan berkarisma. "Bapak sudah cerita. Katanya Bapak kamu itu temannya waktu di LSM dulu, ya?" tanya Raya memulai pembicaraan. Topan menarik kursi agar duduk lebih depan. Keduanya dipisahkan meja persegi dari kayu berwarna birch. Itu sebuah tempat makan yang menyajikan menu masakan tradisional. "Ouh, mau mesen apa, Raya? Biar aku pesenin," tawar Topan. Terlihat sekali dia gugup pertama kali bertemu dengan gadis manis itu. Raya tersenyum. Bibir merah mudanya melengkung. Hari itu dia hanya mengucir rambut, terlihat sederhana, tetapi manis. "Topan dulu saja. Nanti Raya habis itu." Topan memanggil pelayan kemudian membuka lembaran menu yang dilaminating. Rata-rata menu berisi gorengan dan berbagai macam sambal. "Aku ayam goreng sama sambal matah saja. Minumnya tes manis dingin. Raya mau apa?" Topan berikan lembaran menu pada Raya. Kini gadis itu yang memperhatikan setiap lembaran menu di sana. "Aku juga ayam goreng sama sambal bawang. Ayamnya enggak perlu digeprek, ya. Terus minumnya air putih saja yang di botol." Pelayan mengambil lembaran menu. Kini hanya ada Topan dan Raya di meja itu. Sementara meja di samping mereka penuh dengan banyaknya orang yang datang hendak makan. Ada yang sudah selesai makan dan nongkrong sambil mengobrol. Ada juga yang masih menunggu pesanan. "Kamu kerja di toko roti katanya?" tanya Topan. "Iya, toko roti punya kakak angkatku. Bukan kakak angkat, sih. Cuman dia sudah anggap aku kayak adik kandungnya. Makanya aku diizinin kerja di sana. Terus gajinya juga lumayan," jawab Raya. Dia melirik ke sisi kanan dan kiri. Ruangan ini agak berasap dan itu membuat Raya harus mengucek matanya. "Kenapa?" tanya Topan. "Enggak apa." Raya membuka tas selempangnya dan dia simpan di bangku samping. "Kamu kerja pabrik kain? Bagian apa?" tanya Raya kembali menjuruskan obrolan. "Aku QC. Ya gitu bagian kontrol kualitas barang sebelum didistribusikan. Wah, kerjaan kita jauh beda, ya?" Topan terkekeh. Raya mengangguk. Tempat makan itu sangat sederhana. Sebuah bangunan ruko dengan banyak meja yang ditata berjajar. Terlihat beberapa pelayan bolak-balik mengantarkan makanan. Topan menarik sedikit kerah kemeja kotak-kotaknya. Dia mengenakan kemeja malam ini dengan jaket hitam yang menjaga agar tak kedinginan. Bandung di sore hari mulai terasa dingin, apalagi setelah Ashar. "Pasti senang, ya? Di pabrik banyak orang dan banyak kenalan. Kalau pulang barengan, persis zaman sekolah dulu," komentar Raya. Tak lama wanita itu terbatuk-batuk. Dia melihat ke belakang dan ada seorang pria tengah merokok. "Pak, maaf. Bisa matikan rokoknya, enggak? Saya enggak kuat asep rokok," pinta Raya. "Neng, kalau enggak suka asap rokok, jangan makan di sini. Di sini tempat umum," kilah bapak-bapak yang sedang memegang sebatang rokok yang menyala di tangan. "Justru namanya tempat umum, harusnya Bapak bisa ikuti aturannya. Merokok di tempat umum itu dilarang dan melanggar hukum," tegas Raya. Dia ingin menuntut haknya sebagai sesama konsumen di sini. "Halah, polisi juga bukan!" Si Bapak malah semakin merajalela dengan mengembuskan asap ke arah Raya. Jelas wanita itu terbatuk-batuk lagi. "Yang enggak ngerokok sama yang ngerokok lebih sehat paru-paru perokok, ya!" Bapak itu tertawa meledek Raya. Kesal, Raya berdiri. "Topan, kita pindah saja duduknya. Di sini aku enggak nyaman," pinta Raya lalu berjalan mencari meja yang kosong dekat dengan kamar mandi. Raya simpan tasnya di atas meja dengan agak kasar. Sedang Topan diam saja. Raya memutar kedua bola matanya. Tak lama pelayan datang membawa makanan. Wanita itu tak banyak basa-basi lagi. Raya langsung makan nasinya. Topan ikut saja. Selama Raya tak bicara, Topan pun sama. Selesai makan, Raya mencuci tangan di kamar mandi. Tak lama dia kembali. Terlihat ada tagihan di atas meja. "Ini sudah dibayar?" tanya Raya. "Belum. Nanti kita hitung dulu punya masing-masing," jawab Topan. Seketika Raya langsung duduk dan mengambil bonnya. "Biar aku saja yang bayar," jawab Raya. Dia panggil pelayan dan langsung membayar makanannya. Dia kira Topan akan menolak, pria itu hanya diam. Dan setelah Raya membayar, dia baru ucapkan terima kasih. "Kamu sudah lama kerja di toko roti itu?" tanya Topan. Raya mengangguk dengan ekspresi wajah yang terlihat tak nyaman. "Kenapa memang?" "Di sana gajinya berapa?" Kembali pria itu bertanya. Penilaian awal di mana Raya merasa Topan pria yang asyik diajak ngobrol berubah seketika. Nyengir Raya ditanya begitu. Rasanya aneh, awal kenal sudah menanyakan gaji. "Itu privasi," jawab Raya dengan sedikit penekanan. "Ya kira-kira gaji di toko sih, ya?" timpal Topan yang tak tahu kenapa terdengar seperti meremehkan. Raya rasakan ada getaran di tasnya. Lekas Raya buka tas dan mengambil ponsel di sana. "Assalamualaikum, Kak Arki?" tanya Raya karena nama yang muncul di layar adalah Arkian. "Ateu Laya!" seru seorang anak dari sana. Raya tertawa. "Dikara. Lagi di mana? Kok telpon Tante pake nomor, Papa?" Dikara terdengar tertawa. "Papa yang teponin. Ateu mana? Beli ekim, yuk?" ajak Dikara. "Kan bisa beli sama Papa," timpal Raya. "Mau ma Ateu. Kata Papa boleh. Yuk!" ajak Dikara memaksa. "Kamu lagi di mana, Dek? Aku jemput, ya? Ini anak maksa banget pengen ke kamu. Sudah dibilang kamu lagi libur." Arkian ikut bicara. Kelihatannya dia nyalakan tombol loud speaker ponsel. "Aku lagi makan di daerah Citarum, Kak. Dekat sama Pusdai," jawab Raya. "Ya sudah, aku ke sana, ya? Tunggu di situ." Raya tersenyum setelah Arkian menutup telponnya. Dia kembalikan ponsel ke dalam tas. "Siapa yang telpon?" tanya Topan dan itu kembali memberi pria itu nilai minus. "Atasanku. Dia minta aku nemenin anaknya hari ini. Maaf, ya. Aku enggak bisa lama-lama. Nanti dia mau jemput ke sini," ucap Raya. *** Arkian mencoba menemukan tempat makan yang dimaksud Raya. Akhirnya dia melihat wanita itu tengah berdiri di pinggir jalan sambil memegang tasnya. Arkian menepikan mobil tanpa memasukan ke dalam parkiran. Raya membuka pintu mobil Arki. Dia tersenyum saat melihat Dikara duduk di sana sambil melambaikan tangan. "Hai, ganteng," sapa Raya. "Hai, cantik," timpal Dikara. Raya naik dan menaikan Dikara agar duduk di pangkuannya. "Kamu sama siapa ke sini?" tanya Arkian. Raya tutup pintu mobil. "Ouh, nanti Raya cerita. Kak Arki jalan saja dulu," jawab Raya. Arkian kembali menjalankan mobilnya. Raya menepuk kedua tangan Dikara. "Siapa yang mau beli es krim?" tanya Raya. "Dika! Dika mau ekim, Ateu," jawab Dikara dengan seruan yang terdengar tak sabar. "Makan es krimnya sedikit aja, ya? Satu skup? Oke?" Raya membuat kesepakatan dengan anak itu. "Oke! Satu skup. Kalau banyak, Dika bisa batuk. Sakit, ya?" Dika tahu masalah itu karena dia pernah terkena batuk saat makan es krim satu wadah sendirian. "Jadi, kamu tadi lagi sama siapa?" tanya Arkian. "Biasa, Bapak semakin menjadi jodohin aku." Terdengar suara Raya begitu kesal. Justru Arkian malah tertawa. "Untung saja Kak Arki jemput. Jujur aku enggak nyaman sama dia." "Sudah aku tebak pasti kamu ngomong kayak gitu, kok. Kapan emang kamu dijodohin bilang mau?" Arkian memutar kemudi dan mengarahkan mobil ke arah mall yang sudah terkenal. Raya manyun. Dia usap rambut Dikara. "Gimana enggak kesal coba? Dia tuh nyebelin. Awal ketemu asik. Aku pikir bakalan nyambung sama dia. Eh, belum sejam sudah bikin BT." "Karena?" Arkian penasaran dengan alasan kali ini Raya menolak lelaki. "Gini. Ada bapak-bapak lagi ngerokok. Terus asepnya kena aku. Kak Arki tahu aku tuh alergi asep rokok. Aku protes sampai adu mulut sama Bapak itu. Dia malah diem saja. Eh, ujungnya pas bayar makanan, dia minta dihitung bagian masing-masing. Ya sudah aku bayarin semua. Dia cuman bilang makasih," jelas Raya. "Terus kamu ngarepnya dia bilang apa? I love you?" ledek Arkian. "Kak Arki jangan gitu, deh. Aku ini ngomong serius, tauk!" Raya terlihat kesal. "Ya sudah, kalau gitu sama Bara saja. Bara tuh baik. Dia jago berantem, enggak pelit juga. Pas banget buat kamu," promo Arkian. Raya menggeleng. "Kak Bara kayak Kakak aku. Dibilang juga berapa kali kalau aku aneh. Gimana, ya? Bingung jelasinnya. Pokoknya enggak bisa," alasan Raya. "Hmm." Mobil itu tak lama tiba di parkiran sebuah mall. Arkian mematikan mesin mobil dan mereka turun. Dikara sudah menuntun Raya agar lekas masuk. Arkian ikuti dari belakang. "Pelan, Dika. Ateu pakai sepatu tinggi, kalau cepat-cepat bisa kepeleset," ointa Raya. "Maaf, Ateu. Ini pelan-pelan, kok," timpal Dikara. Dia berbalik dan menatap Papanya sambil tersenyum. "Apa?" tanya Arkian. Dikara mengulurkan sebelah tangan agar dia bisa dituntun Arki dan Raya. Arkian balas uluran tangan itu. Sesekali Raya dan Arkian menarik tangan Dikara ke atas hingga anak itu bisa terbang rendah. Dikara tertawa, menikmati permainan singkat itu. Sampai di depan pintu lift, Arkian menggendong Dikara dan Raya berdiri di samping pria itu. Dikara tersenyum pada setiap orang yang masuk ke sana. "Halo. Izin ikut," ucap Dikara dengan ekspresi lugunya. "Anaknya lucu sekali, Bu," puji seorang pengunjung pada Raya. Jelas Raya hanya bisa senyum saja meski Arkian sudah cekikikan. Keluar dari lift, tawa Arkian semakin kencang. "Tuh, kamu sudah waktunya punya anak. Sudah dipanggil Ibu, tuh!" ledek Arkian. "Apasih Kak Arki! Mulai deh resenya." Dikara diturunkan dari gendongan dan kembali minta Raya menuntunnya. "Lagian kamu suka nolak laki-laki kenapa, sih? Kamu suka sama seseorang?" tegur Arkian. Seketika Raya tertegun. Arkian mengedipkan mata saat gadis itu mendadak diam menatapnya. "Tuh, kamu suka sama seseorang, 'kan? Siapa? Si Aril? Kamu suka sama Aril makanya nolak Bara?" terka Arkian. Raya langsung memukulkan tasnya ke arah pria itu. "Aku benci Kak Arki!" omel Raya lalu melangkah pergi menuntun Dikara. "Aku salah lagi. Padahal aku cuman nebak. Bilang iya atau enggak saja apa susahnya, sih?" keluh Arkian. Pria itu mengikuti Raya dan Dikara dari belakang. Arkian tak lupa mengecek apa dompetnya masih ada di saku celana. Tak lama lelaki itu syok sendiri. "Raya!" panggil Arkian. "Kenapa, Kak?" tanya Raya. "Ini kayaknya dompet aku ketinggalan di mobil, deh," ucap Arki. "Ouh, ambil saja, Kak. Aku tunggu di depan cafe eskrimnya, ya?" Arkian mengangguk. Dia lekas berlari menunjuk parkiran. Rupanya dia simpan dompet di dashboard mobil. Arkian kembali ke lantai di mana Dikara dan Raya menunggu. Turun dari lift, matanya terpaku akan wajah seorang wanita. "Laras?" batin Arkian. Pria itu terus berjalan maju ingin memastikan jika dia tadi tak salah melihat. Namun, wanita itu berdiri dan melangkah pergi. Arkian mengejar, sayang dia terhalang banyaknya orang lewat. Dan setelah dia bisa melewati orang-orang itu, wanita tadi tak terlihat lagi. "Ini kayaknya aku ngehayal, deh. Aku sampai kayak gini ngelamunnya," pikir Arkian lagi. Dia beristighfar dan mengusap wajah. "Kak!" Seseorang menepuk bahunya hingga Arkian kaget. Pria itu berbalik ke belakang. "Kak Arki kenapa? Aku panggil malah terus jalan ke sini?" tanya Raya khawatir. "Ouh, enggak itu ada"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN