PLEASE, WAKE UP!

1254 Kata
Suara sirine ambulan terdengar nyaring di telinga. Mata yang semula terpejam, terbuka seketika. Brian melirik wanita di sampingnya. Berusaha mengeluarkan suara sekuat tenaga. Namun, hanya rintihan pelan yang mampu ia keluarkan. “Mau-mauren…” Beberapa petugas medis membawa tubuh Brian keluar dari dalam mobil. Pandangan pria itu terus mengedar. Mencari sosok Mauren yang kian lama menghilang dari dalam zona pandang. Rasa pusing menyelinap di belakang kepala. Tubuh Brian terkulai lemas. Menyisahkan suara petugas yang sedang berseru hebat. Suara lantang yang spontan merasuk ke dalam gendang telinga Brian. Satu dua tiga empat lima enam tujuh delapan sembi … Brian tak lagi mendengar suara petugas yang sibuk melakukan pijat jantung pada seorang korban. Pria itu sontak terjatuh pingsan. ****** Beberapa jam kemudian. Hawa pada tengah malam kian mendingin, membuat tubuh Brian menggigil. Deretan gigi putihnya terpaksa menggertak alamiah. Brian terbangun. Mulai membuka mata. Dilihatnya pemadangan rumah sakit yang sedang memadati indera. Aroma khas tercium ke dalam hidung. Bebauan obat-obatan tak henti menyeruak. “Mauren kau di mana?” Brian bergumam. Lirih. Masih tak memiliki banyak tenaga. Brian mencoba bangun dari posisi baring. Mengedarkan pandangan pada beberapa pasien yang tergeletak di sana. Di dalam ruang bernama Instalasi Gawat Darurat pada sebuah rumah sakit ternama. Tiba-tiba seseorang menyerukan nama Brian dari kejauhan. Pria itu menoleh cepat. Berharap, mendapati sosok Mauren di sana. Nihil, bukan wanita itu yang ia cari. Melainkan, Priscilla yang datang menghampiri. “Apa kau baik-baik saja?” Priscilla bertanya. Brian terdiam. Mencoba merasakan sakit pada beberapa bagian tubuh. “Aku cukup baik, meski..” Brian menghentikan kalimat. Netranya mendapati tungkai kanan yang terbalut gips berwarna putih. Priscilla mendekatkan tubuh. Mengisyaratkan diri hendak memeluk Brian. Brian mengangkat alis. Lalu, menuruti apa yang diminta oleh Priscilla. Mereka berpelukan dengan keadaan sedikit memaksa. Keduanya masih menahan rasa sakit. Sedikit cukup berbeda pada beberapa bagian. “Di mana Mauren?” Brian mengeluarkan suara. Priscilla terdiam. Bersandar pada kursi roda tanpa memberi jawaban. Brian terheran akan reaksi yang Priscilla tunjukkan. Seketika perasaan Brian menjadi tak enak. “Apakah hal buruk telah menimpa Mauren?” Brian bertanya. Nada bicaranya terdengar tidak sabar. Priscilla masih terdiam. Brian memukul sisi samping ranjang perawatan. Melampiaskan rasa kesal akan Priscilla yang tak kunjung memberi jawaban. Tak lama kemudian. Kedua orang tua Brian datang. Priscilla seolah tertolong dari pertanyaan mematikan Brian. “Apa kalian baik-baik saja?” Fransiska bertanya. Memeluk tubuh putra sulung yang sedang terduduk di atas ranjang. Ibu muda itu menampakkan gurat berpindah. Bahagia, lalu beralih sedih setelahnya. Fransiska bahagia saat mendapati putra sulungnya baik-baik saja. Namun, di sisi lain rasa sedih juga menghujam jantung di dalam d**a. “Ma, mengapa Mama menangis?” Brian bertanya. Menatap penuh curiga. Jonathan menenangkan sang istri. Mengalihkan pandangan Fransiska dari Brian. Mendekap Fransiska beserta tangis yang masih mengiringi pelupuk mata. Membiarkan wanita itu bersembunyi di balik bahu bidang miliknya. “Pa, ada apa?” Brian kembali bertanya. Beralih mencari jawaban dari sang ayah. Jonathan menepuk pundak Brian. Memastikan jika sang putra mampu menahan beban atas kabar yang hendak ia berikan, “Mauren sedang terbaring di ICU dengan keadaan koma, Brian,” sahut pria dewasa itu kemudian. Brian melongo. Tak percaya pada apa yang ia dengar. Sepertinya, ia sedang berada di alam mimpi. Brian memukul wajah untuk memastikan. Namun, rasa perih menerjang sensoris pada paras tampan miliknya. Memori Brian mulai mengatur ingatan. Berusaha mengembalikan sejarah tragis dari kecelakaan yang sempat menimpa mereka bertiga. “Tidak, tidak mungkin!” tangkis Brian. Nada bicara pemuda tampan itu terdengar setengah berteriak. Brian hendak melangkah turun dari ranjang perawatan. Namun, Priscilla spontan menghalangi pergerakan Brian. “Kau harus tenang, Brian,” ucap Priscilla, sesaat usai berhasil mencegah. Brian tersadar. Kakinya masih belum bisa ia gunakan untuk berjalan. Ia terpaksa mengurungkan diri. Lalu, memijat kening yang terasa pening. “Pa, Brian minta tolong antarkan Brian untuk menjumpai Mauren,” Brian meminta. Menyelipkan pandangan penuh harap pada sang ayah. Jonathan tak kuasa saat merasakan batin Brian tersiksa. Tentu, putra sulungnya itu tak dapat percaya begitu saja. Bagaimana bisa sosok yang ia cinta terbaring koma? ****** Keesokan harinya. Sebuah kursi roda tengah membawa seorang pasien laki-laki. Jonathan memijakkan kursi roda yang Brian duduki. Menyusur koridor untuk memasuki ruang perawatan ICU. Tidak! Mereka belum sempat masuk. Jam besuk di ruang ICU nyatanya belum dimulai. Sehingga, pemuda tampan itu hanya bisa melihat orang yang ia cari, dari balik kaca tembus pandang di ruang tunggu. Brian tercekat. Bola mata indah itu melebar. Kelopak pada mata tak berkedip meski satu kali. Pandangannya terus berfokus pada sosok kekasih. Seorang wanita yang sedang terbaring tak sadarkan diri. Netra Brian mendapati beberapa alat medis terpasang. Menunjang perawatan. Suara monitor terdengar bersahut-sahutan dari dalam ruangan. Brian membuka bibir yang terkatup. Namun, pemuda itu hanya bisa bergumam. Menyerukan nama Mauren dengan lirih, “Bangunlah Mauren. Please, aku mohon,” Brian meminta perlahan. Semenjak Jonathan menginfokan kabar perihal kondisi Mauren kemarin malam, pemuda itu tak henti menahan tangis. Bola mata Brian hingga memerah. Sesekali pemuda itu mendegus. Menarik ingus. Tangannya mengepal. Pikiran di dalam benak berkecamuk dengan seribu penyesalan. Seandainya Mauren tak menjemput Brian ke bandara, mungkin kecelakaan tragis tak akan menimpa mereka. Ah, tidak! Seandainya, Brian mengurungkan niat melakukan prank konyol pada sang kekasih, mungkin Mauren takkan hilang kendali saat mengemudi. Sepertinya, dua hal itulah yang Brian sesali. “Brian, sebaiknya kita segera menuju ke kamar perawatanmu. Jam besuk ICU belum dimulai. Nanti Papa akan mengantarmu lagi kemari,” putus Jonathan. Pria dewasa itu melajukan kembali kursi roda yang diduduki oleh Brian. “Tidak, Pa!” Brian berseru lantang. Memberi penolakan. Tangan kekar Brian memaksa kursi roda itu berhenti, “Brian ingin tetap di sini,” ucap pemuda itu. Memandang penuh arti ke dalam ruang bertuliskan ICU. Jonathan terdiam. Tak dapat berbuat banyak. Ia tahu betul betapa keras kepalanya sifat Brian. Tak ada seorang pun yang mampu melunturkan sifat keras kepala itu. Pada akhirnya Jonathan beralih pergi usai berpamitan. Terpaksa kembali ke dalam kamar perawatan, tanpa membawa putra sulungnya yang tampan. ****** Priscilla tampak bersiap-siap usai kedua orang tuanya datang untuk menjemput. Beruntung, Priscilla memiliki kondisi jauh lebih baik dibanding dua orang korban kecelakaan yang lain. Ia hanya mendapat sedikit luka pada lengan. Meski, lengan kanan itu sedikit susah digerakkan, namun dokter memperbolehkan ia untuk istirahat di rumah. Sehingga, wanita berparas cantik itu dapat segera pulang usai satu hari mendapat perawatan. Sebuah arm sling cukup untuk menahan rasa nyeri yang Priscilla rasa. Penyangga lengan itu diharap mampu mempercepat proses penyembuhan. “Ma-Pa, kita mampir ke ruang perawatan Brian dulu ya?” Priscilla meminta. Kedua orang tua itu, dengan sigap mengantar putri semata wayang mereka untuk menemui sosok Brian. Priscilla mengerucutkan bibir. Tak ada sosok Brian tertangkap di dalam retina. Hanya ada Jonathan dan Fransiska. Kedua orang tua itu berkata, jika putra mereka sedang tak berada di dalam ruangan. Rasa kecewa muncul di dalam d**a. Priscilla tak lupa mendengus kesal setelahnya, “Brian, mengapa kau masih saja peduli pada Mauren?” gertak Priscilla tertahan. “Baby, are you okay?” Ibunda Priscilla bertanya. Membuyarkan pemikiran putrinya. “I’m okay, Mommy.” Priscilla meminta kedua orang tuanya melajukan kursi roda ke ruang perawatan ICU. Satu lantai tepat di bawah posisinya berpijak saat itu. Lagi-lagi Priscilla tak menjumpai sosok Brian di ruang tunggu ICU. Sepertinya, jam besuk sudah dimulai. Dan, pemuda tampan itu tengah menjumpai Mauren di dalam ruang perawatan. “Brian tidak ada. Kita harus segera pulang, sayang,” ajak Ibunda Priscilla. Berharap, putrinya dapat mengerti dan segera menuruti perintah. Kursi roda Priscilla kembali melaju. Perasaan kesal dan kecewa memenuhi garis di wajah. Menampakkan gurat amarah pada sosok wanita yang sedang terbaring koma.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN