Lagi-lagi Brian masih berada di samping ranjang perawatan Mauren. Sebuah alat kecil terpasang pada ibu jari lentik milik Mauren. Suara monitor menunjukkan gambaran cukup stabil.
Namun, entah mengapa Mauren belum juga membuka mata? Tak ada satu pun gerak refleks yang ia tunjukkan di sana. Benar saja, hal itu terjadi karena Mauren sedang terbaring koma.
Alat penunjang bantu pernapasan menempel rapat. Seolah menjadi aksesori tambahan pada hidung dan mulut kekasih seorang Brian Stevan Wijaya.
Hard collar turut melingkar pada leher yang cukup jenjang. Sebuah alat penyangga leher yang diyakini membantu proses pemulihan.
Cidera otak? Cidera leher? Cidera anggota gerak? Tulang rusuk yang patah? Mauren benar-benar berada dalam keadaan jauh lebih buruk dari dua korban kecelakaan yang lain.
Bagaimana tidak, mobil yang dilajukan wanita itu terpaksa memutar hebat. Mengakibatkan tabrakan keras, hingga menghujam pohon di tengah jalan. Pohon itu bahkan hampir roboh. Terhuyung hingga setengah. Sedikit batang pohon itu mengenai sisi kemudi. Nahasnya, Maurenlah yang saat itu tengah duduk di sana.
“Permisi Mas, dimohon segera keluar dari ruangan. Jam besuk sudah selesai,” suara seorang perawat terdengar. Berseru meminta Brian pergi keluar.
Tak ada niat hati untuk meninggalkan Mauren seorang diri. Namun apa daya, Brian tidak dapat berbuat banyak. Apa yang bisa ia lakukan saat itu? Hanya berdoa. Doa yang ia iringi dengan penyesalan di dalam d**a.
Menyalahkan diri sendiri? Tentu, Brian sedang melakukannya.
******
Fransiska dan Jonathan merasa cemas. Putra sulungnya tak kunjung kembali ke kamar perawatan. Membuat Fransiksa dan Jonathan memutuskan untuk menyusul Brian.
Pintu berwarna cokelat muda, bergeser. Menampakkan sosok Brian, sesaat sebelum kedua orang tua itu beranjak keluar.
“Kau ke mana saja, nak? Mengapa lama sekali?” Fransiska bertanya. Tak lagi bisa menyembunyikan rasa cemas.
“Masuklah,” Jonathan berucap. Pria dewasa itu mendorong kursi roda sang putra. Membawa Brian masuk ke dalam sebuah ruang berukuran besar.
Mereka bertiga terdiam. Yah, setidaknya selama beberapa detik.
Sebelum akhirnya Brian mulai mengeluarkan suara, “Ma-Pa, apakah orang tua Mauren sudah tahu?” tanyanya. Menatap wajah Jonathan dan Fransiska bergantian.
Kedua orang tua itu menunjukkan tatapan aneh. Terlebih lagi Fransiska. Raut sedih itu ia tunjukkan begitu saja.
“Om Martin dan Tante Jessy sudah tahu, Brian. Kau tidak perlu khawatir,” Jonathan mengambil alih jawaban. Pria itu lagi-lagi paham, jika istrinya tak akan mampu menyahut pertanyaan yang Brian lontarkan.
Brian memasang raut cemas. Meski, ia mendengar Martin dan Jessy telah mengetahui kondisi Mauren, namun Brian juga tahu, tak ada jaminan kedua orang tua itu akan peduli pada kondisi putri mereka.
Martin dan Jessy tinggal di luar negeri. Memaksakan diri untuk membesarkan perusahaan mereka di negeri orang. Sebuah pekerjaan yang membuat mereka lupa pada seorang putri yang mereka tinggalkan di Indonesia.
Benar-benar orang tua yang gila harta. Memangnya putra dan putri mana yang akan bahagia hanya dengan harta orang tua yang berlimpah? Tidak ada! Kasih dan sayang tetap nomor satu bagi mereka. Beruntung, Brian memilikinya dari sosok Jonathan dan Fransiska.
Jonathan menatap layar pada ponsel. Ia terdiam. Hafal betul dengan sikap Martin -sahabatnya. Tak akan menghubungi selain untuk urusan bisnis saja. Semenjak ia memberi kabar perihal Mauren yang terbaring koma, belum ada tanggapan ulang dari Martin kepadanya.
“Sudah, Brian. Kau beristirahatlah, persoalan Om Martin dan Tante Jessy, nanti Papa akan berbicara lagi dengan mereka,” Jonathan meyakinkan.
Brian terdiam. Menanggalkan diri dalam lamunan.
“Kita pindah ke tempat tidur ya, nak.”
Jonathan dengan telaten membantu Brian. Membuat pemuda itu beralih dari kursi roda ke ranjang perawatan.
Ruang VIP mulai menggelap. Hanya menyisahkan sedikit penerangan minimal. Mereka bertiga harus beristirahat. Memulihkan energi. Agar esok mereka dapat melewati hari yang mulai memadat lagi.
*****
Sementara itu,
Pada sebuah lahan berhektar-hektar. Bangunan kokoh mentereng di atasnya. Terletak di pinggir jalan utama ibu kota. Pilar-pilar menjulang tinggi pada setiap bagian sudut. Berwarna putih bersih. Warna cat pilihan nyonya besar yang tinggal di dalamnya. Rumah megah itu merupakan kediaman orang tua Priscilla.
Jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh tepat.
“Priscilla, mengapa kau belum tidur juga?” Karell mengeluarkan suara. Muncul dengan tiba-tiba. Berdiri tegap pada ambang pintu kamar Priscilla yang sedikit terbuka.
“Mommy, mengejutkan aku saja.”
Karell melangkah masuk. Menghampiri Priscilla di dalam kamar pribadi putri semata wayangnya.
Karell menjejalkan p****t di tempat tidur Priscilla. Arm sling tampak tergeletak di samping nakas sisi kanan. Menandakan jika sang putri hendak beranjak tidur. Namun, entah mengapa Karell melihat putrinya masih sibuk bersandar di punggung ranjang.
“Apa yang sedang kau pikirkan?” Karell bertanya.
Priscilla terdiam. Mencoba menerka apa jawaban sang ibunda saat ia menyahut dengan kalimat tak terduga.
“Katakan saja,” Karell kembali mengeluarkan suara.
“Jika setelah ini Priscilla melangsungkan pernikahan, apakah Mommy dan Daddy akan menyetujuinya?”
Manik mata Karell membulat penuh. Bola mata berwarna biru itu menyiratkan seribu tanda tanya.
Karell mengernyitkan dahi. Lalu berkata, “Apa maksudmu, Priscilla?”
Priscilla membalas pertanyaan Karell dengan tatapan tajam. Sebuah tatapan menusuk ke dalam batin Karell sebagai seorang ibu.
“Priscilla ingin menikahi Brian, Mommy,” pungkas Priscilla kemudian.
Lagi-lagi Karell terkejut setengah mati. Bagaimana bisa seorang putri yang mereka sekolahkan tinggi-tinggi, justru meminta ijin untuk menikah di usia yang masih muda? Dua puluh satu tahun. Benar-benar tak terduga. Tak mungkin Karell dan suaminya akan mengabulkan permintaan konyol Priscilla.
Karell beranjak dari posisi semula. Memilih diam. Tak berniat memberi jawaban atas pertanyaan yang Priscilla lontarkan.
Sebelum Karell pergi meninggalkan Priscilla di kamar, Karell menarik sudut bibir ke arah bawah. Lalu berkata, “Setelah ini kau harus kembali ke Inggris, melanjutkan S2 mu di sana!” perintah Karell dengan segerombol gurat amarah.
Karell mengakhiri kalimat. Beranjak keluar dari dalam kamar Priscilla. Berjalan dengan langkah cepat karena kesal. Menuju ke dalam kamar utama, menjumpai sang suami.
“Jika Mommy dan Daddy tidak mengijinkan Priscilla menikahi Brian, maka Mauren juga tak boleh menjadi pengantin Brian!” simpul Priscilla. Wanita itu bersih keras tak mau tahu.
Berada di Inggris selama empat tahun bersama Brian. Berkuliah di satu jurusan yang sama. Tinggal di tower apartemen yang sama. Berangkat setiap hari menggunakan satu kendaraan yang sama. Bagaimana mungkin Priscilla tak memendam rasa? Bodoh! Tak ada hal senaif itu di dunia.
Priscilla menarik selimut. Menenggelamkan lengan yang terasa nyeri. Membalut diri dalam balutan kain hangat nan tebal berwarna putih.
Priscilla memejamkan mata. Mengakhiri pemikiran perihal rasa pada seorang pria bernama Brian Stevan Wijaya.
Sayangnya, manik mata Priscilla yang terpejam tak bertahan lama. Wanita itu kembali membuka kelopak. Mengeluarkan ancaman dengan segenap rasa kesal.
“Kau tidak boleh terbangun Mauren! Tidurlah dalam keadaan koma. Jika perlu meninggallah di ranjang perawatan yang sama!” Priscilla memekik. Menyunggingkan senyum culas yang menyeramkan.