10. Keputusan Mama Langit

2183 Kata
“Mereka tadi siapa? Kamu kenal sama yang cowok?” tanya Langit menuntut penjelasan dari Bintang. Bintang yang malas untuk membahas dua manusia tak tahu diri itu, hanya menjawab sekenannya. “Nggak kenal, aku juga nggak tahu.” Bintang terpaksa berdusta. Dirinya sudah tidak ingin membicarakan masa lalunya yang kelam dan tidak perlu lagi dikenang. “Mantan kamu?” desak Langit agar Bintang mengaku. Langit terus mengejar penjelasan dari Bintang. Bintang terdiam. Melihat Bintang diam, membuat Langit yakin, jika tebakannya memang benar. Langit tersenyum. Ia tidak akan memaksa Bintangnya untuk menjelaskan apa pun. Lagian, itu hak Bintang, mau cerita atau tidak, itu privacy Bintang. “Ya sudah, kalau belum siap cerita. Nggak usah cerita nggak papa. Aku nggak mau kamu ingat-ingat masa lalu kamu yang menyakitkan itu. Semenyakitkan apa masa lalu kamu, aku tidak peduli. Yang terpenting buat aku adalah kebahagian kamu. Sekarang kamu sudah berada di masa kini, dan aku akan memastikan bahagiamu di masa depan.” Langit merangkul pundak Bintang. Bintang tersenyum. “Makasih.” Langit mengusap lembut rambut Bintang. “Udah, nggak usah dipikirin. Sekarang kita ke tenda, yuk. Ambil barang-barang kamu, terus siap-siap buat ketemu sama Mama.” Bintang mengangguk pelan. “Iya.” Bintang pun mengemasi barang-barangnya di dalam tenda. Setelah puas menghabiskan waktu berdua di pantai, Langit pun membawa Bintang menemui orang tuanya. Di perjalanan menuju rumah Langit, hanya ada kebisuan yang menyapa. Udara pagi yang terasa sejuk membuat Bintang sejenak memejamkan mata. Menikmati hirupan napas yang menyegarkan. “Bintang,” panggil Langit memecah keheningan. Bintang pun membuka matanya. “Iya?” jawabnya lembut. “Kamu tidur?” tanya Langit. “Enggak, cuman merem doang.” “Oh ...” “Kenapa, Om?” tanya Bintang saat Langit acuh. Aneh, tadi manggil tiba-tiba acuh. “Capek, Bintang,” keluh Langit. Bintang menatap Langit. “Mau istirahat dulu? Dari Malang ke surabaya lumayan jauh loh. Istirahat, yuk!” ajak Bintang. “Boleh deh, sekalian cari makan ya? Kita sarapan dulu. Aku lapar,” ujar Langit. Bintang tersenyum. “Iya, mau makan apa?” Langit terdiam sejenak, memikirkan sesuatu yang ingin dimakannya. “Sate kelinci. Mau nggak?” Bintang menggeleng. “Nggak, aku nggak mau. Nggak tega makannya.” “Terus apa, Sayang?” Langit tidak tahu apa yang diinginkan Bintang. “Nasi jagung gimana?” usul Bintang. Mata Langit seketika berbinar. “Boleh banget. Ayo! Cari,” ujar Langit semangat. Sambil berburu nasi jagung, Bintang memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya dipikirkan. “Om,” pangil Bintang. Langit menoleh. “Biasain panggil Mas ya, di depan Mama nanti.” “Mas?” Bintang terkekeh. “Katanya geli dipanggil itu?” lanjutnya lagi. “Ya biar. Daripada aku diledekin Mama. Aku masih 29 loh, Bintang. Nggak tua-tua banget. Entar aku diketawain Mama kalau kamu panggil Om kayak gitu,” oceh Langit. Lagi-lagi kekehan Bintang terdengar, membuat Langit memutar bola matanya. “Iya deh, iya. Massss,” “Ah, kok bikin gagal fokus ya, Bintang? Apalagi kamu manggilnya kayak merayu gitu,” “Leh, dasar m***m!” tandas Bintang. Langit tidak menggubris. “Om,” panggil Bintang lagi. “Panggil Mas, Bintang!” tegur Langit. “Oh, iya, lupa.” “Kenapa? Nggak di sun, tapi manggil terus dari tadi.” Meski sedang berfokus ke depan, tapi Langit masih bisa melihat gadisnya yang manyun. “Mas Langit mau tau laki-laki tadi?” ujar Bintang berat. Bintang tidak bisa menyembunyikan ini dari Langit. Bintang harus jujur. Langit mengusap rambut Bintang. “Kalau kamu cerita, Mas siap dengerin. Tapi kalau belum siap buat cerita, nggak papa, nggak usah dipaksa. Mas nvgak mau kamu jadi sedih lagi setelah menceritakan ini.” Bintang tersenyum. Muah. Suara kecupan Bintang mendarat di pipi Langit. Langit mematung di tempatnya. “Mulai berani ya?” goda Langit. Bintang terkekeh. “Om yang ajarin. “Jadi nggak, ceritanya?” tanya Langit mengingatkan. “Jadi dong." “Ya udah, mulai.” Bintang menarik napasnya. “Jadi gini. Laki-laki itu, namanya Ferdhy. Dia mantan aku. Kita pacaran dua tahun. Waktu itu aku masih SMA, dia kuliah jurusan arsitektur. Setelah 2 tahun pacaran, dia selingkuh sama teman kampusnya sendiri. terus yang perempuan tadi, itu adik sepupunya Ferdhy. Namanya Anggi. Dia itu jahat banget orangnya. Suka iri, apalagi sama orang yang lebih cantik dari dia. Dia juga tukang drama, tukang cari perhatian yang nggak cukup dengan perhatian satu laki-laki. Intinya, haus perhatian lah. Suka fitnah-fitnah, merasa paling tersakiti, padahal dia yang menyakiti. Berkali-kali aku kena fitnah dia. Sampai-sampai semua temen-temen aku dia buat benci sama aku. Nggak tahu lagi mau bilang apa, intinya dia jahat banget. Ya itu sih, intinya gitu. Aku udah nggak peduli lagi sekarang. Aku udah males kebanyakan drama,” jelas Bintang. “Terus mereka tadi ngapain? Aku tadi lihat kamu nampar dia. Cuman aku diem aja, aku nggak berani ikut campur, soalnya itu urusan kamu sama mereka. Aku bakal keluar kalau mereka nyakitin kamu.” Langit jujur pada Bintang kalau sebenarnya, tadi dirinya melihat pertikaian Bintang dan masa lalunya itu. “Dia ngajak aku balikan,” ujar Bintang sukses membuat api cemburu yang Langit tahan sedari tadi kembali bergejolak. “Terus kamu terima?” tanya Langit. Bintang menggeleng. “Ya enggak lah. Nggak terima barang bekas!” Langit menghentikan mobilnya. Nasi jagung yang mereka cari sudah ketemu. “Udah, nggak usah dibahas. Ayo sarapan!” ajak Langit. Mereka pun turun. *** Setelah sampai di rumah Langit, Langit memperkenalkan Bintang pada mamanya dan mamanya Langit menyambut ramah. Mereka saat ini sedang berada di ruang tamu. Bintang duduk di sofa panjang bersebelahan dengan Langit, sementara mama Langit duduk di kursi single. “Papa ke mana, Ma?” tanya Langit ketika tidak menjumpai papanya di rumah. “Papa di kantor, Sayang. Ada kerjaan katanya,” ujar Lenny lembut. Bintang menyunggingkan senyumnya saat tak sengaja, netranya bertemu dengan netra cantik milik Lenny. Tanpa basa basi, Langit memperkenalkan Bintang pada mamanya. “Ma, ini Bintang, kekasih Langit,” ujar Langit pada sang mama. Lenny tersenyum. “Oh, jadi ini yang namanya Bintang? Cantik, Mama suka. Anaknya juga ramah,” ujar Mama Langit. Bibir Bintang terulur untuk membalas senyum Lenny. “Salam kenal, Tante. Saya Bintang, temannya Mas Langit.” Bintang kemudian mencium tangan Lenny. “Iya, Nak. Tante sudah tahu tentang kamu. Langit sering cerita. Jangan panggil Tante ya? Panggil Mama saja,” perintah Lenny. Bintang mengangguk. “Baik, Te, eh, Ma,” ujar Bintang gugup. Lenny terkekeh. “Nggak usah gugup gitu. Oh iya, Nak, gimana hubungan kamu sama anak Mama? Mau ke tahap yang lebih serius, ‘kan? Lantas, kapan Mama bisa ke rumah Bintang buat melamar? Biar papanya Langit yang datang lamarin Bintang buat Langit. Sekalian langsung tentuin tanggal dan tempatnya. Mau nikah di mana? Di gereja tempat Bintang atau di sini?” tanya Mama Langit antusias. Bintang tertunduk lesu. Langit pun ikut berkeringat dingin. “Maaf Tante, Bintang muslim,” ujar Bintang takut-takut. Mama Langit bangkit berdiri dan menyuruh putranya untuk bergeser. Lenny duduk di samping Bintang. Diangkatnya dagu Bintang, dan Lenny pun tersenyum. “Tidak apa-apa,” ujar Lenny. Terdengar helaan napas lega dari setiap oksigen yang masuk pada Langit dan Bintang lewat lubang hidungnya. Lenny masih menatap Bintang. “Mama tidak akan mempermasalahkan Bintang yang islam. Mama akan tetap membiarkan Bintang menjalankan kewajiban Bintang sebagai muslim. Mama juga tidak akan bilang ke siapa-siapa kalau Bintang muslim. Tapi, Mama mau, sebelum saat menikah nanti, dilakukan pembaptisan. Mama mau Bintang disucikan, karena Bintang adalah bagian dari kami. Mama mau, pernikahan Langit dan Bintang memakai adat dan tata cara kristen.” Seperti diterbangkan setinggi-tingginya, kemudian dihempaskan sekeras-kerasnya. Bintang menggeleng pelan. “Maaf, Tante. Bintang tidak bisa. Itu sama saja seperti Bintang mempermainkan agama. Bintang tidak ingin bermain-main dengan Tuhan.” Bintang tetap teguh pada pendiriannya. Apapun itu, kalau menyangkut Tuhannya, dirinya tidak boleh goyah. Langit menghampiri Bintang. Memegang bahu gadis itu yang bergetar karena isak tangisnya mulai keluar. “Sayang, kamu terima tawaran Mama ya? Kan kamu cuman dibaptis aja. Kamu masih bisa sembahyang kok. Kamu masih bisa setia sama Tuhanmu,” ujar Langit memberi pengertian pada Bintang. Bintang menggeleng tegas. “Maaf, Mas. Aku nggak bisa,” ujarnya lirih. Mama Langit langsung berdiri dari duduknya. “Kalau Bintang nggak mau, Mama juga nggak akan setuju dengan hubungan kalian berdua. Mama nggak suka banyak drama kayak gini. Kalau Bintang masih mau sama Langit, Bintang harus masuk menjadi bagian dari keluarga ini. Bintang harus dibaptis agar kalian bisa menikah dan hidup bersama. Jangan sampai Langit yang ikut Bintang. Mama nggak suka! Masak laki-laki kalah sama perempuan? Mau di taruh mana muka keluarga ini?!” ujar Lenny tegas. Lenny menentang keras hubungan mereka yang beda agama, sementara Bintang tidak mau mengalah. “Maaf, Tante. Bintang tidak bisa melepas kepercayaan yang sudah Bintang yakini sejak lahir.” Bintang juga dengan tegas menolak kemauan mama Langit. Langit bingung karena tidak tahu harus memilih siapa. Kedua wanita yang sedang berdebat ini, sama-sama ia cintai. “Kalau begitu, Langit nggak usah sama Bintang. Langit, Mama mau kamu sama Selin aja. Dia anaknya cantik, nggak kalah sama Bintang. Dia juga masih gadis, masih perawan. Sudah, lupakan Bintang.” Rasanya, hati Bintang begitu sesak mendengar nama Selin. Entah siapa itu Selin, tapi yang jelas, Selin pasti seamin dan seiman dengan Langit. Sakit ... sakit sekali rasanya. Hati Bintang seperti terhantam ribuan godam . Langit mengacak rambutnya frustasi. “Tapi. Ma. Selin itu kayak anak kecil, manja, suka marah, nggak bisa ngertiin orang, tiap ketemu ngajak ribut terus. Pokoknya, Langit nggak suka sama Selin!” tolak Langit. Baru kali ini Langit membantah mamanya. “Ya sudah, kalau kamu mau ikut Bintang, kamu nggak usah pulang. Nggak usah nganggap Mama dan Papa ada di dunia ini. Biarin Mama sama Papa hidup berdua tanpa Langit lagi. Kalau sudah nggak sayang sama Mama Papa, Langit nggak usah temuin kami lagi. Mama nggak mau punya anak durhaka, Mama nggak sudi punya anak yang cuman bisa bikin malu keluarga,” ancam Lenny. Langit hanya bisa terdiam. Ia tidak sanggup berkata apa-apa. Di situ, air matanya menetes. Hanya Bintang yang dapat berpikir logis. Bintang mendekati Lenny. “Tante, Tante jangan marah sama Mas Langit ya? Tidak ada yang salah di sini, hanya saja, keadaan yang membuat semuanya jadi serba salah. Sebelumnya, Bintang mau minta maaf sama Tante. Mohon maaf karena Bintang dengan lancangnya sudah berani menyayangi putra Tante. Entah darimana perasaan itu timbul, Bintang juga tidak tahu datangnya dari mana. Bagi Bintang, cinta itu fitrah, suci tiada salah. Bintang tidak bisa mengendalikan perasaan Bintang untuk siapa, tapi Bintang bisa memilih, dengan siapa Bintang hidup dan menua bersama. Bintang tidak bisa mengendalikan perasaan Bintang untuk Mas Langit, tapi Bintang bisa mengakhiri kisah kami. Bintang tahu, jika suatu saat akan ada yang tersakiti dengan hubungan terlarang ini. Bintang sayang sama Mas Langit, tapi Bintang juga sayang sama Tante. Bagaimanapun, Tante adalah cinta pertamanya Mas Langit. Yang merawat dan membesarkan Mas Langit dengan penuh cinta dan ketulusan. Bintang pastikan, Mas Langit akan tetap memilih Tante. Bintang akan mundur dari perjuangan ini. Bintang akan serahkan Mas Langit sepenuhnya pada Tante. Bintang akan melepas Mas Langit. Anggap ini sebagai bentuk bakti Bintang pada Tante. Bintang permisi.” Bintang mengambil tasnya. Ia mencoba untuk tegar dan bersiap keluar dari rumah megah itu. “Bintang,” panggil Lenny. Bintang menghentikan Langkahnya. Lenny pun berjalan menghampiri Bintang. Lenny langsung memeluk Bintang erat. “Kamu orang baik, Nak. Tante nyaman sama kamu. Andai imanmu sama dengan anak Tante, pasti kamu akan diterima di keluarga ini dengan sepenuh hati. Tetap semangat ya, Nak. Lanjutkan jalanmu. Semoga, kamu bisa bertemu dengan jodohmu yang sebenarnya.” Bintang mempererat pelukannya. Ia pun semakin terisak di pelukan Lenny. Setelah tangisnya sedikit reda, Bintang langsung berlari keluar dari rumah megah itu. Ia berlari dengan sisa-sisa kekuatan yang dipunya . Langit pun langsung mengejar Bintang. Ia tidak peduli dengan mamanya yang masih terdiam di tempatnya. “Bintang, tolong jangan pergi, Bintang.” Langit bertekuk lutut di bawah kaki Bintang, setelah ia berhasil mengejar gadis itu. Bintang menatap langit sendu. “Mas, aku mohon, lepasin aku. Hubungan kita harus berakhir. Hubungan kita ini salah, Mas. Aku rela kalau Mas Langit nikah sama Selin. Kata mama Mas Langit, Selin anak yang baik, pasti dia bisa buat Mas Langit bahagia.” Dusta! Semua yang Bintang ucapkan hanyalah omong kosong. Buktinya, ia tidak akan sanggup melihat Langit bersanding dengan wanita lain. “Nggak, Bintang. Aku nggak suka sama Selin. Dia nggak kayak kamu yang bisa bikin aku nyaman dan biasa buat aku bahagia. Dia nggak akan bisa ngertiin aku kayak kamu ngertiin aku. Dia nggak bisa jadi pendingin di saat aku sedang emosi. Dia nggak bisa menggantikan kamu di hatiku, Bintang!” Langit menitihkan air matanya. Bintang pun turut menangis, tak kuasa melihat pria kuat yang begitu dicintainya menjadi lemah seperti ini. “Bisa, Mas. Mas Langit belum coba,” ujar Bintang meyakinkan. “Ngvak akan bisa.” Langit tetap kukuh. “Terima ya, Mas. Terima perempuan pilihan mamamu. Aku ikhlas jika ini memang yang terbaik.” Langit tidak menggubris. “Mas, Langit,” panggil Bintang lagi. “Mas.” Tidak ada jawaban. Langit hanya terdiam tanpa ingin bicara. Melihat Langit yang acuh seperti ini, hati Bintang semakin sakit. Bintang pun ikut duduk, mensejajarkan dirinya dan Langit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN