11. Tetaplah Tinggal

2183 Kata
Setengah jam diacuhkan oleh Langit, akhirnya Bintang berhasil membujuk laki-laki itu untuk kembali menatapnya. Bintang pikir, mengakhiri hubungannya dengan Langit adalah hal yang paling menyakitkan. Namun, dirinya salah. Ternyata, masih ada yang lebih menyakitkan lagi, yaitu diacuhkan oleh seseorang yang begitu dicintainya. “Mas Langit,” panggil Bintang. Langit acuh tak acuh. “Hemmm?” gumamnya pelan. Ia tetap dingin, sedingin salju di kutub utara. Bintang menangkub wajah Langit agar Langit mau menatapnya. Ia tidak tahan diacuhkan Langit lebih lama lagi. Lebih baik, Langit memarahinya, membentaknya, atau mengomelinya daripada mendiamkan dirinya seperti ini. “Mas, tolong lupain aku ya? Benar kata mama kamu, aku bukan satu-satunya perempuan di dunia ini. Banyak perempuan yang lebih cantik dari aku. Carilah perempuan lain yang seamin dan seiman denganmu, Mas,” ujar Bintang. Matanya yang sendu seolah berbicara, 'aku belum siap kehilangan kamu, Langitku.' Langit menatapnya tak kalah sendu. Ia pun menggeleng tegas. “Nggak, Bintang. Aku nggak bisa lepasin kamu begitu saja. Aku sayang banget sama kamu, Bintang. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku sudah merubah kebiasaan burukku demi kamu. Apa kamu mau aku semakin menggila? Apa kamu mau melihat aku meminum minuman haram itu lagi? Apa kamu mau melihatku bermain wanita lagi? Kamu mau melihatku kembali pada kehidupan kelamku itu?” Langit terlihat begitu kacau. Ia tidak bisa membayangkan sekacau apa dirinya saat kehilangan Bintang. Hanya Bintang yang mampu membuat Langit berubah tanpa gadis itu minta. Bintang memejamkan matanya. Dirinya begitu memohon agar Langit mau mengerti. Dibukanya mata itu, lalu ia memberanikan diri untuk menatap manik mata milik Langit lekat-lekat. “Ayolah, Mas, mengertilah. Aku nggak mau kalau kamu sampai durhaka sama mamamu. Mama kamu menentang keras hubungan kita. Di sisi lain, aku juga nggak bisa lihat kamu mengkhianati Tuhanmu, Mas. Aku nggak mau kamu masuk agamaku hanya karena agar kamu bisa dengan mudah menikahi diriku. Aku nggak bisa, Mas! Kalau kamu mau masuk agamaku, pelajari sungguh-sungguh. Yakinkan keimanan kamu pada Tuhanku. Aku pun tidak akan segan untuk menuntunmu, mengajarimu sampai kamu mau mencintai Tuhanku, dan meyakini-Nya sungguh-sungguh,” ujar Bintang berusaha tegar. Ia harus bisa mempertegas hubungannya dan Langit. “Nggak, Bintang! Aku nggak bisa. Aku nggak bisa kehilangan kamu ataupun Mama. Aku nggak bisa, Bintang. Aku nggak sanggup buat memilih salah satu di antara kalian. Aku nggak akan sanggup? Tolong ngertiin aku. Jangan buat aku gila.” Langit semakin frustasi. Ia pun mengacak rambutnya brutal. “Kalau begitu, biarkan aku yang pergi. Biarkan aku yang mengakhiri perjuangan ini. Aku akui, ini memang salahku. Saat aku tahu kalau kamu tidak seiman denganku, aku masih tetap memaksakan diri untuk tetap menjalin hubungan ini. Harusnya waktu itu aku menjauh darimu, tapi aku nggak sanggup. Maaf, aku terlalu egois. Tanpa sadar, rasa kita sudah semakin dalam, membuat kita sama-sama susah untuk melepas. Tapi kita harus bisa saling melepas, Mas. Mulai sekarang, aku akan berusaha untuk tidak egois lagi. Aku akan belajar mengikhlaskan kamu, Langitku. Aku akan coba. Aku juga mohon sama kamu, Mas, tolong kamu jangan egois. Lepasin aku, Mas.” Bintang begitu memohon. Langit memegang tangan Bintang yang masih menangkub wajahnya. Dibawanya tangan mungil itu ke dalam genggaman. Langit mencium tangan Bintang secara bertubi-tubi. “Aku pasti akan lepas kamu, Bintang. Tapi aku nggak bisa kalau harus melepasmu sekarang. Kasih aku waktu, Bintang. Perlahan-lahan ya? jangan langsung menjauh. Aku nggak sanggup, Bintang. Kepala aku rasanya udah mau pecah.” Langit kembali menciumi tangan Bintang. Mengisyaratkan agar gadis itu tetap tinggal. Bintang menghela napas berat. “Oke, kita pelan-pelan. Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita kayak gini terus, Mas?” “Aku juga nggak tahu, Bintang. Aku ini manusia, aku bukan Dewa, aku bukan Tuhan! Aku cuman manusia yang punya banyak kelemahan, Bintang. Kalau aku bisa amnesia, aku pasti akan memilih amnesia untuk selamanya. Biar aku bisa lupain kamu, Bintang!” emosi Langit dengan suara meninggi. Bintang langsung memeluk Langit. Menenangkan emosi laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. “Jangan bilang gitu. Aku gak suka kamu lemah seperti ini. Mana Langitku yang kuat? Langitku yang tangguh dan hebat? Aku rindu Langitku yang usil, bukan Langit yang rapuh seperti ini.” “Karena kamu kelemahanku, Bintang. Aku nggak bisa tanpa kamu,” ujar Langit begitu lirih. Langit menjatuhkan kepalanya di bahu Bintang. Menghirup lekat-lekat aroma tubuh Bintang yang suatu saat pasti akan sangat dirinya rindukan. Bintang tidak menyangka, jika laki-laki akan jauh lebih hancur dari perempuan, saat kehilangan orang yang benar-benar disayang. “Maaf, Langit. Harusnya dulu aku tidak hadir di hidupmu. Andai saja dulu aku tidak merespon kejahilanmu di grup, mungkin kita tidak akan sulit seperti ini. Maaf, aku hanya bisa membuatmu sakit hati.” Bintang mengakui penyesalannya. “Kenapa harus ada perbedaan, kalau kita semua akan berakhir pada surga dan neraka?” tanya Langit ngelantur. Logikanya kalah. Ia tidak bisa berpikir jernih. Bintang terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa, karna begitu sensitif jika membahas tentang hal seperti ini. jadinya akan merembet ke mana-mana, dan tidak ada ujungnya. “Mas, temenin aku cari makan, yuk! Perut aku perih. Asam lambungku kumat kayaknya.” Untuk mengalihkan perhatian Langit agar tidak menuntut penjelasan atas pertanyaannya tadi, Bintang terpaksa berbohong. Ia menjadikan asam lambungnya sebagai senjata terampuhnya. Benar saja, setelah Bintang mengadu jika asam lambungnya naik, Langit langsung panik. Ia pun Bangkit dan mengajak Bintang berdiri. “Cepat cari makan,” ujar Langit dingin. Namun bisa dilihat dengan jelas raut kekhawatiran di wajahnya. Seutas senyum tersungging manis di bibir Bintang. Langit yang memergoki Bintang tersenyum, ia pun menghentikan langkahnya. “Ngapain senyam-senyum?” Bintang terkesiap, “Gak papa, tadi lihat b*****g ngondek,” ujar Bintang ngasal. Langit memutar bola matanya. “Nggak usah ngada-ngada! Dari tadi cuman kita doang di sini.” Bintang terkekeh. “Hihihi, kamu lucu juga ya kalau ngambek, Om?” ledek Bintang. Bintang berusaha membuat Langit kesal, agar Langit bisa melupakan sejenak masalah mereka yang rumit. “Nggak usah ketawa kamu! Mau makan apa? Jangan yang pedas,” ujar Langit setengah mengomel. “Aku mau nasi pecel aja,” jawab Bintang. “Ya sudah, tunggu di sini. Aku ambil mobil dulu di rumah.” Bintang mengangguk patuh. “Iya.” Dengan langkah lebarnya, Langit berjalan pulang guna mengambil mobil. Di halaman rumah, Langit bertemu Lenny, mamanya. “Langit,” panggil Lenny pada sang putra. Langit berjalan gontai menghampiri mamanya. “Iya, Ma? Ada apa?” ujarnya lesu. “Gimana Bintang?” tanya Lenny. “Nghak papa,” ujar Langit acuh. “Mama kasih kamu waktu untuk bisa yakinin Bintang. Bawa Bintang pulang sebagai menantu Mama. Kalau kamu nggak bisa buat dia luluh, mau tidak mau kamu harus menikah dengan Selin.” Keputusan Lenny tidak bisa diganggu gugat. Ini sudah Lenny pikirkan matang-matang. “Ma, udah berapa kali Langit bilang sama Mama, kalau Langit nggak suka sama Selin, Ma. Tolong jangan bahas ini dulu. Kepala Langit rasanya udah mau pecah. Jangan bahas masalah Bintang, apalagi soal Selin. Biar Langit yang selesaiin masalah Langit sendiri. Langit mohon sama Mama. Mama tolong ngertiin Langit. Langit permisi dulu mau antar Bintang pulang.” Tanpa memperdulikan mamanya, Langit langsung masuk ke dalam mobil mewah yang terparkir di halaman luas rumah megah itu. Tak lama, mobil Langit berhenti tepat di hadapan Bintang. Bintang pun bersiap untuk membuka pintu, namun diteriaki Langit dari dalam. “Jangan masuk dulu!” Akhirnya, Bintang pun urung. Lebih baik, Bintang menurut pada sang empunya. Terlihat Langit turun dari mobil dan mengitari mobil bagian depan. Setelahnya, Langit membukakan pintu untuk Bintang. “Silahkan masuk Tuan Putri,” ujar Langit begitu romantis. Hanya dengan perhatian kecil seperti ini, sudah bisa membuat Langit menjadi istimewa di mata Bintang. Bintang merasa dispesialkan. “Terima kasih,” ujar Bintang dengan senyum tulusnya. Bintang pun masuk ke dalam. Tak lama, mobil pun melaju. Setelah beberapa lama berkendara, Langit sampai di warteg pecel langganannya. Namun, warung itu sedang tutup. “Sayang, warungnya nggak buka,” ujar Langit. Bintang pun menatap Langit penuh kecewa. “Ya sudah, beli yang lain aja.” “Kamu mau makan apa?” tanya Langit. “Terserah aja. Aku ngikut.” “Bakso, mau?” tawar Langit. “Boleh. Yang beranak ya?” Bintang terlihat begitu antusias. “Kenapa nggak bikin sendiri?” celoteh Langit. Bintang mengernyit bingung. “Apanya yang bikin sendiri? baksonya?” “Anaknya,” gurauan Langit membuat Bintang geram. Bintang langsung mencubit lengan Langit keras-keras. “Nggak lucu ya! Minta dilempar golok emang!” ketus Bintang. Langit terkekeh. “Hehe. Dah, nggak usah ngambek. Kalau ngambek hidungmu ilang,” ledek Langit. “Leh, nguwenyek!” Bintang memalingkan wajahnya ke arah jendela mobil. “Nanti pulangnya aku antar aja,” ucap Langit membuat Bintang mengalihkan fokusnya. Bintang menoleh pada Langit. “Nggak usah, aku naik kereta aja. Surabaya ke Lamongan nggak jauh kok,” tolak Bintang halus. “Nggak! Pokoknya aku anterin.” Keputusan Langit tidak bisa dibantah. Bintang menghela napasnya. “ Nanti mama kamu marah kalau tahu kamu masih deket sama aku. Terus pacar kamu juga cemburu. Aku nggak mau cari masalah.” “Pacar siapa?” timpal Langit cepat. “Si Sela, Sisil, sally, entah siapa itu, pokoknya ada Si Sinya gitu,” ujar Bintang polos. Ia lupa siapa nama perempuan yang disebutkan mamanya Langit tadi. “Selin?” ujar Langit membetulkan. “Nah, iya, itu. Selin. Entar dia cemburu sama aku.” Bintang mengalihkan pandangannya. Mendengar nama perempuan itu saja, bisa membuat Bintang sesak napas. Nyesek. “Kalau dia cemburu ya biar. Emang dia siapaku. Nggak ada yang berhak marah sama kamu. Mamaku atau Selin sekalipun. Aku ada buat lindungin dan belain kamu.” Langit sudah berjanji, dirinya akan menjadi langit agar bisa melindungi Bintang. Bintang tersenyum. “Terima kasih.” *** Tak terasa. Mereka sudah sampai di tempat penjual bakso beranak. Bintang pun langsung turun dengan antusias tanpa menunggu Langit membukakan pintu untuknya. Dirinya sudah tidak sabar untuk menikmati santapan lezat itu. “Siapa yang suruh kamu keluar duluan? Masuk lagi ke mobil!” perintah Langit. “Tapi—" Langit terlihat sedikit geram. “Masuk!” ucapnya tak terbantahkan. “Oke, oke, iya, aku masuk.” Bintang masuk lalu menutup kembali mobilnya. Setelahnya, Langit membuka lagi pintunya. “Silahkan keluar Tuan Putri.” Bintang pun keluar dengan wajah cemberutnya. “Definisi mempersulit hidup,” sindir Bintang. Langit memutar bola matanya. “Siapa suruh keluar duluan.” “Ya ampun ....” Langit tidak menggubris. “Ayo masuk!” ajak Bintang dengan paksa. “Sabar!” Langit dan Bintang masuk ke dalam. Mereka memesan dua porsi bakso normal dan satu porsi bakso beranak jumbo. Setelah bakso tersaji, tanpa basa-basi, Bintang langsung ingin memakannya. Bintang bersiap mengambil sambal yang ada di hadapannya. “Eits, nggak bisa. Mau ini kan?” Langit langsung menyambar sambalnya saat tangan Bintang sudah hampir menyentuh mangkuk sambal. Dirinya kalah cepat dengan Langit. Bintang menatap Langit dengan tatapan memohon. “Dikit aja, ya?” Bintang mencoba untuk membujuk Langit. “Oke,” Mendengar jawaban Langit, ada binar kebahagiaan di mata Bintang. Langit mengambil sendok kecil di mangkuk sambal dan menuangkan setetes sambal di mangkuk bakso milik Bintang. “Lah, kok cuman setetes? Mana berasa, Mas?!” protes Bintang. “Dah, makan. Gak usah nawar!” pungkas Langit. Bintang menekuk wajah kecutnya. Meski begitu, ia mulai memakan baksonya karena perutnya sudah keroncongan. Melihat Bakso beranak di hadapannya, Bintang langsung tertarik. Dirinya ingat memesan bakso beranak yang di dalam bakso yang berukuran kecil terdapat cabai. Tentu saja dirinya memesan tanpa sepengetahuan Langit. Karena Langit tadi izin ke belakang sebentar, jadi Bintang yang disuruh memesan. Bintang mulai memotong bakso besarnya. Setelahnya, keluar bakso yang berukuran lebih kecil di dalamnya. Bintang mengambil dan memakan satu per satu. Dirinya begitu menikmati bakso pedas yang sangat nikmat. Melihat Bintang yang sampai keringatan, Langit menjadi curiga. “Aku minta bakso beranaknya.” Langit mencoba mengambil bakso di mangkuk besar itu. Buru-buru Bintang mengambil mangkuknya. Bukan karena Bintang rakus, tapi karena Bintang tidak mau kalau sampai Langit memakan bakso pedas itu. “Enggak! Ini punyaku. Lagian, rasanya sama kok.” Langit menggidikkan bahunya. “Ya udah, siniin. Aku mau incip. Kan aku juga mau. Penasaran gimana rasanya,” Langit tetap kukuh. “Ngak!” Dengan tegas Bintang menolak. Langit merebut mangkuk itu dari Bintang. Ia berhasil mengambil satu bakso berukuran kecil. Tanpa pikir panjang, Langit langsung memakannya. Langit menatap geram ke arah Bintang saat bakso sudah mendarat mulus di mulutnya. Gigitan pertama, terdengar suara cabe meletus di dalam mulutnya. Langit merasakan pedas yang luar biasa. “Bintang!!!” geramnya. Yang ditatapnya hanya cengar-cengir. “Hehehe.” “Ini maksudnya apa pesan bakso sepedas ini? Siapa yang suruh kamu pesan ini? Nggak ingat lambung kamu? Aku bela-belain ajak kamu cepet-cepet makan biar asam lambungmu nggak kumat, kamu malah mau rancunin diri kamu sendri. Kalau nggak mau ngehargain lambung kamu, seenggaknya hargain aku! Aku udah curiga, pas keringatmu keluar semua. Eh, bener! Kamu pesan bakso sepedas ini? gila kamu!” maki Langit emosi. “Iya, maaf.” Bintang tertunduk. Bagaimanapun juga dirinya tetap salah. Langit tidak salah jika dirinya ngamuk sama Bintang. “Bisamu cuman maaf, maaf, maaf terus. Tapi selalu diulang, sampai bosan aku dengernya, Bintang,” keluh Langit. “Emmm ... jangan marah,” bujuk Bintang. “Mbuh! Sak karepmu! Terserah!” Langit pun diam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN