Setelah bersiap, Langit dan Bintang pun langsung berangkat.
Di perjalanan.
Langit tetap setia menatap fokusnya ke depan. Sudah setengah perjalanan ia lalui dengan rasa lelah yang menjalar di sekujur tubuhnya. Namun tak apa, demi Bintang akan ia berikan.
Dalam keheningan, Bintang masih kepikiran dengan nasib hubungannya nanti. Sesekali Bintang melamun. Ia membayangkan reaksi mamanya Langit yang mengetahui jika anaknya jatuh cinta dengan perempuan yang tak sama dengan keluarganya.
“Om,” panggil Bintang.
Langit menoleh sebentar. “Iya, Sayang.”
Sedetik kemudian, Langit kembali mengalihkan fokusnya seperti semula.
Bintang memalingkan wajahnya ke arah Langit. Matanya yang sendu seolah berbicara. Ia memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu yang sedari tadi berkecamuk di dalam hatinya, membuatnya menjadi tak tenang, seolah dihantui bayang-bayang ekspetasinya.
“Om, kamu yakin buat pertemukan aku sama mama kamu? Yakin, mau bilang soal hubungan kita ke mama kamu?” tanya Bintang ragu-ragu. Bisa dibilang, ia belum sanggup menerima penolakan dari mama Langit.
Langit tersenyum. Senyumnya samar, tapi begitu memukau. “Kenapa nggak? Kalau aku nggak yakin, aku nggak mungkin jemput kamu ke rumah, Bintang. Butuh keberanian besar untuk seorang laki-laki buat mengajak perempuan ke rumahnya. Apalagi harus izin keluarga kamu.”
Bintang terdiam. Ia pun menunduk sesaat. “Aku takut, aku takut mama kamu menentang hubungan kita, Om. Ini sulit, karena masalah kepercayaan bukan persoalan yang mudah. Ini bukan hanya masalah perasaan kita, tapi juga tentang kita, tentang keluarga kita dan tentang Tuhan kita. Ini sulit bagi aku, Om. Aku nggak mau ninggalin Tuhan aku demi cinta dunia. Kalau seandainya mama kamu nggak bisa terima kamu ikut aku dan pindah memeluk agamaku, kamu ikhlasin aku ya?” ujar Bintang begitu serius. Lagi-lagi, Bintang meneteskan air matanya. Kenapa nasibnya begitu tidak beruntung? Jika memang dua insan yang saling mencintai ini tidak dapat bersatu, lalu kenapa semesta saling mempertemukan mereka? mengapa semesta membuat hati yang sama-sama terluka menjadi saling jatuh cinta? mengapa?
“Bintang, aku mohon sama kamu, tolong jangan bahas ini dulu ya? Tolong biarin aku lupain sejenak masalah hubungan kita. Aku mau nenangin pikiran aku dulu. Aku mau menghabiskan waktuku beberapa hari ini sama kamu di pantai. Baru setelahnya, kita temuin Mama dan bicarain semuanya. Aku mohon, Bintang. Biarin aku bahagia sebentar. Biarin aku melukis kenangan indah bersamamu yang bisa aku kenang sepanjang hidupku,” ujar Langit memohon. Ia masih belum siap kehilangan Bintangnya. Langit masih ingin merasakan bahagia bersama Bintang. Bersama pujaan hati yang terkasih. Namun, begitu sulit diraihnya karena benteng besar kepercayaan dalam keimanan yang menjadi penghalang.
Bintang semakin merasa bersalah. Sungguh rumit masalah yang menimpa dirinya. “Iya, maaf. Aku nggak akan bahas ini selama kita menghabiskan waktu bersama. Mengukir kenangan yang menjadi sejarah perjuangan kita. Jika memang nantinya harus berakhir, aku tidak akan pernah menyesal karena aku pernah melukis yang namanya bahagia bersamamu,” ujar Bintang tulus. Sebelum Langit pergi meninggalkan Bintang untuk selamanya, Bintang akan selalu memanfaatkan momen-momen indahnya bersama Langit.
Langit hanya terdiam. Ia tidak tahu harus berbicara apa. Kepalanya sudah cukup pusing memikirkan hubungan mereka yang entah mau dibawa ke mana.
“Ini langsung ke pantai?” tanya Bintang untuk memecah keheningan.
“Terserah kamu. Kamu mau jalan-jalan dulu ya, ayo!” Langit ikut saja maunya Bintang. Ia akan membawa Bintang ke tempat mana pun yang gadis itu inginkan. Cukup melihat Bintang bahagia karena dirinya, sudah bisa membuat Langit merasa menjadi orang paling beruntung.
Bintang menghela napas. “Emmm ... aku mau cari makan dulu deh, lapar perutku,” kata Bintang dengan polosnya. Benar, gadis itu memang jujur. Bahkan, Langit bisa mendengar suara perut Bintang yang keroncongan. Cacing-cacing di perutnya sudah meronta untuk diisi makan.
Langit terkekeh. “Perutmu udah konser tuh, mau makan apa?” tanya Langit.
Bintang tampak malu. Ia kesampingkan rasa malunya karena memang benar-benar lapar. Ia berpikir sejenak.
“Ayam geprek, boleh?” tanya Bintang ragu. Pasalnya, Langit sudah tahu kalau Bintang tidak bisa makan pedas. Langit pasti selalu mengungkit kejadian dirinya yang sakit perut karena makan pedas. Langit akan melarang Bintang untuk memakan makanan yang pedas. Lambung Bintang sudah bermasalah, tapi Bintang masih suka nekad untuk makan yang pedas-pedas.
“Nggak! Kalau ayam geprek aku nggak kasih! Lambung kamu udah sakit, Bintang. Aku nggak mau kamu sakit, apalagi sampai masuk ke rumah sakit. Pola makannya dijaga, dong. Udah gede! Makanan yang nggak baik buat kesehatan kamu ya dihindari, bukan malah diterobos aja. Kamu itu bandel banget kalau dibilangin. Udah berapa kali aku larang kamu buat nggak makan pedas?! Eh, masih aja dilakuin. Emang susah ngasih tahu kamu. Masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Nggak pernah nurut. Emang sukamu cari penyakit ya?”
Langit terlihat marah. Sulutan api di matanya menyala-nyala. Semua hal yang menyangkut kesehatan Bintang, Langit selalu seperti ini.
“Sekali saja. Boleh ya? Nanti aku pijitin kalau capek nyetir,” bujuk Bintang.
“Nggak usah ngerayu! Aku ini lagi marahin kamu, Bintang! Kamu nggak ngerti ya, artinya disayang? Aku marah kayak gini bukan karena aku jahat, bukan berarti aku nggak sayang sama kamu. Justru karena aku sayang banget sama kamu, aku nggak mau kamu kenapa-kenapa. Aku nggak mau asam lambungmu kumat, terus sakit. Sayangin diri sendiri, kek. Jangan ngarepin orang lain sayang, kalau kamu sendiri nggak bisa sayang sama diri kamu. Nggak usah sok-sokan sayang sama anak orang juga, kalau sayang sama diri sendiri aja nggak becus!”
Bintang tersenyum kecut. “Hemmm ... iya, maaf.” Bintang malas melanjutkan perdebatan, akhirnya ia yang mengalah.
“Bisamu cuman bilang gitu doang. ‘iya, maaf’ tapi tetep diulangi berulang kali. Nggak capek bilang gitu?” omel Langit.
Bintang mencebikkan bibirnya. wajahnya ditekuk masam. “Hemmm ... ya sudah, terserah kamu mau makan apa. Aku ngikut.”
“Nggak punya pendirian!” tandas Langit.
“Hih! Salah terus ya, aku? Kapan sih, aku bener di matamu. Om?” Bintang merasa kesal. Nurut salah, nggak nurut makin salah.
“Ya, emang nyatanya gitu,” ujar Langit acuh.
“Tau, ah! Serah kamu.” Bintang diam. Ia sudah malas berdebat.
“Pecel mau nggak?” tawar Langit saat melihat warteg yang tak jauh dari mobilnya.
“Terserah!” ketus Bintang. Ia sudah kehilangan selera makannya.
Langit menghentikan mobilnya tepat di depan warteg. “Ya sudah, ayo turun.”
Mereka pun langsung turun dan berjalan ke dalam warteg.
“Buk, sekul pecel kalih porsi,” pesan Langit pada ibu warteg.
“Njeh, Mas. Pinarak riyen.”
Sembari menunggu pesanan datang, Langit dan Bintang duduk di bangku yang sudah tersedia di sana.
Tak lama, dua porsi nasi pecel sudah berada di depan mereka. Aroma pecel yang menggoda, membuat selera makan Bintang kembali b*******h. Keduanya langsung memakan nasi itu dengan lahap.
Selesai makan, Langit menyuruh Bintang langsung ke mobil. Sementara dirinya masih harus di sana untuk membayar makanannya.
Setelah mengisi perut, Langit dan Bintang langsung menuju ke pantai. Lokasi pantai sudah dekat. Namun keduanya masih saling terdiam.
“Masih ngambek?” tanya Langit saat Bintang tak kunjung membuka percakapan. Bintang enggan untuk berdebat lagi. Ia pun memilih untuk tidak cari masalah.
“Enggak, biasa aja,” ketus Bintang.
Langit diam saja. Percuma merayu Bintang, nggak akan ada hasilnya. Nanti kalau perasaannya sudah baik, pasti ceria lagi. Memahami Bintang itu gampang-gampang susah. Tidak semua laki-laki bisa.
Mereka sampai di pantai tepat pada sore hari, di mana keindahan sunset terpancar di sana. Angin pantai yang sepoi-sepoi ditambah langit senja yang cerah, membuat perasaan menjadi damai.
Bintang yang duduk manis di pinggir pantai bersama Langit, ia tak henti-hentinya menunjukkan kekaguman.
“Om, senjanya indah ya?” tanya Bintang pada Langit.
Langit mengangguk. “Iya, senjanya cantik, seperti kamu. Indah, namun tak tergapai,” ujar Langit.
Bintang menghela napas. “Udah, dong. Katanya nggak mau bahas itu dulu? ‘kan di sini kita mau lupain masalah itu, kok malah dibahas lagi?”
Langit diam. Ia kemudian merangkul Bintang dari samping, menyandarkan kepala Bintang di bahunya, dan membawa gadis itu ke dalam dekapannya.
“Bintang, aku belum siap kehilangan kamu. Apa kita ambil jalan tengah aja ya?” Langit tidak paham dengan jalan pikirannya.
Bintang sedikit mendongak. “jalan tengah? Maksudnya gimana ya? kok aku nggak paham, Om?” tanya Bintang polos. Otaknya tidak sampai kalau disuruh mikir setinggi itu.
“Iya, jalan tengah. Kita nggak perlu mengorbankan apa pun, termasuk agama. Kita menikah beda agama saja. Jadi, kita tetap berprinsip pada keyakinan masing-masing. Kita nikah di luar negeri yang bisa meresmikan dan mau mengakui pernikahan beda agama. Nanti, kalau kita sudah punya anak, kita kembali lagi ke sini. Anak kita juga nggak akan aku paksa buat ikut agama aku. Mereka aku bebasin buat milih agama yang sesuai dengan yang mereka inginkan. Entah mau ikut kamu ataupun aku, itu hak mereka.” Entah dari mana ide gila Langit itu muncul, tapi yang jelas, saat ini dirinya benar-benar serius menawarkan Bintang ide gilanya itu.
Ide Langit yang tak masuk akal itu, tidak disetujui Bintang. “Itu bukan solusi, Langit. Itu malah akan menimbulkan masalah baru. Kita tunggu saja, bagaimana jawaban mama kamu nanti. Kalau mama kamu setuju, kita langsung nikah. Tapi, kalau mama kamu melarang kamu, mau nggak mau kita harus pisah. Mungkin, saling lepas adalah jalan yang terbaik. Aku nggak mau kamu durhaka sama mama kamu, Langit. Bagaimanapun, dia adalah wanita yang melahirkan kamu dengan pertaruhan nyawa, yang membesarkan kamu penuh cinta. Aku nggak mau hatinya terluka hanya karena anak semata wayangnya, lebih memilih seorang perempuan yang baru saja dikenalnya. Aku nggak mau egois, Langit. Aku nggak mau sampai kamu nyakitin hati mama kamu.”
Bintang menolak tegas ajakan Langit untuk menikah Beda agama. Bintang harus bisa bersikap dewasa. Ia juga tidak boleh egois. Mungkin, rasanya memang sakit, tapi Bintang harus kuat.
Dalam islam, pernikahan beda agama sangat ditentang keras. Apalagi, Bintang perempuan yang harus ada wali nikah saat dirinya menikah. Bukan di dalam islam saja, bahkan, di agama mana pun, pernikahan beda agama itu diharamkan dan dianggap tidak sah. Sama saja dengan zina seumur hidup. Tapi terkadang, cinta itu memang gila. Cinta bisa menganggap yang haram menjadi halal. Tidak sedikit contohnya.
“Iya, Bintang. Kita tunggu keputusan Mama ya?” pungkas Langit. Ia kemudian berbaring di pangkuan Bintang.
“Elus kepalaku, Bintang. Biar kepalaku hilang. Kepalaku sakit banget.” Langit memohon pada Bintang. Mungkin, dengan sentuhan lembut gadisnya itu, pikiran Langit bisa menjadi lebih tenang.
“Hei! Kok kepalanya yang hilang? Serem dong,” tegur Bintang.
Langit mengernyit. “Emang, tadi aku bilang apa?” tanyanya pada Bintang.
“Kamu bilang, minta dielus kepalanya, biar kepalamu hilang,” ujar Bintang menahan tawa.
“Astaga ... maksud aku tuh, biar pusingnya hilang. Kok jadi kepala aku yang hilang? Amit-amit ih.”
"Ya nggak tahu. Orang kamu yang bilang." Bintang menatap Langit tanpa berkedip.
"Maklum aja. Udah ubanan."
Bintang terkekeh. “Om, Om.”
Bintang mengusap pelan kepala Langit membuat Langit memejamkan matanya. Usapan Bintang di rambut Langit, membuatnya tenggelam dengan rasa nyaman. Tak lama, Langit pun terlelap di pangkuan Bintang.
Melihat Langit yang terlelap dalam ketenangan, Bintang meneteskan air matanya. Ia tidak tega melihat Langit yang rapuh seperti ini.
Tak terasa, hari sudah gelap. Langit terbangun setelah merasakan pergerakan kaki Bintang.
Bintang tersenyum saat Langit membuka mata lebar-lebar. "Maaf, udah buat tidurnya nggak nyaman."
Langit membalas senyum Bintang. "Kakinya pegal ya? Kenapa nggak bangunin tadi?"
Bintang menggeleng, "Nggak tega. Om tidurnya lelap banget."
"Aku terlalu nyaman. Sampai nggak berasa kalau udah gelap. Kita sewa tenda ya?"
Bintang mengangguk, "Kita bermalam di sini."
Langit dan Bintang pun memutuskan untuk bermalam di tepi pantai. Mereka berdua menyewa tenda.
“Bang, sewa tenda dua, ya?” ujar Bintang.
“Satu saja, Bang.” Langit langsung menyergah.
“Dua, Bang,” kata Bintang lagi. Dirinya tak mau kalah.
“Satu saja, Bang. Abang kasih satu, saya kasih tip buat Abang.”
Langit mengeluarkan dompetnya, dan ia langsung mengambil beberapa lembar uang berwarna merah. Langit memberikan uang tersebut pada Abang yang menyewakan tenda. Abang itu langsung mengambil uang dari Langit, dan menyerahkan kuncinya pada Langit. Langit pun terlihat sangat bahagia.
“Ayo, mau istirahat nggak?” ajak Langit.
Bintang masih terlihat kesal. “Ogah! Aku sewa sendiri s
aja.”
Saat Bintang ingin menyewa tenda, tiba-tiba ada rombongan yang menyela.
“Bang, sewa tenda enam,” ucap salah satu dari rombongan, kemudian Abang itu memberikan kuncinya.
Akhirnya Bintang mengalah. Ia menunggu rombongan itu sampai pergi.
“Bang, sewa tenda satu lagi,” ujar Bintang.
“Waduh, Mbak. Tenda yang kosong sudah terisi semua.” Abang-Abang itu merasa bersalah.
"Nggak ada yang kosong lagi ya, Bang?" tanya Bintang lagi. Berharap, masih ada yang belum terisi.
"Nggak ada, Mbak. udah diisi semua."
Bintang menatap lelaki itu dengan pandangan kecewa. “Iya, Bang. Nggak papa kok.”
Langit menahan tawanya. “Kalau mau ke tenda, ya ayo! Kalau nggak mau ya, tidur aja di atas pasir.” Langit meninggalkan Bintang. Mau tidak mau, Bintang pun menyusul.
Di dalam tenda, Bintang masih marah-marah. ‘Kenapa nggak pinjem tenda dua aja sih?!” makinya pada Langit.
Langit menghela napasnya. “Udah, Bintang. Kamu bobok ya? Aku mau kita satu tenda, karena aku cuman mau tidur di pelukan kamu, nggak lebih. Aku nggak akan macem-macem. Aku cuman mau dielus kepalanya sama kamu. Aku cuman mau tidur nyaman di pelukanmu. Udah, itu aja. Kamu jangan marah lagi ya, Bintang?”
Langit meminta pada Bintang agar tidak marah lagi. Langit pun mendekat dan mendekap tubuh Bintang erat. Ia seperti tidak mau melepas Bintangnya. Pelukan yang posesif, seolah jika Langit melepas pelukan itu, Langit akan kehilangan Bintang untuk selamanya.
Bintang menikmati pelukan itu. Ia biarkan tubuhnya terdekap hangatnya peluk dari Langit.
Untuk beberapa saat, ia mencoba memejamkan mata. Namun rasa kantuknya tak kunjung ia dapatkan. Bintang mendongak, “Om, udah ngantuk?” tanya Bintang.
Langit membuka matanya. Ia merasa terusik dengan panggilan Bintang. “Kenapa, Sayang?” tanyanya lembut.
“Aku belum ngantuk,” ujar Bintang jujur.
Langit melepas pelukannya. “Laper ya?’ tebak Langit.
Bintang mengangguk. "Banget!"
Langit pun tersenyum. “Di tas kamu ada roti. Kamu makan gih.”
Dengan cepat, Bintang bangkit dan meraih tasnya. Ia pun mengambil roti yang ada di sana. “ Mau?” tawar Bintang.
“Suapin,” ujar Langit manja.
“Makan sendiri. udah gede kan? Itu tangan dipake. Punya tangan buat apa kalau dianggurin,” ujar Bintang.
“Leh, mayak!”
Bintang pun tertawa puas. Ia mengambil roti yang ada di tangannya, dan memberikan suapan itu pada Langit.
Bintang melihat gitar nganggur di pojok tenda. Mungkin, ini salah satu fasilitas dari penyewaan tenda.
“Om, kamu bisa main gitar?” tanya Bintang.
“Kenapa? Mau dinyanyiin?”
“Bintang mengangguk. “Boleh,”
Langit pun meraih gitar itu
Ia mulai memetik senar gitarnya.
Jreng.
Jreng.
Jreng.
Langit menyanyikan lagi milik Marcel yang berjudul Peri Cintaku.
Suara Langit yang begitu merdu, membuat Bintang terpanah untuk beberapa saat.
Langit memejamkan mata, meresapi alunan demi alunan nada yang seolah begitu masuk dalam kisah percintaan dirinya dan Bintang.
Bintang pun ikut bernyanyi. Mereka menyanyikan senandung nada bagian reff dengan kompak. keduanya saling mencuri pandang untuk beberapa detik.
Tak terasa, setetes cairan bening jatuh membasahi pipi Bintang. Ia begitu meresapi lagu yang begitu dalam maknanya ini.
Buru-buru ia menghapus air mata itu, karena Bintang tak mau Langit melihatnya menangis.
"Iman kita memang beda. Namun amin kita tetap sama. Jika bukan jodohnya, setidaknya masih bisa menjadi saudara!" seru Bintang di akhir petikan gitar yang menggema.