Akhirnya Langit bisa bernapas dengan lega. Bandara Juanda, Surabaya, kini tempat Langit berada.
Setelah tiga hari berada di Singapura, akhirnya ia bisa pulang dan bertemu dengan sang mama untuk membicarakan kejelasan hubungannya bersama Bintang.
Langit menunggu sopir pribadinya menjemput. Ia tidak mau mengendarai mobilnya sendiri karena perjalanan yang dilaluinya sudah cukup melelahkan.
Setelah beberapa lama menunggu, sopir pribadi Langit tiba dengan mobil mewah yang terlihat begitu mencolok.
Tanpa membuang waktu, Langit segera masuk ke dalam dan membiarkan Pak Sopir yang membawa barangnya.
Setengah jam kemudian, mobil sudah terparkir di halaman rumah Langit. Rumah megah dengan arsitektur yang memukau, terlihat cukup menjernihkan mata.
Langit turun dari mobil dan masuk ke dalam. Dijumpainya sang mama yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga.
Langit memeluk tubuh mamanya dari belakang “Anakmu pulang, Ma,” ujarnya membuat sang mama terlonjak kaget, setelahnya senyum sang mama nampak berseri.
Langit meraih tangan sang mama, lalu menciumnya dangan lembut, sebelum ia ikut mendudukkan diri di samping perempuan cantik itu.
Langit menarik napas sesaat. Mengumpulkan keyakinan dan keberanian untuk menceritakan masalah dirinya dan Bintang pada sang mama. Kalau mamanya marah setelah ia bercerita, biarlah menjadi urusan belakangan. Yang terpenting, mamanya tahu soal hubungan mereka.
“Ma, Langit mau bicara penting sama Mama.” Langit menatap mamanya serius.
“Bicara soal apa, Nak?” tanya sang mama.
“Bicara soal Bintang, Ma,” terang Langit.
“Bintang itu siapa? Dia laki-laki atau perempuan?”
“Perempuan, Ma. Kalau laki-laki, ngapain Langit cerita sama Mama?”
Mama Langit tersenyum. “Dia pacar kamu?” tandasnya.
Langit mengangguk. “Iya, dia begitu istimewa untuk Langit,” aku Langit.
“Memang ada masalah apa dengan dia? Bintang hamil? Sudah berapa bulan? Kalau memang benar dia hamil, kamu harus segera nikahin dia. Mama tidak mau kamu jadi laki-laki pengecut. Tanggung jawab, Langit! Karena seorang laki-laki yang dipegang adalah tanggung jawabnya,” ujar mama Langit tegas.
Langit menggeleng tegas. “Enggak, Ma. Bintang perempuan baik-baik. Langit tidak mungkin tega merusak masa depannya.”
“Lalu, apa masalahnya, Sayang? Kamu mau nikah sama dia? Kalau mau nikah ya, ayo! Mama antar kamu bertemu keluarganya. Nanti Mama bilang sama Papa, buat lamarin gadis itu untuk kamu.”
Langit menggeleng lagi. “Bukan itu, Ma.”
“Terus apa, Langit?”
Wanita paruh baya berwajah cantik itu terlihat gemas pada putra semata wayangnya. Lenny Putra. Wanita karir berusia 47 tahun sekaligus mama dari Langit.
“Bintang islam, Ma”
Deg.
Dadanya bergemuruh. Lenny terlihat murka. Sorot matanya menatap tajam ke arah Langit.
“Nggak! Mama nggak suka sama Bintang. Mama nggak suka kebanyakan drama seperti ini. kamu pintar sekali cari perempuan? Hah?! Seperti tidak ada perempuan lain saja. Tinggalkan Bintang demi Mama. Mama tidak suka Langit durhaka sama Mama,” tolak Lenny tegas.
“Tapi, Ma?”
“Masih banyak perempuan cantik, Langit. Coba kamu lihat Selin, dia cantik, nggak kalah cantik sama mantan istri kamu. Dia juga masih gadis. Apa yang kurang dari Selin?”
Langit mengusap rambutnya kasar. “Ma, Langit gak suka sama Selin. Dia itu manja, kayak anak kecil. Belum apa-apa saja, tiap hari sudah ngajak Langit ribut. Langit nggak cocok sama Selin, Ma.” Langit berusaha memberikan pengertiannya pada Lenny.
“Tapi Mama nggak suka kamu sama Bintang. Kamu itu laki-laki. Awas kalau sampai kamu yang ikut Bintang. Jangan bikin malu keluarga, terutama Mama sama Papa!” ancam Lenny.
“Nggak, Ma. Biar Bintang yang ikut sama Langit. Langit akan bujuk Bintang.” Suara Langit melirih.
“Kamu yakin, dia mau? Melepas kepercayaan demi cinta itu nggak muda. Selain restu dari keluarga, kamu juga terhalang restu Tuhannya. Sanggup kamu merayu Tuhannya Bintang?” tanya sang Mama. Kali ini dengan emosi yang mulai merenda.
Langit terlihat sedikit frustasi. “Langit akan coba,” ujarnya yakin.
“Terserah kamu. Kalau kamu sayang sama Mama, ajak Bintang ke sini. Mama nggak akan bilang kalau Bintang islam. Mama nggak masalah kalau Bintang tetap sembahyang. Mama akan biarkan Bintang tetap islam. Tapi Mama mau, saat pernikahan kamu dan Bintang, harus diadakan pembaptisan. Mama mau Bintang dibaptis dan disucikan,” ujar Lenny.
“Langit akan coba bicara ini pada Bintang, Ma.” Secerca harapan tumbuh di hati Langit, meski harapannya sangat kecil, tapi Langit berharap Bintang mau menerima syarat dari mamanya.
“Ingat, kalau Bintang nggak mau dibaptis, jangan paksa dia. Dan kamu pun jangan ikut sama dia. Jangan bikin malu Mama sama Papa. Kalau sampai itu terjadi, Langit nggak usah pulang ke rumah. Biarin Mama sama Papa hidup berdua saja, menua berdua tanpa Langit. Mama nggak mau punya anak durhaka. Kalau sampai Langit nekad, lebih baik Mama tidak pernah menganggap Langit ada?” Ancaman kembali Lenny berikan. Langit pun tidak bisa berbuat apa-apa.
"Beri Langit waktu, Ma. Langit permisi dulu."
Langit pun pamit ke kamarnya setelah membicarakan ini pada sang mama. Kepalanya yang tadinya pusing, kini menjadi semakin pening.
Di dalam kamarnya, ia tampak gelisah. Langit bingung apakah dirinya harus membicarakan ini pada Bintang?
Langit merebahkan diri di atas ranjang berukuran king size miliknya. Ia meraih ponselnya, lalu mengetikkan sesuatu.
Langit: Bintang, kamu siap-siap ya, besok pagi aku jemput. Mama mau ketemu sama kamu.
Langit mengirim pesan itu pada Bintang.
Tak lama, centang abu menjadi biru. Tulisan mengetik tertera jelas di ponsel Langit.
Ting.
Notifikasi dari Bintang.
Bintangku: Hah, seriusan? Kamu nggak lagi bercanda? Duh, gimana ini? aku deg-degan, takut mama kamu marah.
Langit terkekeh. Meski dalam hati, ia juga takut jika mamanya tidak memberikan restunya.
Langit: Iya, Mama pengen kenal sama kamu.
Ujar Langit berdusta. Langit tidak tega jika memberi tahu Bintang kenyataan yang sebenarnya. Langit berharap, semoga setelah mereka dipertemukan, salah satu dari perempuan yang sama-sama dicintainya itu bisa luluh. Entah Bintang yang bersedia dibaptis, atau mamanya yang sudi memberikan restu pada Langit untuk ikut bersama Bintang.
Bintangku: Tapi aku takut, Sayang.
Dengan cepat, Langit membalas pesan Bintang.
Langit: Ada aku, Sayang. Jangan khawatir. Besok aku ke rumah kamu, ya? sekalian aku mau kenalan sama keluarga kamu. Kan kemarin nggak sempat ketemu.
Bintangku: Besok ketemu di kampusku aja ya, Om? Aku sekalian mau balikin buku milik senior yang aku pinjam kemarin.
Langit: Terserah kamu. Kamu share location alamat kampusmu ya?
Bintangku: Okeee ...
Langit hanya membaca pesan terakhir dari Bintang. Ia pun menyimpan ponselnya di meja nakas. Langit memilih untuk tidur karena besok ia harus menjemput Bintang
.
***
Semburat mentari bersinar terang. Langit juga sudah bersiap untuk menemui sang kekasih pujaannya.
Langit melihat Lenny sedang melakukan senam pagi. Ia pun menghampiri sang mama.
“Mau ke mana, Langit?” tanya Lenny setelah melihat anaknya sudah rapi.
Langit tersenyum. “Langit mau jemput Bintang, Ma. Langit mau kenalin Bintang sama Mama,” ujar Langit.
“Oh, ya sudah. Ajak Bintang ke sini. Biar dia yang memutuskan mau nikah sama kamu apa nggak. Kalau dia bilang mau, Mama sama Papa langsung datang ke rumah gadis itu untuk melamarnya menjadi istrimu.”
“Iya, Ma,” jawab Langit lesu.
“Ya sudah, kamu berangkat gih. Mama masih mau senam.”
Langit meraih tangan mamanya. Diciumnya tangan Lenny yang halus dengan tulus.
“Langit berangkat, Ma. Doakan, semoga Bintang bisa luluh.”
“Iya, hati-hati. Mama pasti mendoakan yang terbaik untuk kamu.”
***
Langit melajukan mobilnya sesuai arahan maps. Sampai pada akhirnya, ia berhenti di sebuah gedung yang luas. Berbagai mahasiswa pun berlalu lalang di sana.
Langit mengirim pesan untuk Bintang.
Langit: Aku sudah sampai.
Ting.
Bintangku: Iya, aku keluar.
Bintang celingukan mencari mobil Langit. Bintang tersenyum melihat Langit sudah berdiri sambil menyembunyikan kedua tangan di dalam saku celananya.
Tidak susah menemukan mobil Langit. Mobil dengan harga fantastis yang terlihat begitu mencolok.
Bintang menghampiri Langit sambil berlarian kecil. Tak sengaja ia menabrak seorang laki-laki yang berada di hadapannya.
“Woy, hati-hati dong, jalannya!” Maki perempuan yang berada di sebelah laki-laki yang tak sengaja Bintang tabrak. Sepertinya, perempuan itu adalah kekasihnya.
“Maaf, saya tidak sengaja.” Ujar Bintang sopan.
“Gak usah sok cantik, kamu. Jangan suka gatel jadi cewek. Apalagi caper sama pacar orang.” Perempuan itu semakin nyolot. Ia menuduh Bintang sedang mencari perhatian dengan kekasihnya. Ia belum tahu saja, bagaimana pesona kekasih Bintang. Mana mungkin Bintang mencari perhatian dengan seseorang yang pesonanya tidak ada seujung kukunya Langit? Sementara, Langit masih terdiam menyaksikan seberapa keras perempuan itu. Belum waktunya Langit bertindak.
“Mbak, maaf ya? kan saya sudah bilang, kalau saya tidak sengaja. Kenapa mbaknya jadi maki-maki saya ya?” Bintang berusaha tetap tenang.
“Ya. kamu caper sama pacar saya! Sok cantik banget, cih!”
Bintang tersenyum sinis. Semakin diladenin, pasti semakin menjadi. Bintang memandang Langit yang masih bersandar di mobil. Seperti mendapat kode dari Bintang, Langit pun berjalan menghampiri mereka.
“Maaf, Mbak. Kekasihnya lebih tampan. Jadi, ngapain kekasih saya caper sama pacar orang?” Sambil merangkul Bintang, Langit terkekeh.
Perempuan itu tampak bergeming.
“Yuk, sayang. Kita ke mobil,” ajak Langit.
“Permisi, Mbak. Kita duluan.” Bintang masih menatap perempuan itu kesal. Namun, ia berusaha untuk sabar.
Setelahnya, Langit dan Bintang pun berlalu.
Di dalam mobil, Bintang mengoceh tidak jelas. “Ih, kesel banget sama Mbaknya. Bisa-bisanya aku dituduh perempuan gatel. Pengen aku solasi tau nggakgak, itu mulutnya. Biar bisa dijaga bicaranya!”
Langit terkekeh. “Udah, ngomel mulu.”
Bintang mencebikkan bibirnya. "Kan kesel!"
Langit memandang Bintang yang masih manyun. Sesekali, ia melirik ke arah depan, karena dirinya sedang berkendara.
“Bintang, ternyata kamu lebih cantik aslinya ya?” puji Langit pada gadisnya.
Bintang melirik Langit. “Apa sih, Om? Kamu gak usah gombal!” ketus Bintang.
“Apaan sih, kamu. Orang jujur disalahin,” sewot Langit.
Bintang diam. Ia kemudian menoleh pada Langit. “Om, kenapa kamu beneran nekad buat temuin aku sama mama kamu? Kamu tahu sendiri kan resikonya gimana?”
Langit tersenyum. Ia menarik tangan Bintang di atas pangkuannya. Jari jemarinya ia tautkan di jemari mungil milik Bintang. Digenggamnya tangan itu erat-erat.
“Bintang, aku pernah bilang ‘kan sama kamu? Kalau aku udah serius menjalani hubungan, apapun akan kuberikan. Sesulit apapun akan kuperjuangkan. Kita belum mencoba, dan kita ngak akan tahu bagaimana hasilnya, kalau kita tidak mencoba. Aku cuman nggak mau kamu ragu sama aku. Aku nggak mau kamu bertanya-tanya perihal keseriusanku padamu,” ujar Langit meyakinkan Bintang.
Mendengar penjelasan Langit, Bintang pun terdiam. Dalam hati kecilnya, ia ragu. Bintang tidak yakin kalau mamanya Langit akan menerima dirinya.
Hening mulai menyelimuti keadaan.
Langit kembali membuka obrolan. “Bintang,” panggil Langit.
Bintang menjawab “Dalem,”
Masih dengan memainkan tangan Bintang dengan satu tangannya, Langit melirik gadis itu sekilas. “Kamu dulu ‘kan pernah bilang ke aku, kalau kamu mau main ke pantai. Nanti, sebelum ketemu sama Mama, aku mau ajak kamu ke pantai,” ujar Langit.
Bintang menggigit bibir bawahnya. “Hemmm ... pengen sih, tapi aku pernah bilang ‘kan sama kamu, aku nggak bakalan dapet izin pergi jauh kalau sendirian.” Bintang menghembuskan napas beratnya.
“Ya ‘kan ada aku, Bintang. Makanya aku pengen ketemu sama Mbak kamu, aku minta izin sama Beliau buat ajak kamu main ke pantai. Kita camping di sana. Nginep di tenda. Kalau cuman sehari doang ‘kan capek di jalannya. Apalagi tempatmu jauh sama pantai. Aku janji bakalan jagain kamu, dan gak akan berani macem-macem sama kamu.”
Bintang manyun sambil menatap Langit sendu. “Kamu yakin bakal diizinin?”
Langit mengacak gemas rambut Bintang. “Ya, aku juga nggak tahu, Bintang. Tapi kalau nggak dicoba ya mana kita tahu, bakal diizinin apa enggak,” ujar Langit menahan kesal pada gadisnya.
Bintang memang selalu begitu. Ia terlalu ketakutan dengan ekspetasinya sendiri. Berandai memang boleh, tapi jangan jadikan itu sebagai suatu ketakutan.
“Ya sudah, kita coba,” ujar Bintang pasrah.
Suasana kembali hening. Sungguh, Langit tidak suka dengan kecanggungan ini. mulutnya sudah gatal untuk mengobrol dengan Bintang lebih lama. Ia begitu merindukan Bintangnya yang bawel, yang usil dan ngeselin. “Rumah kamu masih jauh, Bintang? Kok aku lupa ya?” tanya Langit untuk memecah keheningan yang membunuh.
“Nggak, bentar lagi nyampek,” jawab Bintang sekenannya.
“Cuek banget jawabnya.” ujar Langit tak suka.
“Sariawan,” singkat Bintang.
“Mana, coba lihat?” tanya Langit tak percaya.
“Nggak mau! Entar kena cium. Kamu kan Om-Om m***m!” ledek Bintang.
Langit terlihat sewot. “Kamu pikir, aku cowok apaan?” sangkal Langit.
“Ya, emang nyatanya gitu?” Bintang tetap kukuh.
Langit menatap Bintang sinis. “Kalau aku emang gitu, udah aku bawa kamu ke hotel dari tadi!” kesal Langit.
“Hehehe ... iya deh, percaya.”
Langit menghela napas.
“Itu depan ada gang, masuk, lurus sampai mentok, terus belok kiri,” instruksi Bintang.
“Udah tau!” ketus Langit.
“Leh, tadi nanya,” protes Bintang.
“Ya ‘kan udah ingat,” sangkal Langit.
"Sabar Bintang, sabar!"
Tepat di depan rumah Bintang, Langit menghentikan mobilnya.
“Yuk, turun,” ajak Bintang.
Bintang melangkah masuk terlebih dahulu, setelahnya diikuti Langit dari belakang.
“Assalamu’alaikum,” ucap Bintang memberi salam.
“Wa’alaikumussalam,” jawab seseorang dari dalam.
Terlihat, Feby keluar bersama Rensia, anaknya. Feby adalah kakak perempuan dari Bintang.
Feby mempersilakan Langit untuk duduk di kursi ruang tamu. Langit pun duduk di kursi, diikuti Bintang di sebelahnya. Feby juga ikut duduk setelah menyuguhkan beberapa gelas air mineral yang ditaruh di atas meja.
“Silakan diminum,”ucap Feby pada Langit. Langit terlihat salah tingkah.
“Terima kasih, Mbak,” jawab Langit sopan.
Feby tersenyum. “Kalau boleh tahu, Mas ini siapanya Bintang ya? Maaf, kalau saya sedikit lancang, soalnya, saya tahu betul siapa adik saya. Sekalipun, dia tidak pernah berani mengajak teman laki-lakinya bertamu di rumah sendirian. Kalaupun ada teman cowok yang main, pasti datangnya selalu rame-rame. Apa Mas ini teman spesialnya Bintang?”
Baik Bintang maupun Langit sama-sama salah tingkah. Tidak ada satu pun dari mereka yang berniat menjelaskan.
Namun, mau tidak mau Langit harus menjelaskan semuanya. Dirinya laki-laki. Masak begini saja mentalnya sudah menciut?
Langit membetulkan posisi duduknya.
“Mohon maaf, Mbak, kalau kedatangan saya mengganggu kenyamanannya. Perkenalkan, nama saya Langit Aldebaran Putra. Saya temannya Bintang, tapi kalau Bintang bersedia, saya mau Bintang menjadi teman hidup dan menjadi ibu dari anak-anak saya. Untuk saat ini, hanya itu yang bisa saya sampaikan, saya pun masih menunggu jawaban dari Bintang. Kalau diizinkan, saya juga meminta izin untuk membawa Bintang mengenal lebih jauh keluarga saya. Saya mau izin buat bawa Bintang bertemu dengan Mama dan Papa saya. Saya janji akan menjaga Bintang. Saya yang akan bertanggung jawab atas keselamatan Bintang,” ucap Langit begitu yakin.
Di sinilah, keseriusan Langit semakin terlihat. Bintang dibuat terpesona akan kesungguhan Langit padanya. Namun sedetik kemudian, Bintang sadar jika semuanya akan sulit karena adanya kata islam dan kristen.
“Hemmm ....” Feby tampak berpikir. “Baiklah, terserah Bintang saja. Saya yakin, Bintang tahu yang terbaik untuk dirinya. Kalau kamu mau mengajak Bintang bertemu orang tuamu, ya silahkan, tapi ingat! Saya pegang kata-kata kamu. Bawa Bintang kembali dengan selamat tanpa terluka sedikit pun."
Langit tersenyum lega. “Baik, Mbak, saya janji,” ujarnya sungguh-sungguh.
“Boleh saya minta KTP kamu?” ujar Feby serius.
Tanpa pikir panjang, Langit menyerahkan kartu identitasnya itu. “Ini, Mbak.”
Feby menerima KTP Langit. “Oke, KTP kamu sebagai jaminan kalau terjadi sesuatu sama Bintang. Lumayan, bisa dijadikan jaminan buat cari pinjaman online,” celetuk Feby.
“Mbak, ih! Masak adeknya dijadiin jaminan?” rajuk Bintang.
Feby terkekeh. “Canda, Sayang. Mana mungkin, Mbak tega jadiin kamu sebagai jaminan? Udah, kamu siap-siap dulu gih. Katanya mau ketemu sama calon mertua? Pasti nginap kan? Jaga diri baik-baik. Jaga kehormatan kamu.”
Feby menasihati Bintang. Nakal boleh, suka keluyuran, boleh. Tapi, jangan sampai mau menyerahkan kehormatan berharga pada laki-laki mana pun sebelum laki-laki itu berani menyebut namamu di depan penghulu dan disahkan banyak saksi.
“Dan buat Langit, jangan berani-berani menyentuh apalagi menghilangkan kesucian adik saya, sebelum kalian sah.” Feby mempertegas ucapannya.
Langit mengangguk mantap. “Baik, Mbak. Saya berani berjanji, saya akan jaga Bintang, saya tidak akan berani merusaknya, karena saya begitu menyayanginya.”
“Bagus, semoga kamu amanah.” Feby mulai menaruh kepercayaannya pada Langit. Feby bisa melihat keseriusan dari setiap ucapan laki-laki itu.
“Pasti, Mbak.”
Feby menyerahkan KTP milik Langit. “Ini saya kembalikan ke kamu. Saya tidak butuh ini. Saya percaya kamu bisa menjaga Bintang dengan baik.”
Tiba-tiba Rensia menangis minta ke kamar. “Mama, bubuk,” rengeknya.
“Ya sudah, Langit. Saya tinggal ke dalam dulu. anak saya rewel,” ujar Feby pamit dan berlalu meninggalkan Langit dan Bintang berdua.
“Om, aku siap-siap dulu, ya? kamu tunggu di sini,” ucap Bintang ikut menyusul Feby masuk ke dalam.
“Iya, buruan gih, entar keburu siang,” jawab Langit.
"Siap!"
Saat Bintang ingin beranjak, Langit juga ikut berdiri.
Bintang mengernyit bingung. "Mau ke mana?"
"Ikut kamu."
"Belum halal!" tandas Bintang galak.
Langit menggaruk tengkuknya. "Hehe lupa."