11. Harga Diri

1717 Kata
~UPIK~ Karena aku berkunjung bertepatan dengan waktu makan malam keluarga ini, jadi papanya Daniyal mengundangku ke ruang makan untuk bergabung dengan beliau. Jantungku kembali berdebar tak menentu tapi aku memaksa diri ini untuk tenang dan tidak kelihatan nervous di depan Jinan, terutama papanya Daniyal.  “Dapurnya di mana?” bisikku bingung ketika Daniyal menarikkan kursi makan untukku. “Ngapain cari dapur?” “Bantu Jinan nyiapin makan malam.” “Apanya yang mau disiapin? Ini udah siap semua. Kita tinggal makan,” jawab Daniyal lalu memintaku untuk duduk. “Sebentar lagi juga Jinan datang.” Benar saja tak lama kemudian Jinan ikut bergabung bersama kami di meja makan. Aku tertegun melihat perempuan itu melayani suaminya dengan sangat baik. Dia terlihat sopan dan begitu menghormati suaminya. Mengingat usianya yang masih sangat muda, dia mampu melakukan perannya dengan baik. Aku mencoba mengingat di mana diriku saat seusia Jinan. “Kamu mau makan apa?” tanya Daniyal, menghentikan lamunanku yang sama sekali tidak memberi manfaat apa pun dalam kondisi seperti ini. Bagaimana bisa tiba-tiba aku terpaku pada cara papanya Daniyal menatap Jinan. Hangat dan penuh cinta. Seperti scene dua tokoh yang sedang kasmaran dalam drama-drama korea yang sering aku tonton.  NGACO!!! Aku segera memalingkan pandangannya melihat ke arah meja makan. Ada banyak menu masakan yang tersaji di atas meja. Tentu saja membuat siapapun yang tidak terbiasa menghadapi meja makan seperti ini akan terkejut dan bereaksi sama sepertiku.  “Aku nggak tahu kalau temannya Mas Dani-” “Upik...Panggil aja aku Upik.” “Oh, iya. Mbak Upik…” “Eh, kok…” Daniyal spontan tertawa melihat ekspresiku saat merespon ucapan Jinan. “Gini, Nan...Upik ini orang Padang. Di sana nggak ada Mbak. Adanya Uni.” “Memangnya nggak boleh Mbak?” tanya Jinan dengan polosnya.  Aku menggeleng cepat. “Bukan nggak boleh. Tapi mending jangan deh. Upik aja,” sanggahku lalu meminta Daniyal untuk berhenti bercanda. “Dulu di rumah ini ada asisten rumah tangga asalnya dari Padang. Tapi aku lupa daerah mana tepatnya. Dia di bagian dapur. Tapi sayang cuma sebentar kerja di sini. Katanya harus pulang kampung ibunya sakit. Masakannya enak, aku cocok tapi Daddy nggak cocok. Nggak kuat lihat minyak, santan sama pedasnya.” “Bener tuh. Aku juga kalau udah Upik masak pasti pesennya jangan pedes. Dan dia segampang itu jawab, ‘masakan bersantan kalau nggak pedes itu eneg’, dan besoknya aku mules karena nekat makan.” “Ih, apaan? Tapi kamu nagih gitu masakan aku,” protesku tidak terima pada pernyataan Daniyal.  “Ya karena memang enak, apalagi kamu yang masak. Nggak apa-apa, deh, meski besoknya mules,” balas Daniyal sambil menahan senyum. “Belum mulai makan kolesterol saya udah naik duluan kalau sudah lihat masakan semacam itu di meja makan,” celetuk papanya Daniyal, seolah sengaja melempar batang korek api ke atas percikan api yang sudah tercipta antara aku dan Daniyal. “Aku selalu menuruti apa pun pesanan masakan yang kamu mau. Aku ikut makan meski bukan seleraku. Awas aja, aku nggak mau masak-masak lagi buat kamu,” balasku sambil mencibir. Daniyal sadar kalau sedang menabuh genderang perang denganku. Dia lalu bergegas putar haluan menyalahkan papanya. “Itu karena Papa aja yang dasarnya udah punya bibit kolesterol,” sahut Daniyal, menatapku sambil menahan senyum. “Serius, Dan. Bagian belakang kepala Papa itu seperti ada beban satu kwintal, loh, kalau abis makan rendang.” “Rendang sekilo papa habisin sendirian kali, makanya sampai pusing gitu.” Ucapan Daniyal tak ayal membuat papanya tertawa diikuti oleh aku dan Jinan. Kami makan sambil ngobrol hal-hal yang masih ada hubungannya dengan aku.  “Kamu kenapa nggak lanjut ambil gelar doktor? Prestisnya lebih tinggi kalau dosen itu punya gelar doktor, apalagi dari luar negeri,” ujar Papanya Daniyal saat kami tengah membicarakan soal jenjang pendidikan terakhirku.  “Sebenarnya sudah ada rencana. Udah masuk resolusi dua tahun terakhir ini. Tapi makin ke sini makin sulit ngatur waktu. Harus milih mau fokus ngajar atau fokus studi.” “Kalau boleh tahu letak kesulitannya di mana sampai harus di hadapkan pada dua pilihan seperti itu?” “Ambil program doktor butuh biaya yang nggak sedikit. Saya cari pendapatan tambahan dengan menambah jam mengajar. Kalau jam mengajar saya bertambah, saya takut malah nggak fokus belajar.” Papanya Daniyal mengangguk paham menerima penjelasanku. “Kenapa nggak coba ambil beasiswa?” “Sudah coba. Tapi mungkin belum rejeki. Lagipula universitas yang saya mau agak susah menembus program beasiswa penuhnya. Dan kampus saya yang sekarang masih belum bisa memberi cuti penuh pada dosen yang ingin kuliah lanjutan. Nggak ada pilihan selain resign. Dan saya belum siap jobless demi kuliah S3.” “Kenapa harus resign? Kamu pengen kuliah di luar negeri?” Aku menggeleng. “Nggak juga, Om. Saya nggak pengen kuliah di luar negeri. Justru saya pengen kuliah di universitas negeri yang bonafit dan letaknya bukan di Surabaya.” Papanya Daniyal terdiam sejenak saat aku menyebutkan nama universitas negeri yang sangat ingin aku tuju selama ini. “Kalau kamu mau bisa ngobrol sama tantenya Dani soal beasiswa. Dia pasti akan membantu.” “Tantenya Dani?” “Iya. Adik perempuan saya. Namanya Symphony. Dia bertanggung jawab penuh atas yayasan pendidikan Elka Foundation.” “Oh,” jawabku singkat. Aku menoleh ke arah Daniya. Dan tatapan kami bertemu di satu titik. Aku lihat dari caranya menatapku sangat menunjukkan ada berbagai macam pertanyaan yang sedang menuntut jawaban secepatnya. Selanjutnya aku lebih pilih tidak terlalu ikut nimbrung saat Daniyal dan papanya sedang membicarakan soal perusahaan mereka di tengah dessert time. Sekitar pukul sembilan malam Daniyal mengajakku pamit dari rumah papanya.  “Kalau ada acara ke Jakarta lagi mampir ke sini, ya,” ucap Jinan saat melepasku di teras.  “Aku usahakan,” jawabku tanpa memberi janji-janji muluk seperti kampanye pemilu.  ***  ~DANIYAL~ Kami sedang dalam perjalanan dari rumah papa menuju hotel tempat Upik menginap selama di Jakarta. Gue terdiam seperti mengikuti kebisuan yang sedang digelar Upik. Perempuan yang malam ini terlihat lebih kalem bukan karena warna jilbabnya yang syahdu, tapi dia benar-benar menjadi Upik yang lebih kalem dari biasanya.  Ada banyak pertanyaan seputar obrolan Upik dengan papa yang pengen gue bahas saat ini. Namun pada saat bersamaan gue tahu dia sedang dalam mode nggak pengen membahas soal itu.  “Besok balik ke Surabaya jam berapa?” “Sorean.” “Udah dapat tiket pesawatnya?” “Udah booked tinggal bayar aja.” “Maskapai apa?” “Kayak yang kemarin aja. Kebetulan lagi promo.” “Ekonomi?” Upik hanya mengangguk.  “Kenapa nggak ambil business class aja?” Upik tertawa terkekeh-kekeh. “Cuma ke Surabaya ini, Dan. Nggak usah berlebihan gitu. Yang berlebihan itu nggak baik,” ucapnya santai. Gue berdecak. Tapi pandangan gue fokus menyetir sehingga Upik nggak terlalu bisa memerhatikan wajah kesal gue saat ini.  “Cuma ke Surabaya. Tapi kamu jetlag kemarin.” “Bukan jetlag. Cuma kaget aja.” “Bukan jetlag tapi kok berjam-jam. Apa susahnya tinggal bilang iya.” Tatapan gue tetap terarah ke jalanan. “Aku tahu kamu punya uang dan mampu beli tiket pesawat atau apa pun yang pengen kamu beli pakai uangmu sendiri. Tapi demi Tuhan, sama sekali nggak ada terlintas dalam pikiranku akan menilai kamu sebagai cewek matre hanya karena mau menerima uangku.” Gue melanjutkan ucapan yang sedetik kemudian baru gue sadari kalau sudah bicara dengan nada bicara sarkas. Gue melirik Upik, mencoba menerka ekspresinya. Gue kira dia bakal menjawab lebih sarkas ucapan gue. Namun dia hanya tersenyum tipis.  “Iya aku ngerti kok,” ucap Upik sambil mengusap bahu gue sambil tersenyum lebih melengkung.  Gue menghela napas panjang. Merasa sedikit bersalah ketika mendengar nada bicara Upik yang sama sekali nggak menunjukkan rasa kesal membalas kesarkasan gue.  “Maaf ya. Aku lepas kontrol,” ucap gue penuh rasa bersalah. “Nggak apa-apa, beneran. Jangan minta maaf gitu. Kamu nggak salah. Aku yang salah, karena sampai sekarang belum bisa menerima setiap hal yang ingin kamu berikan untuk aku.” “Aku tulus pada apa pun yang ingin aku berikan sama kamu.” “Aku tahu. Tanpa perlu kamu bilang, pun, aku bisa merasakan ketulusan kamu.” Gue mengulum senyum. Gitu aja udah bikin gue terharu. Dan tatapannya itu seperti mengirim mantra sihir yang mampu membuat gue lupa hal apa yang mendasari kesarkasan gue beberapa menit lalu.  “Jadi kenapa kamu tiba-tiba marah cuma gara-gara tiket pesawat?” tanya Upik mengingatkan. Gue nyengir. Membuat Upik ikut nyengir menirukan cengiran gue. “Aku kesel soal alasan kenapa nggak lanjut program doktor yang kamu sampaikan ke papa,” jawab gue.  “Karena aku kesulitan ngatur waktu?” “Lebih dari itu. Kamu ngomongin soal kesulitan biaya sampai harus menambah jam mengajar, kesannya seperti nggak ada aku yang akan bersedia memberi bantuan kapanpun kamu butuhkan. Harga diriku kocar-kacir kamu ngomong kayak gitu di depan papaku.” “Loh, salahnya di mana? Benar kan jawabanku? Kamu juga tahu sendiri aku orangnya apa adanya banget.” “Iya, tahu banget. Tapi kamu nggak mikirin perasaan aku. Kamu juga nggak ngomongin sama aku kalau program doktor sudah masuk resolusi kamu dua tahun terakhir.” “Ya udah, sekarang kamu udah tahu kan? Masih mau kesel sama aku?” “Udah berkurang, dikit.” Upik mengulum senyum mendengar jawabanku. “Gemes banget sih, kamu.” Upik tertawa geli sambil mengarahkan ponselnya ke arah gue. Dia mengambil gambar gue dengan kamera ponselnya tanpa permisi sebelum gue mulai menjalankan mobil setelah lampu lalu lintas menyala hijau.  “Aku bisa minta tolong nggak?”  Gue yang sedang fokus menyetir ingin menoleh sebenarnya untuk melihat ekspresi Upik saat mengucap kata tolong. Dari nada bicaranya dia pasti ingin meminta tolong untuk hal serius. “Tolong apa?” “Antar aku ketemu tante kamu. Tante Symphony.” “Ada penting apa kalau boleh tahu?”  “Mau ngobrolin soal beasiswa seperti yang disarankan papa kamu tadi.” “Boleh aja. Tapi nggak sekarang ya. Tante Syfo lagi ada problem rumit dalam rumah tangganya. Aku takut dia nanti akan merasa bersalah kalau nggak bisa membantu kamu sepenuhnya.” “Owh, okey. Mungkin lain kali,” jawab Upik penuh pengertian. “Makasih ya atas pengertiannya,” ujar gue bertepatan dengan mobil berhenti di dropzone hotel.  “Iya sama-sama. Kamu hati-hati nyetirnya ya. Kalau sudah sampai apartemen kamu, kabari aku.” “Pasti,” jawab gue. Kemudian melajukan mobil setelah melihat Upik melewati pintu kaca dan berjalan melewati lobi hotel menuju kamarnya.  ~~~  ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN