12. Nggak Nyaman

1714 Kata
~UPIK~ Saking tidak relanya Tita berpisah denganku, dia sampai menghubungi Daniyal untuk meminta izin supaya dia saja yang bertugas mengantarku ke bandara. Sebenarnya Daniyal juga tidak rela menyerahkan tugasnya begitu saja pada Tita. Tapi dia tidak sanggup mendengar rengekan Tita di telepon, akhirnya Daniyal menjawab oke bahkan menyerahkan waktunya untuk makan siang denganku sebelum menuju bandara.  Aku tahu Tita pasti sedang ingin mencuri waktu untuk menginterogasi soal hasil pertemuanku dengan orang tua Daniyal. Tita dan sifat keponya yang menyangkut soal aku memang tidak berkurang sampai detik ini. Dia yang selalu tak acuh pada kehidupan orang lain bahkan kehidupannya sendiri, menjadi penuh perhatian bila menyangkut diriku. Tak ingin mengulur waktu aku menceritakan pada Tita apa yang terjadi di malam aku mengunjungi rumah papanya Daniyal. “Bisa lo gambarkan gimana ibu sambungnya Daniyal?” tanya Tita penasaran.  “Muda, cantik, dan ramah,” jawabku setelah berpikir merangkum bagaimana sosok Jinan dalam tiga kata yang diminta oleh Tita.  “Kalau papanya?”  “Berwibawa, muda dan ramah.” “Itu ibu sambungnya umur berapa sih?” “Dua tahun lebih muda dari aku.” “Wew, muda banget ya. Trus lo panggil dia apa?”  “Nama aja. Gue panggil Tante nggak mau.” “Loh, kenapa nggak mau? Kan udah nikah trus udah punya anak. Semuda apa pun usianya ya, mau nggak mau dia harus mau dipanggil Tante. Gue aja udah dipanggil tante sama ponakan gue dari SMA. Mau protes? Ya, nggak bisa. Karena emang udah hierarkinya kayak gitu.” “Menurut aku juga gitu kan emang udah seharusnya dia mau dipanggil tante. Canggung banget panggil nama. Mana panggil Daniyal pakek Mas trus mau panggil aku Mbak. Nggak banget.” “Lo kesel banget kayaknya? Perkara panggilan aja udah nggak sejalan kayaknya nih.” Aku menarik napas panjang. Sebenarnya aku ingin menyampaikan uneg-uneg itu pada Daniyal. Namun aku khawatir dia tidak terima dan aku juga merasa itu hanya perkara sepele. Namun entah kenapa ketika Tita membahas aku jadi kepikiran untuk mengajukan protes.  “Berarti Daniyal punya adek sekitar usia 24 tahun ya? Wajar, sih, kalau waktu itu kita nyangka yang melahirkan istrinya. Lah, di kampung gue banyak yang seumuran Daniyal pada gendong anak.” “Kampung aku juga. Apalagi seumuran aku, anak-anaknya udah pada masuk TK.” Kami berdua lalu tertawa bersamaan.  “Daniyal deket banget kelihatannya sama adek kecilnya,” ujarku kemudian. “Cewek apa cowok?” “Cewek. Lucu banget. Ada mirip-miripnya sama Daniyal.” “Ya iyalah. Namanya juga adiknya. Lagian juga biar bagaimanapun itu tetap adik kandungnya Daniyal. Itu anak nanti gedenya kalau married trus bapaknya udah nggak ada, yang menikahkan tetap Daniyal,” ceramah Tita.  “Iya aku paham soal itu. Tapi tumben kamu bijak? Damar kasih kamu ajaran hidup apa?” Tita hanya balas tertawa pertanyaanku seputar suaminya. Selama aku di Jakarta belum pernah ketemu suaminya Tita. Selain karena jadwalku padat dan Tita tidak mau berbagi waktu, Damar juga sedang tidak ada di Jakarta beberapa hari ini.  “Kalau bokapnya Daniyal? Semuda apa?”  “Kalau ukuran bapak-bapak, sih, dia muda banget. Beda sepuluh tahunan sama ayahku. Kalau sama amak lebih tua lima tahun.” “Bokapnya Daniyal?” “Tua amakku lima tahun dari papanya Daniyal.” “Ah...i see.” “Tapi aku ngerasa risi kalau Daniyal lagi ngegodain adeknya itu saat posisi anak itu lagi digendong sama mamanya,” ujarku mengutarakan apa yang aku pendam selama beberapa jam terakhir pada Tita.  Tita sampai mengerutkan kening mendengar pernyataanku yang mungkin tak terduga menurutnya. “Loh, kenapa? Karena mamanya terlalu muda?” tanyanya heran. Aku menggeleng ragu. Berpikir ulang apa wajar aku harus mempunya rasa seperti ini sementara Daniyal sudah sangat menunjukkan kesungguhannya padaku. Tapi aku butuh orang untuk mendengar suara hatiku. Aku lelah menyembunyikan banyak hal dari orang lain, seperti yang aku lakukan ketika masih menjalin hubungan dengan Rama maupun Haikal. Aku ingin sekali ini saja menjadi pribadi yang terbuka dan lebih percaya pada orang lain. Apalagi yang ingin jadikan tempat berbagi ini adalah sahabatku sendiri.  “Karena ibu sambungnya Daniyal itu mantan pacarnya Daniyal,” ucapku ragu.  Reaksi Tita cuma membuka kedua bibirnya. Seperti hendak mengatakan sesuatu tapi dia mengurungkan niatnya itu. Aku tahu dia ingin mengumpat.  “Kok, bisa ya?” komentarnya setelah terdiam beberapa saat. Ibaratkan komputer otaknya masih loading selama beberapa detik.  “Daniyal itu pernah pacaran sama Jinan sebelum Jinan kenal sama papanya Daniyal. Intinya gitu.” “Jinan?” “Iya nama ibu sambungnya Daniyal kan, Jinan. Kamu ingat waktu Daniyal ngasih tumpangan ke kita? Kamu ikut dengar waktu Daniyal terima telepon di mobil.” “Lupa-lupa ingat gue. Yang gue ingat dia telepon soal ada yang melahirkan gitu, trus kita nyangkain kalau yang melahirkan itu istrinya.” Aku mengangguk, membenarkan jawaban Tita.  “Lo cemburu sama Jinan?”  “Nggak cemburu. Cuma risih. Pantesan mamanya Daniyal itu titip pesen waktu kita ketemu di mall.” “Pesen apa?” “Dia bilang supaya aku tetap mengawasi Daniyal dan Jinan. Aku disuruh nggak usah segan untuk negur Daniyal kalau mereka berdua kelihatan terlalu akrab.” “Memangnya alasannya apa ngasih warning seperti itu ke elo?” “Mungkin mamanya punya perasaan yang sama kayak aku. Karena mamanya juga tahu soal hubungan Daniyal sama Jinan di masa lalu. Dan mungkin saja beliau nggak pernah bisa suka sama Jinan karena merasa rumah tangganya hancur karena Jinan. ” “Tapi lo sendiri gimana? Udah terima atau masih mau mempermasalahkan soal itu?” “Nggak mau mempermasalahkan juga. Itu masa lalunya Daniyal dan aku sudah sangat menerimanya. Tapi gimana ya...kayak ada rasa kurang nyaman aja gitu. Nggak enak banget rasanya. Kayak ada yang mengganjal tapi aku nggak bisa menggambarkan lewat kata-kata.” “Ya mau gimana lagi dong. Itu resiko lo menjalin hubungan sama Daniyal. Kalau lo mau melanjutkan hubungan kalian, ya, lo harus terima dia dan keluarganya. Mau gimanapun kondisinya. Kalau lo nggak nyaman dan terpikir untuk ninggalin Daniyal karena rasa nggak nyaman yang lo bilang tadi itu, saran gue mending jaga jarak mulai sekarang. Setelah itu lo mundur secara teratur dari kehidupan Daniyal. Tapi pesen gue satu. Nggak ada kehidupan seseorang yang sempurna. Pasti ada aja sesuatu yang merusakk kesempurnaan kehidupan seseorang. Entah itu karena faktor internal maupun eksternal.” Aku terdiam selama beberapa saat. Berusaha menelaah kembali kata-kata dan saran yang disampaikan oleh Tita. Sepertinya aku terdiam terlalu lama sampai Tita menyentuh bahuku baru aku menarik diri dari lamunanku.  “Mikirin apa lo?” tanya Tita.  “Aku mikir gimana caranya menceritakan tentang keluarganya Daniyal sama orang tuaku,” ujarku sambil mendesah lesu.  “Ya lo cerita apa adanya aja. Jangan ada yang lo tutup-tutupin. Setelah itu kasih waktu buat orang tua lo untuk berpikir dan mempertimbangkan penilaiannya.” ***  ~DANIYAL~ Sebenarnya gue masih pengen menghabiskan waktu sama Upik. Tapi sahabatnya sampai menelepon gue untuk minta jadwal gue makan siang dan ngantar Upik ke bandara. Gue mempertimbangkan, kalau gue masih bisa ketemu Upik kapan saja setiap kali ke Surabaya. Sementara sahabatnya ini belum tentu setahun sekali bisa bertemu. Jadi gue mengalah. Kebetulan juga gue lagi banyak kerjaan di kantor Elkafood. Saat gue sedang mengamati pergerakan trend penjualan produk Elkafood dalam kurun waktu dua tahun terakhir, ponsel di atas meja kerja gue bergetar. Ada nama kontak nyokap nongol di layar ponsel gue.  “Ya, Ma?” jawab gue setelah menerima panggilan telepon dari nyokap. “Sibuk?” “Cukup sibuk. Ada apa?” “Lagi sama pacar kamu? Dia balik ke Surabaya siang ini kan?”  “Dani lagi di kantornya Papa. Upik masih nanti sorean baliknya.” “Kantor kamu juga itu. Kamu nggak ngantar dia ke bandara?” “Dia minta sama temannya aja.” “Oh... Kamu sudah makan siang, Dani?” “Sudah, Ma.” “Nanti pulang kantor mampir apartemen Mama ya. Mama pengen makan malam sama kamu. Sebenarnya pengen makan malam sama pacar kamu juga. Masa cuma rumah papa kamu aja yang dikunjungi, rumah Mama nggak?” protes nyokap. “Lain kali Dani ajak Upik berkunjung ke apartemen mama. Ngomong-ngomong Mama ngajak Dani makan malam, memangnya Mama masak?” “Beli aja. Daripada kamu kasih komentar nyakitin kayak waktu itu. Masa kamu bilang masakan Mama kayak makanan alien. Memangnya kamu tahu makanannya alien kayak apa?” Gue tertawa. Ternyata Mama masih kesal gue kasih komentar soal hasil masakannya beberapa waktu lalu. “Dani kan jujur, Ma. Daripada dibilang enak tapi Mama nggak tahu kesalahan dari masakan Mama gimana?” “Iya, iya. Mama ngerti. Mama tetap belajar masak kok, demi kamu. Tapi daripada kamu nggak enak makan mending beli aja.” Gue tertawa sekali lagi. “Oke, Ma. Nanti Dani kabari ya jam berapa on the way dari kantor,” ujar gue akhirnya.  “Emmhh...Dani?”  “Ya, Ma?”  “First impression pacar kamu gimana waktu ketemu papa kamu dan perempuan itu?”  Gue menarik napas panjang. Pertanyaan ini yang gue tunggu-tunggu. Mama pasti ingin tahu reaksi Upik saat bertemu Jinan. Dan gue nggak mau membahas soal itu dengan nyokap. “Pacar kamu nggak komen apa-apa gitu? Dia kan tahu soal hubungan kamu sama perempuan itu. Mama khawatir dia akan mempermasalahkan soal itu, Dani.”  “Nggak komen apa-apa, sih, Ma. Upik juga nggak mempermasalahkan soal itu. Mama tenang aja ya.” “Syukurlah kalau gitu. Mama harap perempuan itu nggak mempersulit kelanjutan hubungan kamu dan pacar kamu ke depannya.” “Nggak bakal, Ma. Udah ya, Mama jangan overthinking terus sama Jinan. Itu bikin Mama juga nggak ngerasa nyaman, kan?” Gue dengar nyokap menarik napas dan tiba-tiba samar-samar gue dengar suara seperti terisak. Kayaknya nyokap gue mau nangis.  “Kamu nggak ngerti perasaan Mama.” “Dani sudah berusaha ngertiin, kok. Makanya Dani ngomong gitu supaya Mama nggak terus-terusan dibayangin rasa benci. Biar Mama lebih tenang menjalani hidup. First move-nya Mama harus bisa melupakan.” “Mama sudah melupakan. Tapi Mama masih susah untuk memaafkan.” Gue menarik napas panjang. Percuma membahas soal ini dengan nyokap apalagi di telepon seperti ini. Sama seperti sebelum-sebelumnya, bukannya mengobati luka malah sama aja dengan mengorek kembali luka yang sudah hampir sembuh. Dan gue cuma bisa menjadi pendengar yang baik atas semua keluh kesah nyokap gue.  “Dani balik kerja dulu, ya, Ma. Nanti Dani usahakan nggak terlalu malam mampir ke apartemen Mama.” “Oke. Selamat bekerja anak Mama,” ujar nyokap kemudian mematikan sambungan teleponnya.  ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN