13. Nggak Ada Drama LDR

1716 Kata
~UPIK~ Hello, LDR! Akhirnya aku kembali bertemu dengan istilah itu lagi. Bedanya kalau dulu LDR serasa beda dunia saking jauh dan nggak pernah saling berkabar. Kalau sekarang LDR serasa nggak LDR saking intens-nya komunikasi antara aku dan Daniyal. Kami menggunakan sarana komunikasi dalam bentuk apa pun untuk tetap bisa saling berkomunikasi satu sama lain. Telepon dan chat menjadi sebuah rutinitas yang tak boleh terlewatkan. Bahkan kami bisa melakukan video call dimanapun dan kapanpun aku menginginkan. Kecuali dalam kondisi Daniyal benar-benar sedang tidak bisa diganggu. Contohnya saat sedang melakukan pertemuan penting. Sedangkan aku tidak bisa diganggu tentu saja saat sedang berada di dalam kelas dan sedang mengajar tentunya. Daniyal bisa suka tiba-tiba saja meminta melakukan panggilan video bila tahu aku sedang tidak sibuk. Bahkan panggilan video kami tetap dalam kondisi on sementara pemiliknya sedang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Bahkan ketika aku sedang menonton drama korea di laptop, Daniyal tidak segan menemaniku melalui panggilan video dan ikut menonton juga. Meski dia berisik saat menonton, aku sama sekali tidak merasa terganggu. Setiap bertanya aku akan menjawabnya dengan senang hati. Daniyal memang seperti itu kalau sedang menonton. Tidak di mana-mana. Bahkan saat berada di gedung bioskop sekalipun. Dia akan berbisik untuk menanyakan nama tokohnya, kenapa tokohnya bisa begini bisa begitu yang ujung-ujungnya dia tahu jalan cerita film itu dari penjelasanku. Tapi entah kenapa aku sama sekali tidak terganggu dengan ocehan konyolnya yang terkadang cukup mengganggu konsentrasi menonton. Mungkin karena dia tidak pernah menghina atau menunjukkan ketidak sukaan pada suatu film secara blak-blakan. Aku menandainya soal kebiasaannya saat menonton. Dia tidak banyak mengoceh jika filmnya itu membuatnya tertarik. Namun sebaliknya dia akan mengoceh sepanjang film itu berputar bila filmnya dirasa kurang menarik menurutnya. Pernah aku bertanya seperti ini pada Daniyal. “Kamu kenapa lebih suka bertanya sama aku daripada menonton sendiri secara langsung?” tanyaku waktu itu. “Penjelasan kamu lebih menarik daripada film itu sendiri,” jawab Daniyal dengan santainya. “Jadi kamu mau menonton film apa dengar penjelasan dari aku?” “Dua-duanya. Tapi kalau disuruh milih lebih seneng denger penjelasan kamu. Jadi pengen kuliah lagi tapi selama kuliah semua mata kuliah dosennya kamu.” “Ngaco! Mana ada kayak gitu? Nggak ada, nggak ada,” jawabku waktu itu sambil menahan tawa mendengar angan-angan Daniyal yang tidak masuk akal itu. Hal-hal kecil seperti itu yang membuat aku merindukan kehadiran Daniyal secara langsung bukan melihat visualnya dari panggilan video. Namun aku tidak berani menyampaikan kerinduanku secara langsung. Karena yang ada Daniyal akan nekat terbang dari Jakarta ke Surabaya kapanpun setelah aku bilang kangen sama dia. Tidak hanya itu saja tingkah Daniyal yang terkadang random dan penuh kejutan membuatku merasa dia tidak sedang berada jauh dariku. Contohnya dia tiba-tiba mengirim Starbucks non coffee saat tahu aku sedang di kantor dan butuh sesuatu yang manis untuk memperbaiki suasana hatiku yang kacau sebab persoalan kampus yang menyita waktuku. Beberapa waktu lalu dia juga pernah mengirim makanan ke kosan saat aku sedang kurang sehat sementara dia tidak bisa ke Surabaya karena sesuatu dan lain hal yang membuatnya tidak bisa meninggalkan Jakarta. Aku menikmati hubungan jarak jauh ini. Sama sekali tidak terlintas pikiran-pikiran buruk soal momok LDR yang sering digaungkan oleh orang-orang yang mungkin saja gagal menjalani LDR. Ketika orang lain merasa keberatan untuk melaporkan apa pun jenis kegiatannya pada pasangan, hal itu sepertinya tidak terjadi pada aku dan Daniyal. Kami merasa senang untuk melaporkan apa pun yang hendak kami lakukan hari itu dan akan membahas apa yang terjadi di hari itu saat malam hari, entah itu melalui telepon ataupun panggilan video. Kami sama sekali tidak merasa keberatan melakukannya. Hal sekecil apa pun selalu menjadi topik pembahasan kami. Mungkin hal itu juga yang membuat aku dan Daniyal tidak pernah kehabisan topik pembicaraan di telepon. Ketika berkunjung ke Surabaya ada saja tingkah random Daniyal. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah terpikirkan oleh orang lain untuk melakukan itu. Seperti beberapa waktu lalu dia pernah menipuku saat mengajakku ke pusat perbelanjaan hanya dengan mengenakan piyama tidur. Dan kini kerandoman itu terjadi kembali. Suatu sore Daniyal menelepon saat aku baru saja keluar dari kelas. Laki-laki itu bahkan sudah begitu hapal luar kepala jadwal dan durasi mengajarku setiap harinya. “Aku di depan,” ucapnya setelah membalas salam dariku. “Di depan mana?” tanyaku sambil berjalan menuju ruang dosen. “Di gerbang tiga. Ke sini ya? Atau aku nyusul kamu ke ruang dosen?” “Kamu lagi di Surabaya?” “Udah di kampus, Sayang. Cepat ya. Aku lapar. Baru sempat makan tadi pagi. Mau launch di bandara sambil nunggu jadwal penerbangan males banget.” “Kenapa nggak beli jet pribadi aja sekalian?” candaku. Daniyal tertawa kecil. “Maunya gitu. Tapi males ngurusi perizinannya,” jawabnya, kemudian batuk ringan. “Kamu sakit?” tanyaku agak khawatir karena dia tiba-tiba batuk. “Nggak. Cepat dikit ya,” ujarnya lalu mematikan sambungan telepon. Aku bergegas membereskan mejaku. Memasukkan laptop dan barang-barang pribadi lainnya ke dalam ransel lalu berpamitan pada dosen lainnya yang kebetulan masih bertahan di kampus dengan urusan masing-masing. “Tumben buru-buru, Bu?” tegur salah satu dosen saat melintas di depan mejanya. “Iya, udah beres ngajar. Sekarang mau istirahat. Kalau masih stay di sini, ada aja hal random yang bikin saya pulang lebih lama lagi,” jawabku sambil tertawa kecil. “Benar juga. Ya udah, hati-hati di jalan ya.” “Iya, terima kasih.” Lalu aku melangkah ringan menuju ke tempat Daniyal sedang menungguku. Benar saja setelah berjalan melewati sebuah koridor yang cukup sepi aku bisa melihat mobil Daniyal dari arahku saat ini. Aku tersenyum dan kemudian mempercepat langkahku mengingat laki-laki itu tadi mengatakan sedang lapar karena baru makan sekali sarapan tadi pagi. Daniyal pasti melihat kedatanganku saat tiba-tiba saja kaca jendela bagian kemudian terbuka ketika langkahku semakin dekat ke arah mobil. Dia menyambut kedatanganku dengan smile eyes-nya yang menggemaskan. Dia meraih tas ranselku setelah aku duduk di bangku penumpang lalu meletakkannya secara hati-hati di belakang bangku yang sedang aku duduki karena tahu isinya adalah laptop. Aku lebih suka dia membantuku melakukan hal remeh seperti ini ketimbang repot-repot berlari kecil keluar dari mobil lalu membukakan pintu mobil untukku. Terlalu berlebihan. Di sinilah kami berada saat ini. Di sebuah restoran makanan cepat saji yang paling cepat dijangkau untuk memenuhi tuntutan perut Daniyal yang sepertinya sudah sangat lapar. Setelah Daniyal memarkir mobilnya kami berdua berjalan beriringan memasuki restoran cepat saji yang cukup ramai sore ini. “Kamu mau makan apa?” tanyaku berjalan menuju ke tempat antrean pemesanan. “Samain aja. Biar aku yang antre,” jawab Daniyal mendekat ke arahku. “Aku aja. Kamu cari tempat duduk aja soalnya mau rame ini. Nanti nggak kebagian tempat duduk,” balasku. Daniyal mengangkat sebelah alis, tetapi akhirnya dia mengalah. “Oke, aku cari tempat duduk dulu. Nanti setelah aku tandain aku ke sini lagi,” ujarnya lalu menyingkir dari hadapanku. Benar saja. Saat aku masih berbaris di belakang tiga orang yang sedang mengantre di depanku, Daniyal tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Daniyal sibuk membaca menu di atas counter, sementara aku terus menatapnya. “Aku ganteng banget ya? Sampai kamu ngelihat wajahku gitu banget.” Daniyal ternyata menyadari kalau aku menatapnya selama beberapa detik. Dia mengalihkan tatapannya dari papan menu ke arahku. “Aku penasaran hal random apa yang kamu lakukan untuk menandai tempat duduk kita,” jawabku jujur. “Jangan bilang kamu ngasih tulisan di atas meja ‘ini mejanya UPIK dan DANI’ seperti waktu itu.” Daniyal tertawa kecil, yang sukses membuat beberapa orang di sekitar kami berbisik dan saling melempar kode melalui senyum dan tatapan mereka. Rata-rata yang melakukan hal itu adalah perempuan. Aku paham dan sama sekali tidak merasa tersinggung. Itu hal wajar dilakukan oleh perempuan ketika melihat cowok dengan tampang jauh di atas rata-rata. Aku tiba-tiba teringat obrolanku dengan Tita beberapa waktu lalu. “Lo baik-baik jagain cowok lo yang lebih pantes jadi model Calvin Klein ketimbang jadi pemilik perusahaan startup.” “Ciye, penasaran,” ujar Daniyal. Aku maju selangkah ketika antrean di depanku bergerak lalu kemudian melihat ke arah Daniyal yang juga turut mengikuti langkahku. “Jangan berbuat hal yang aneh-aneh di tempat umum, Daniyal.” Daniyal menatapku. Bentuk matanya tidak terlalu besar serta memiliki kantung mata yang justru membuat bentuk mata itu terlihat sendu dan menenangkan dengan smile eyes yang menyempurnakan bentuk wajahnya. “Kita lihat saja nanti.” Aku hanya balas dengan menyeringai jawaban penuh misteri itu. Setelah mendapatkan pesanan makanan yang kami inginkan, Daniyal membawa nampan yang berisi penuh makanan dan minuman pesanan kami. Aku mengekori langkah Daniyal padahal seharusnya aku membasuh tanganku dulu di toilet, karena penasaran apa yang dilakukan oleh Daniyal pada meja yang akan kami gunakan untuk makan. Aku ingin tertawa dan menjitak kepala Daniyal saat melihat ada kartu tanda pengenal milik Daniyal di atas meja. Aku menatap Daniyal. Sementara laki-laki itu hanya tersenyum cuek sambil meletakkan nampan di atas meja lalu menarikkan kursi untukku dan dirinya. Aku lalu menggeleng dan meninggalkan Daniyal untuk melakukan apa yang hendak aku lakukan setelah memesan tadi. “Ada-ada aja kamu,” ujarku sambil menduduki kursi di hadapan Daniyal. “Mau bikin tulisan kayak waktu itu. Tapi nggak ada kertas dan bolpoin.” Aku meringis membayangkan hal itu dilakukan kembali oleh Daniyal. “Kalau KTP kamu hilang gimana?” “Nggak bakal,” jawabnya tenang. “Kenapa nggak sekalian ninggalin dompet kamu aja.” “Maunya gitu. Tapi waswas aja,” jawabnya sambil tertawa terkekeh-kekeh. Aku hanya menggeleng lalu membiarkan Daniyal pergi untuk mencuci tangannya dan mulai menikmati makanan setelah Daniyal kembali ke kursinya. “Tadi kamu dari bandara langsung ke kampus?” tanyaku di sela acara makan kami. “Enggak. Tadi dari bandara aku ke kantor dulu. Ada yang harus aku periksa setelah itu baru ke kampus.” “Berapa lama di Surabaya?” tanyaku lagi. Daiyal tersenyum lembut sambil menatapku. “Kamu maunya aku berapa lama?” “Serius, ih.” “Beribu rius ini.” “Sampai weekend?” “Weekend ini apa weekend minggu depan?” “Weekend inilah. Weekend minggu depan, ya, masih lama.” Daniyal mencibir. “Padahal aku ngarepinnya kamu bilang sampai weekend minggu depan,” jawabnya pura-pura lesu. Aku tertawa melihat reaksi dan ekspresi Daniyal. “Ada film baru tayang perdana di XXI hari Sabtu nanti,” ucapku kemudian. “Mau nonton?” tanya Daniyal. Aku mengangguk antusias. “Oke,” jawabnya. Seperti dugaanku dia memang tidak pernah bisa menolak ajakanku. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN