14. CEO

1850 Kata
~DANIYAL~ Jangan lupa bahagia. Kalimat itu memang terkesan sangat sederhana, sesederhana kebahagiaan yang gue rasa pagi ini. Bahagia versi gue pagi ini perjalanan dari apartemen menuju kantor terbilang lebih lancar dari pada pagi-pagi sebelumnya. Perjalanan yang biasanya gue tempuh selama satu jam bahkan lebih. But not for this morning. Mengambil kalimat yang sering diucapkan Upik, gue cuma mau bilang nikmat Tuhan mana lagi yang akan kau dustakan saat gue cukup menempuh waktu kurang dari satu jam untuk sampai kantor. Ngomongin soal kekasih pujaan hati gue itu, sebenarnya gue punya planning saat pertama nembak Upik di Bromo tahun lalu, bahwa tahun ini hubungan kami bisa selangkah lebih maju. Minimal hubungan kami terikat sebagai tunangan. Namun karena kesibukan kami yang seolah datang silih berganti membuat kami jadi sama-sama tidak bisa menemukan momen yang pas untuk saling berkunjung ke rumah orang tua masing-masing. Saat Upik berkunjung ke Jakarta sekaligus ke rumah bokap, gue itu sudah ada rencana mau ikut dia pulang ke Padang. Namun ternyata sehari sebelum dia berangkat ke Jakarta semua jadwalnya harus reschedule karena banyak hal yang harus diselesaikan sepulang seminar. Dan gue dituntut lebih bersabar lagi untuk mengenal keluarga Upik lebih jauh. Meski secara hitam di atas putih gue sebagai CEO Elka Group, tapi karyawan yang berada di bawah Elka Group nggak ada yang tahu soal peran gue di perusahaan. Gue bergerak di balik layar karena memang gue sama sekali nggak ada rencana stay di perusahaan yang nggak sesuai dengan passion gue. Yang tahu soal gue hanya orang-orang yang berada di kursi direksi saja. Sementara di bawah itu mereka tahunya Om Aries yang menggerakkan laju perusahaan sampai perusahaan yang awalnya sempat oleng menjadi mulai stabil. Gue berusaha membantu dia untuk memperbaiki image-nya di depan bokap. Jujur gue kasihan sama laki-laki itu setiap kali bokap membicarakan keburukannya. Gue menempatkan diri gue di posisi dia. Maka dari itu ketika dia memohon kerja sama gue untuk membantunya memperbaiki Elkafood, gue sama sekali nggak merasa keberatan. Gue berusaha membantu semaksimal mungkin bahkan tanpa perlu ikut campur urusan rumah tangga dia dengan tante gue. Harapan gue cuma satu, dia bisa memperlakukan tante gue lebih baik lagi setelah mendapatkan bantuan dukungan dari gue.  Di lantai dasar Elka tower gue sekarang. Mood banget pagi ini melihat para pegawai dengan setelan rapi tak ketinggalan lanyard yang menggantung di leher, sedang berjejer rapi mengantre di depan pintu lift hendak menuju ke lantai masing-masing. Gue mengambil gambar mereka dengan kamera ponsel lalu mengirimkannya pada Upik.  “Budaks korporat,” tulis gue di pesan yang gue kirim bersama foto tadi.  Upik hanya mengirim stiker idol kpop favoritnya sedang tertawa lebar. Membuat gue mengulum senyum saat melihat stiker konyol tersebut.  Gue menilik penampilan gue sendiri. Agak kasual sebenarnya kalau dipakai ngantor di gedung Elka tower. Di saat semua semua orang memakai setelan jas lengkap dengan pantofel mengkilat. Sementara gue sebuah kemeja warna hitam motif salur putih, celana bahan dan sneakers. Lupakan outfit gue pagi ini. Yang terpenting itu hasil kerjanya. Penampilan itu bisa disesuaikan dengan waktu dan tempatnya.  “Daniyal?” Seseorang menyebut nama gue dan membuat gue mengangkat wajah dari layar handphone begitu pintu lift terbuka di lantai 17 diikuti oleh sosok yang agak asing di mata gue sedang berdiri di depan lift. Tiba-tiba perempuan itu memasuki lift yang tadinya berisi sekitar 15 orang kini hanya tinggal aku dan dua orang karyawan lagi yang kemudian turun di lantai 17.  Pagi ini gue sengaja mengambil lift karyawan karena ingin tahu rasanya berdesakan saat hendak masuk lift. Gue pengen tahu alasan mereka kenapa nggak datang lebih awal dan lebih memilih berebut bahkan berdesakan. Kebetulan juga gue ada meeting bersama divisi pemasaran Elkafood untuk membahas strategi mereka dalam mencapai rekor penjualan produk terbaru dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Seperti yang pernah gue bilang juga sama bokap, gue nggak pengen ada satupun karyawan Elkafood yang tahu tentang gue di perusahaan ini. Jadi gue cukup kaget ketika ada perempuan yang nggak gue kenal tapi tahu nama gue.  Senyum canggung gue otomatis mengembang. “Iya betul. Siapa?” tanya gue. Dalam hati gue bersyukur karena kini hanya tertinggal gue, dan perempuan itu di dalam lift. Perempuan itu tersenyum sambil sedikit mencibir. “Lupa sama aku? Samantha,” jawabnya dengan aksen bahasa Indonesia yang masih kaku untuk ukuran orang Indonesia pada umumnya.  “Are you serious? Samantha?” tanyaku cukup kaget. “Yes, i am. Samantha yang lebih kamu suka panggil Santa padahal aku tidak punya brewok seperti santa claus,” kelakar perempuan itu.  Gue mengangguk paham. Sebagai tanda hormat gue menyodorkan tangan untuk memberi salam pada Samantha. Benar dia menerima sambutan tangan gue, tapi gue menolak saat dia hendak melakukan cipika cipiki dengan gue.  “Kamu kerja di gedung ini juga, Daniyal?” tanya Samantha. Gue mengangguk yakin. “Divisi apa? Aku juga kerja di sini baru tiga bulan. Masih masa probation. You too, or?” Gue menggaruk tengkuk. Mencari divisi paling tepat yang sedang digambarkan oleh penampilan gue saat ini yang bukan budaks korporat banget seperti yang gue bilang tadi pada Upik. Penampilan gue kayak orang mau jalan ke mall lebih tepatnya.  “Divisi pemasaran,” jawab gue asal.  “Mau meeting di lantai 20 ya?” tanya Samantha. “Aku dengar-dengar katanya CEO mau ikut bergabung meeting.” Gue mengangguk. Bertepatan dengan lift berhenti di lantai dua puluh. “Kamu mau ke lantai 20 juga?” tanya gue saat melihat Samantha turut mengikuti gue keluar dari lift.  Samantha menahan tangan gue. “Aku sebenarnya mau ke lantai 19. Tapi karena ingin mengobrol dengan kamu jadi aku melewati lantai itu,” jawab Samantha.  “Oh, gitu. Tapi kita nggak bisa ngobrol lebih lama lagi karena aku sedang buru-buru. Meetingnya mau dimulai sebentar lagi.” “It’s okey. Simpan contact person aku ya,” ujar Samantra lalu mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam lanyard-nya, yang kutebak adalah miliknya. “Good luck, Daniyal. Kalau sempat hubungi aku ya,” lanjutnya sebelum kami berpisah. Gue ke ruang meeting sementara Samantha memasuki lift yang sudah terbuka pintu.  *** ~UPIK~ Aku melirik jam di layar laptop yang menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit. Masih ada waktu kurang lebih 45 menit untuk mengajar di jam berikutnya. Aku bisa menggunakannya untuk istirahat makan siang. Saat aku membuka aplikasi chat dan berniat bertanya di group chat dosen-dosen seangkatanku adakah yang mau menemaniku makan siang, sebuah notifikasi pesan singkat dari Daniyal masuk menunda aktivitasku. Daniyal: Pacarku udah makan siang? Aku mengulum senyum membaca pesan singkat sederhana itu. Padahal dia biasa mengirim pesan bernada seperti itu. Namun entah kenapa sampai detik ini masih sukses membuatku tersenyum tersipu bila sedang tidak berada di depan orangnya. Sedangkan bila berada di depan Daniyal, aku justru menunjukkan sikap biasa saja. Nggak yang tersipu malu seperti anak remaja sedang kasmaran sedang mendapat rayuan maut dari pacarnya.  Me: Ini lagi ngumpulin squad buat makan siang bareng. kamu sendiri udah makan atau belum? Daniyal: Kayaknya orang-orang ini mau gelar prasmanan di atas meja meeting, karena sampai sekarang belum ada tanda-tanda meeting ditunda untuk istirahat makan siang. Aku tertawa sambil mengirim stiker Sehun EXO sedang tertawa sambil menutup mulutnya. Pantas dia mengirim pesan. Yakin aja kalau sedang tidak berada di dalam ruang meeting, Daniyal pasti akan membalas pesanku dengan telepon saat tahu aku belum makan siang.  Me: Aku udah dapat squad nih. Pacarnya Dani mau makan siang dulu ya. Assalamualaikum… Begitu balasan pesanku. Namun selang lima menit sambil aku mematikan laptop dan membereskan barang-barangku yang berserakan di atas meja, Daniyal belum juga membalas pesan singkatku tadi. Sepertinya pertemuan itu membahas sesuatu yang cukup penting sehingga membuat dia tidak sempat membalas pesanku.  Aku lalu beranjak dari kursi dan meraih dompet dari dalam tas ransel beserta ponselku. Baru juga melangkah meninggalkan kursiku, sebuah balasan pesan muncul di ponselku.  Daniyal. Take care sayang. Nanti kalau sudah agak senggang aku telepon ya. Me: Okay. Tak ada balasan pesan lagi. Aku bergegas melanjutkan langkah karena dosen yang mau menemaniku makan siang sudah menungguku di depan pintu ruang dosen.  Saat aku sedang melangkah menuju kafetaria kampus berpapasan dengan Haikal yang sedang berjalan bersama Martino menuju ke arah yang berlawanan denganku. “Mau ke mana?” tanya Haikal basa basi.  “Makan siang di kafetaria.” “Oh, oke. Nanti kalau sudah selesai ke ruang UKM fotografi ya. Ada yang mau kita bicarakan soal pameran foto di Madakaripura,” ujar Haikal.  “Aku ada kelas jam satu lima belas.” “Kalau gitu setelah kelas. Nggak lama, kok. Paling setengah jam-an. Nggak nyampek malah, kalau kita langsung ke poin pentingnya.” “Oh, oke,” jawabku santai. Lalu aku bergegas mengikuti langkah teman dosen yang sudah cukup jauh dari tempatku dihadang oleh Haikal. *** ~DANIYAL~ “Daniyal?” Samantha melambaikan tangan sambil berlari kecil mendekat ke arah gue yang baru saja keluar dari dalam lift.  “We meet again,” ujarnya riang setelah berada di depan gue.  “Hay, Samantha,” balas gue setelah Samantha berdiri di depan gue.  “Sudah selesai meeting?” tanya Samantha.  “Iya sudah.” “Anyway, aku lebih suka kalau kamu panggil Santa. Nama itu terdengar sangat cute apalagi pemberian dari kamu,” ujarnya. Gue hanya nyengir kambing mendengar ucapan penuh percaya diri itu. Sial! Gue aja lupa dan ragu apa benar gue yang memberi nama panggilan itu untuk dia?  “Aku mau lunch. Kamu mau gabung?” tanya Samantha. “No, thanks. Aku harus mengerjakan beberapa hal yang menuntut untuk segera diselesaikan.” Samantha tertawa mencemooh. “C’mon, Daniyal. Pemilik perusahaan ini orang baik kok. Dia tidak akan memecat karyawannya begitu saja hanya karena meninggalkan pekerjaan sebentar untuk makan siang di jam waktunya istirahat makan siang,” jelasnya seolah paling mengerti aturan yang ada di dalam perusahaan ini.  Aku ingin tertawa geli melihat kepercayaan diri Samantha yang patut diacungi jempol. Membuatku tetap yakin untuk menolak tawarannya. Gue melirik Gilang, asisten pribadi yang ditugaskan oleh bokap untuk membantu gue selama berjibaku dengan Elka Group. Laki-laki itu sudah siap memotong ucapan Samantha, tapi gue menggeleng memberi kode supaya jangan ikut campur.  “Mungkin lain kali. Hari ini benar-benar tidak bisa,” jawab gue tegas.  “Ya udah, lain kali tidak boleh menolak. Boleh minta contact person kamu? Karena aku dari tadi menunggu kamu menghubungi lebih dulu. Ternyata kamu terlalu sibuk untuk sekadar menghubungiku,” ucap Samantha sambil menunjukkan wajah kusut dan kecewa.  Yaelah, boro-boro ngubungin elu, ngechat cewek gue aja untung-untungan tadi.  “Kontak yang waktu itu diberikan oleh Haikal kena hapus,” imbuh Samantha karena gue belum memberinya jawaban soal kontak pribadi gue.  “Haikal? Jadi kamu ketemu Haikal?”  “Tidak. Aku belum pernah bertemu dia. Aku hanya berhasil mendapat nomor Indonesianya dari teman yang kebetulan masih berhubungan baik dengan Haikal,” jelas Samantha.  Gue hanya mengangguk paham. Lalu meminta ponsel Samantha untuk mengetikkan nomor pribadi gue di sana. Gue melakukan ini supaya bisa segera angkat kaki dari hadapan perempuan ini. Benar saja, setelah dia mendapatkan apa yang diinginkannya dari gue, dia nggak lagi menghalangi langkah gue. Rese’ nya bukan gue yang pergi duluan, tapi justru Samantha yang ngacir. Bahkan perempuan blasteran itu pamit dari hadapan gue hanya mengucap kata “bye” sambil berlari kecil setelah mendengar teman-temannya yang sedang menyerukan namanya dan memintanya untuk bergegas. ~~~  ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN