"Turunkan aku di sini!" perintah Aluna.
Bara yang tengah fokus menyetir pun segera menghentikan mobil sesuai permintaan anak bosnya.
"Jangan bilang sama ayah kalau semalam aku pergi ke pesta!" titah Aluna.
"Sampai kapan kamu mau jadi anak pemberontak seperti ini?" Bara menoleh ke belakang melihat Aluna yang bersiap untuk turun.
"Sampai bosmu itu mengeluarkan istri barunya dari rumah," jawab Aluna lalu membuka pintu mobil dan melangkah pergi.
Aluna kini berdiri di depan kafe, ia segera mendorong pintu kaca itu dan mengedarkan pandangannya. Jelas sekali gadis itu tengah melihat Steven sedang berkumpul dengan teman-temannya.
"Gila ya, lu!" sergah Aluna sembari menyiramkan air pada wajah Steven.
"Lun?" Seteven terkejut akan apa yang sang kekasih lakukan. "Apaan sih, lu?" lanjut Steven.
"Yang kamu lakukan semalam sama aku itu menjijikan tahu, gak?!" Mata Aluna mendelik.
"Apa yang aku lakukan? Tangan kanan bokapmu, itu kalik! Dia kayaknya suka sama kamu, dan berusaha buat milikin kamu!" Steven asal bicara untuk melindungi dirinya sendiri.
Aluna menggebrak meja karena kesal mendengar ucapan Steven. Jika memang itu perbuatan Bara, laki-laki itu pasti sudah menodainya semalam.
"Aku gak sangka selain menjijikan kamu adalah laki-laki pengecut yang melempar kesalahan pada orang lain!"
"Lun, percaya padaku. Bara itu menyimpan rasa sama kamu," ujar Steven sembari bangkit dari kursi.
Sementara keempat teman-teman Steven memilih diam menyaksikan drama yang sedang terjadi di hadapan mereka saat ini.
"Mulai saat ini kita putus!" ucap Aluna lalu membalikkan badan.
Namun, Steven segera meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya dengan kuat. "Aku gak mau kita putus. Aku bahkan belum menikmati tubuhmu," ujar Steven keceplosan.
"Apa?!" Aluna terkejut mendengar perkataan Steven.
"Maksudku, maksudku, aku sangat mencintai kamu. Lagi pula wajar kan, jika seorang laki-laki memiliki napsu?"
Aluna menampar pipi Steven begitu saja. "Dasar b******n tengik!"
Mendengar ucapan makian dari Aluna membuat Steven geram ia lalu mendekat dan menekan pergelangan tangan Aluna. "Kamu pikir, siapa kamu bisa mengatakan hal itu padaku! Jika bukan karena perjodohan bisnis orang tua kita, aku lebih memilih wanita lain yang tak sok suci seperti kamu!"
Bugh! Seketika tubuh Steven hampir terjatuh saat bogem mentah dari Bara mendarat keras di wajahnya, laki-laki pemilik kafe itu menahan tubuhnya dengan menopangkan tangan ke ujung meja.
Aluna yang melihat kehadiran Bara segera mendekat ke arah tangan kanan sang ayah dan meminta Bara untuk pergi.
"b******k! Kamu pikir, kamu siapa? Cuma pegawai rendahan!" hardik Steven yang tak berani untuk melawan.
"Ck. Kamu benar-benar memalukan!" ucap Aluna pada Steven. "Kamu hanya bisa melawan dengan mulut, seperti wanita saja!"
Steven menatap tajam Aluna dan Bara. "Aku akan adukan ini pada orang tuaku, dan kamu akan lihat nanti. Semua perjanjian batal!"
"Aku tak peduli, kamu pikir aku mau menikahi laki-laki menjijikkan seperti dirimu? Dasar anak mami!"
Steven semakin kesal dengan Aluna, harga dirinya hilang seketika di hadapan teman-temannya. Dalam hati laki-laki itu, ia berniat untuk membalas rasa sakit akibat mulut beracun Aluna.
Aluna segera meraih tangan Bara dan membawa laki-laki kepercayaan ayahnya itu untuk keluar dari sana.
"Kenapa kamu ikut campur?" tanya Aluna saat tiba di tepi jalan.
"Aku hanya ingin memberikan ini," ucap Bara sambil menyodorkan ponsel Aluna.
Walau sebenarnya bukan karena ponsel Bara masuk ke sana, laki-laki itu memang khawatir pada gadis cantik itu, tetapi ia bersyukur ponsel Aluna tertinggal di mobil sehingga ia mendapatkan alasan untuk masuk ke kafe itu.
Aluna meraih ponsel dari Bara, tangan gadis itu bergetar hingga ponsel itu justru terjatuh ke trotoar. Aluna yang lemas membuat tubuhnya merosot begitu saja berjongkok tepat di samping mobil.
Bara terdiam menunduk memandang Luna yang kini justru tengah menangis, Aluna beberapakali memukuli dadanya karena merasakan sesak. Laki-laki dengan wajah tampan itu memilih jongkok di hadapan anak bosnya.
"Kamu baik-baik saja?" tanyanya.
Aluna menggeleng. "Aku tak baik-baik saja," jawabnya lirih sembari menangis. "Aku benci hidupku, ayahku, wanita rubah itu dan Steven," lanjutnya.
Bara meraih bahu Aluna membuat gadis berambut panjang dengan kecantikan alami sejak kecil itu menyandarkan kepala di d**a bidang milik laki-laki itu. Ia leluasa menumpahkan air mata, mengeluarkan semua rasa sesak yang terus menghimpit pernapasannya saat ini.
Bara tak bisa mengatakan apa pun pada Aluna, selain membiarkan gadis itu berhenti menangis dengan sendirinya. Walau kakinya harus menahan pegal karena terus berjongkok.
Kurang lebih dua puluh menit Aluna merasa dirinya mulai membaik, ia segera berdiri dan berkata, "Jangan pernah menceritakan kejadian ini pada siapapun!"
Bara menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan-lahan. Gadis itu memang selalu saja bersikap menyebalkan, selain tak berterimakasih ia bahkan, tak meminta maaf pada Bara yang harus berjongkok lama untuk menenangkan dirinya.
"Aku tak memiliki teman untuk bergosip nona, jadi tenang saja," ucap Bara yang segera bangkit walau kakinya saat ini terasa keram.
"Baguslah, aku tak ingin wanita rubah itu tahu jika aku menangis hari ini," imbuhnya.
Ya, bagi Aluna pantang untuknya terlihat sedih dan kalah di depan wanita yang ayahnya nikahi itu. Sampai kapanpun ia akan membenci ibu sambungnya itu yang menikahi sang ayah hanya demi harta.
Setelah mengantar Aluna pulang Bara bergegas menuju ke perusahaan Pak Haris. Perusahaan yang bergerak dalam bidang makanan kemasan itu kini sedang pesat-pesatnya. Itulah mengapa Pak Haris lebih sering menghadiri rapat dan pertemuan.
"Maaf, saya terlambat, Pak," ucap Bara yang kini telah berada di ruangan Pak Haris.
Laki-laki berkemeja putih itu segera memutar kursi yang ia duduki saat mendengar suara Bara. Senyum mengembang di bibir Pak Haris saat melihat anak buah kepercayaan itu berdiri di hadapannya. "Apakah Aluna sudah di rumah saat ini?"
"Iya, Pak. Nona Aluna sudah berada di rumah, saya pastikan sendiri sampai ia masuk ke rumah," jelas Bara.
"Baguslah, anak itu membuat saya makin pusing saja."
"Saya pastikan Nona Aluna tak akan membuat ulah kali ini," ucap Bara lagi.
Pak Haris mengangguk-angguk mendengar ucapan Bara, ia lalu berdiri dan menepuk pundak laki-laki berparas tampan, tetapi tak membosankan untuk dipandang itu. "Kerja kamu begitu bagus, apalagi kamu berhasil meyakinkan klien untuk bekerjasama dengan perusahaan kita."
Bara mengangguk dan tersenyum. "Terimakasih, Pak."
"Bonusmu akan segera ditransfer, hari ini saya ada dinas ke Jepang. Kamu tak perlu ikut, urus saja Aluna jangan sampai gadis itu membuat ulah lagi."
"Baik, Pak. Saya akan melaksanakan tugas dengan baik," jawab Bara kaku.
Pak Haris mengangguk dan segera keluar dari ruangan diikuti oleh dua pengawal pribadinya. Sementara Bara lalu menghela napas kasar, laki-laki itu tersenyum miring karena butuh dua tahun baginya untuk membuat Pak Haris mempercayainya seperti saat ini.
Bara menatap ke luar kaca gedung, ia lalu meraih ponsel dari saku jasnya dan menempelkan di telinga. "Aku pastikan ia akan hancur dan tak akan bisa bangkit kembali!"