Pagi buta di paviliun belakang masih sunyi. Cahaya matahari baru menyelinap tipis dari sela jendela kecil kamar Isabella.
Matanya terbuka perlahan.
Ia langsung bangkit duduk di tepi ranjang, mengambil buku catatan kecil tersembunyi di balik papan ranjang. Dengan gerakan hati-hati, ia membukanya dan mulai menulis dengan cepat.
“Target utama: Lorenzo Vittorio De Luca.”
“Kesempatan: harus diciptakan.”
“Waktu tidak boleh lama.”
Tangannya berhenti sesaat.
Ia menatap tulisan itu tajam.
“Aku harus menghabisi Lorenzo… secepatnya,” gumamnya dalam hati dengan sorot mata dingin.
Buku itu segera ia sembunyikan kembali. Ia berdiri, mengganti pakaiannya dengan seragam maid, merapikan rambut, lalu melangkah keluar kamar seolah tak terjadi apa-apa.
Di dapur, suasana sudah ramai. Para pelayan mulai bekerja. Panci dipanaskan, air mengalir, suara langkah hilir mudik memenuhi ruangan.
Isabella ikut bekerja seperti biasa—memotong bahan, membawa nampan, menyapu lantai. Wajahnya tetap datar.
Tiba-tiba, dua maid berbisik di dekat rak piring. Isabella sengaja memperlambat gerakannya, pura-pura membersihkan meja di dekat mereka.
Salah satu maid berbisik antusias:
“Kau tahu tidak?”
Maid satunya menoleh penasaran.
“Tahu apa?”
“Tuan Muda Lorenzo katanya akan dijodohkan.”
Isabella sedikit menunduk, telinganya menangkap jelas setiap kata.
“Dijodohkan?”
“Iya. Dengan Nona Veronica Salvatore.”
Isabella nyaris menghentikan tangannya sesaat, tapi segera melanjutkan gerakannya seperti biasa.
“Keluarga Salvatore?”
“Iya. Keluarga mafia besar dari selatan.”
Maid kedua menutup mulutnya terkejut.
“Yang benar kamu?”
Maid pertama mengangguk cepat.
“Benar! Bahkan katanya…”
Ia makin mendekat dan berbisik makin pelan.
“…beberapa hari lagi mereka akan resmi bertunangan.”
Isabella menahan napas.
Dalam hatinya, suara Lin Yu An berbisik dingin:
“Tunangan…”
“Bagus.”
“Justru lebih sempurna.”
Matanya menyipit samar.
“Kalau begitu… aku akan mengakhiri hidupnya di hari yang paling membahagiakan.”
Maid kedua kembali berbisik:
“Wah… berarti mansion bakal sibuk besar-besaran.”
“Sudah pasti! Acara sebesar itu pasti penuh tamu penting.”
Isabella melangkah menjauh sambil membawa nampan, tetap menunduk sopan seperti pelayan biasa.
Namun di balik wajah tenangnya, rencana kematian mulai tersusun rapi.
“Pesta pertunangan…”
“Banyak tamu…”
“Keamanan tinggi…”
Ia tersenyum samar di dalam hati.
“Dan sempurna untuk menghilangkan satu iblis.”
Deru beberapa mobil hitam terdengar memasuki halaman Mansion De Luca secara beriringan. Pintu utama terbuka. Lorenzo turun lebih dulu, diiringi para pengawal bersenjata di belakangnya.
Begitu melangkah masuk, ia langsung memberi perintah tanpa menoleh.
“Panggil salah satu pelayan ke kamarku.”
Salah satu pengawal menunduk.
“Baik, Tuan.”
Tak lama kemudian, Matteo mendekat.
“Tuan menginginkan siapa?”
Lorenzo menoleh tajam.
“Isabella.”
Matteo sedikit terkejut.
“Anda mau Nona Isabella yang membantu?”
Tatapan Lorenzo mengeras.
“Aku tidak suka mengulang perintah.”
Ia langsung naik ke lantai atas tanpa menunggu jawaban.
Di bawah, Matteo segera menemui Madam Soraya.
“Madam.”
“Ada apa, Tuan?”
“Tuan Muda memanggil Isabella ke kamarnya. Sekarang.”
Soraya tampak terkejut.
“Maaf, Tuan. Isabella sedang bertugas di dapur.”
Nada suara Matteo langsung menegang.
“Apa itu berarti Madam menentang perintah Tuan Muda?”
Soraya tersentak.
“T-tidak berani, Tuan. Saya akan memanggilnya sekarang.”
Soraya segera menuju dapur.
“Isabella.”
Isabella menoleh cepat.
“Iya, Madam?”
Soraya menatapnya tajam.
“Kau dipanggil Tuan Muda ke kamarnya.”
Isabella terdiam sesaat.
“Ke kamar… Tuan Muda?”
Salah satu maid, Felicya, langsung mendekat dengan wajah cemas.
“Maaf, Madam… apakah Isabella melakukan kesalahan?”
Soraya menggeleng.
“Tidak. Dia hanya diminta melayani. Selebihnya aku tidak tau apa alasannya.”
Isabella menunduk.
“Baik, Madam.”
Ia segera keluar dari dapur.
Dalam hatinya, Lin Yu An berbisik dingin:
“Akhirnya… aku tahu letak kamar utamanya.”
Koridor lantai atas dijaga ketat. Beberapa pengawal berdiri di setiap sudut. Isabellamelangkah pelan, menahan detak jantungnya, lalu mengetuk pintu besar itu.
Tok… tok…
Dari dalam terdengar suara dingin:
“Masuk.”
Isabella melangkah masuk dengan menunduk.
“Ada keperluan apa Tuan Muda memanggil saya?”
Lorenzo berdiri di dekat jendela.
“Siapkan air hangat.”
“Baik, Tuan.”
Isabella masuk ke kamar mandi dan menyiapkan air hangat di bathtub. Tangannya bergerak tenang, tapi di dalam pikirannya penuh perhitungan.
“Kalau saja tidak banyak pengawal…”
“Satu racun sudah cukup untuk mengakhiri segalanya.”
Ia segera keluar.
“Air sudah siap, Tuan.”
Isabella berdiri kaku di depan kamar mandi. Tangannya sedikit gemetar saat membantu Lorenzo melepaskan kemejanya.
Isabella melotot melihat Lorenzo tanpa sehelai benang pun, meneguk ludah susah payah hampir meneteskan air liur. Apalagi tubuh atletis nyaris sempurna rahang kokoh, d**a bidang , perut sixpack dan miliknya yang berdiri tegak.
“Jangan bengong lakukan tugas mu dengan benar,” ujar Lorenzo dingin.
Isabella menunduk. “Baik, Tuan.”
Air hangat memenuhi bathtub. Lorenzo merebahkan diri, sementara Isabella berdiri di belakangnya, mengambil waslap dan mulai menggosok punggungnya dengan hati-hati.
“Kau gugup?” tanya Lorenzo tanpa membuka mata.
“Tidak, Tuan… saya hanya takut salah,” jawab Isabella lirih.
Lorenzo terkekeh kecil. “Di rumah ini, yang paling berbahaya bukan kesalahan. Tapi keraguan.”
Isabella terdiam.
Beberapa menit kemudian, Lorenzo bangkit dari bak mandi. Isabella sigap mengambil handuk dan menyampirkannya di bahunya.
“Keringkan rambutku,” perintah Lorenzo.
Isabella menurut. Jarinya menyentuh rambut Lorenzo dengan hati-hati.
“Pelan-pelan saja,” ucap Lorenzo. “Aku tidak suka terburu-buru.”
“Baik, Tuan…”
Setelah itu, Isabella membantu Lorenzo mengenakan pakaian bersih. Begitu semua selesai, Lorenzo berjalan ke arah ranjang besar dan merebahkan diri dengan santai.
“Pijat kakiku,” katanya.
Isabella ragu sesaat. “Sekarang, Tuan?”
“Sekarang,” jawab Lorenzo tegas.
Isabella duduk di tepi ranjang dan mulai memijat kaki Lorenzo dengan tekanan ringan.
“Hm…” Lorenzo menghela napas. “Pijatanmu semakin bagus.”
“Terima kasih, Tuan.”
“Kau bisa melakukan lebih dari ini,” lanjut Lorenzo dengan nada ambigu.
Isabella berhenti memijat. “Maksud Tuan…?”
Lorenzo membuka mata, menatapnya tajam. “Kau tidak tuli, Isabella.”
Isabella menegang. “Saya hanya pelayan, Tuan. Tugas saya hanya ini.”
Lorenzo tiba-tiba bangkit dan mendekat. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimetersentimeter mencium bibir Isabella.
" Cup. "
“Kau manis saat berpura-pura polos.”
Isabella secara refleks menyentuh bibirnya sendiri, mundur selangkah.
“Tuan… apa yang sedang Anda lakukan?”
Lorenzo tersenyum tipis. “Sekadar memastikan kau ini normal atau tidak.”
Isabella menunduk dalam-dalam. “Maaf, Tuan. Jika tidak ada perintah lain… saya permisi.”
Tanpa menunggu jawaban, Isabella berbalik dan cepat-cepat keluar dari kamar. Langkahnya tergesa menyusuri tangga menuju dapur.
Di sana, beberapa pelayan sedang berkumpul, berbicara pelan—namun cukup jelas untuk terdengar.
“Kau dipanggil Tuan Muda lama sekali…”
“Biasanya, pelayan yang masuk ke kamarnya pasti...”
Felicya menatap Isabella gugup.
“Apa dia menyentuhmu?”
Isabella menggeleng cepat.
“Tidak. Aku hanya menjalankan perintah.”
Salah satu maid berbisik lagi:
“Tuan Muda tidak pernah menyuruh pelayan mendekatinya,kecuali yang pelayan itu sendiri yang kehendaki menawarkan diri untuk…”
“Iya… kenapa justru Isabella?”
Felicya berbisik pelan:
“Aku rasa Isabella itu gadis baik-baik tidak mungkin menggoda.”
Tiba-tiba suara keras memotong gosip.
“Kalian!”
Madam Soraya berdiri di ambang dapur.
“Berhenti bergosip dan kembali bekerja!”
Semua langsung gugup.
“Maaf, Madam!”
Soraya lalu menatap Isabella.
“Kau sudah selesai?”
“Sudah, Madam.”
Soraya mendekat dengan nada rendah dan serius.
“Ingat baik-baik, Isabella. Jika kau masih ingin bekerja di sini, tahu batasmu.”
Isabella terdiam.
“Tuan Muda sudah memiliki calon tunangan. Jangan pernah bermimpi menjadi nyonya di mension De Luca.”
“Saya tidak pernah berpikir seperti itu, Madam.”
Soraya mengangguk singkat.
“Bagus.”
Isabella menunduk.
Dalam hatinya, suara Lin Yu An kembali berbisik dingin:
“Aku datang ke sini bukan untuk mendapatkan hati Lorenzo…”
“…tapi untuk mencabut nyawanya.”