Layani Saya

971 Kata
Dapur utama mansion sibuk luar biasa. Suara wajan beradu, pisau beradu dengan talenan, dan aroma masakan khas Italia memenuhi ruangan. Isabella bergerak cekatan membantu para koki menyiapkan hidangan. Ia mengangkat piring demi piring dengan tangan yang tenang, meski pikirannya waspada. Saat ia baru saja menata hidangan di meja panjang ruang makan, seorang wanita anggun berwajah dingin melangkah masuk. Gaun hitam elegan membalut tubuhnya dengan sempurna. Tatapannya tajam penuh wibawa. Dialah Cassandra De Luca—ibu Lorenzo. Cassandra berhenti tepat di depan Isabella. “Kau…” Tatapannya meneliti dari ujung kepala hingga kaki. “Pelayan baru?” Isabella langsung menunduk sopan. “Betul, Nyonya. Nama saya Isabella.” Cassandra mengamati wajahnya beberapa detik tanpa bicara, lalu berkata dingin: “Kalau sudah selesai menata, kembali ke dapur.” Nada suaranya bukan permintaan, melainkan perintah mutlak. “Baik, Nyonya,” jawab Isabella patuh. Cassandra pun duduk di kursi utama dengan anggun. Tak lama kemudian, langkah sepatu bergema dari arah tangga. Lorenzo keluar dari kamarnya dengan setelan gelap khasnya. Wajahnya dingin, auranya menekan. Dari arah berlawanan, Edward De Luca—suami Cassandra dan ayah Lorenzo—keluar dari ruang kerja dengan jas rapi dan tatapan penuh perhitungan. Mereka bertiga duduk mengelilingi meja makan besar. Para pelayan berdiri berbaris rapi di sisi ruangan, termasuk Isabella. Madam Soraya melangkah maju. “Silakan dinikmati, Nyonya, Tuan, dan Tuan Muda.” Beberapa maid mulai maju menuangkan anggur ke gelas masing-masing. Saat salah satu maid hendak menuangkan minuman untuk Lorenzo, ia mengangkat tangan menghentikannya. Matanya langsung tertuju pada satu sosok. “Aku ingin dia yang melayaniku.” Soraya terkejut. “Isabella, Tuan Muda?” Lorenzo menatap lurus ke arah Isabella. “Iya. Dia.” Isabella terguncang sepersekian detik, tapi langsung melangkah maju dengan kepala tertunduk. “Baik, Tuan.” Ia mengambil botol anggur dan mulai menuangkan dengan tangan yang stabil. Edward memperhatikan dari balik kacamatanya. “Dia pelayan baru?” Soraya mengangguk cepat. “Benar, Tuan. Namanya Isabella, dari Yayasan Milan.” Edward menyipitkan mata, memperhatikan wajah Isabella lebih seksama. “Tapi… wajahmu seperti gadis Asia,” ucapnya datar. “Kau benar-benar orang Italia?” Isabella menunduk lebih dalam. “Ibu saya orang Italia, Tuan. Ayah saya berdarah Asia.” Edward mengangguk kecil. “Hm.” Cassandra ikut melirik Isabella. “Campuran, rupanya.” Lorenzo mengangkat gelas anggurnya, masih menatap Isabella. “Kau gugup?” Isabella menjawab pelan: “Sedikit, Tuan.” Senyum tipis penuh arti terbit di bibir Lorenzo. “Jangan gugup di sini. Yang gugup biasanya tidak bertahan lama.” Isabella menelan ludah. “Saya akan berusaha bertahan, Tuan.” Edward tersenyum samar. “Berani juga pelayan baru ini.” Lorenzo akhirnya memalingkan pandangan ke makanannya. “Dia jawaban yang jujur.” Soraya memberi isyarat pada para maid lain. “Kalian kembali ke posisi masing-masing.” Isabella hendak melangkah mundur, tetapi suara Lorenzo kembali menghentikannya. “Kau tetap di sini.” Soraya terkejut lagi. “Baik, Tuan Muda.” Isabella pun berdiri di belakang kursi Lorenzo, siap melayani. Makan malam berakhir dalam keheningan yang berat. Kursi-kursi didorong pelan. Lorenzo berdiri lebih dulu. Tanpa menoleh pada siapa pun, ia berkata dingin, “Aku kembali ke kamarku.” Ia melangkah pergi menuju lantai atas. Tak lama kemudian, Cassandra ikut berdiri, merapikan gaunnya. “Edward, ayo.” Edward mengangguk singkat. “Kita lanjutkan pembicaraan di kamar.” Keduanya menghilang di tangga lantai atas. Ruang makan kembali menjadi wilayah para pelayan. Isabella bersama beberapa maid lain langsung membersihkan meja. Piring-piring diangkat, sisa makanan disingkirkan, gelas-gelas dikumpulkan. Angel berbisik pelan di sampingnya. “Kau benar-benar membuat semua mata tertuju padamu malam ini…” Isabella tidak menjawab. Tangannya terus bekerja. Setelah semuanya beres, ia kembali ke paviliun belakang. Di kamarnya yang sempit, ia mandi cepat, berganti pakaian sederhana, lalu menghela napas pelan. “Hari pertama… dan sudah sejauh ini,” gumamnya dalam hati. Ia pun keluar kembali menuju dapur untuk memastikan tidak ada tugas tersisa. Di sisi lain koridor utama— Pintu kamar besar di lantai atas terbuka. Lorenzo keluar. Langkah mereka bertemu di lorong yang sepi. Isabella baru saja melintas ketika tiba-tiba— Tangannya ditarik kuat. Tubuhnya terdorong ke dinding. “Tuan—!” Lorenzo memojokkannya, satu tangan menahan di sisi dinding, yang lain mencengkeram lengannya. Tatapan mereka bertabrakan. “Ada apa, Tuan?” Suara Isabella bergetar dibuatnya. “Nanti ada yang melihat…” Lorenzo menyeringai tipis. “Kau takut?” Ia menatap mata Isabella lekat, terlalu dekat. Jarinya menyentuh dagu Isabella, mengangkat wajahnya sedikit. Isabella menahan napas. “Tidak, Tuan…” lalu segera menunduk. “Tapi saya hanya pelayan. Saya tidak boleh dekat-dekat dengan Anda.” Lorenzo tertawa pelan. “Semua wanita di tempat ini ingin berada di sisiku.” Tatapannya semakin tajam. “Kenapa justru kau yang menolak?” Isabella menelan ludah, lalu berkata pelan: “Saya ke sini untuk bekerja, Tuan. Bukan untuk yang lain.” Rahang Lorenzo mengeras. “Jadi… kau menolakku?” Isabella menunduk lebih dalam, tubuhnya dibuat gemetar. “Madam Soraya sudah memperingatkan saya untuk tidak melewati batas,” suaranya lirih. “Saya tidak ingin kehilangan pekerjaan saya, Tuan Muda… Saya orang kecil.” Untuk sesaat, lorong itu sunyi. Lalu— Lorenzo melepaskan cengkeramannya dengan kasar. “Pergi.” Isabella tidak menunggu dua kali. Ia segera menunduk hormat. “Terima kasih, Tuan.” Lalu ia berjalan cepat menuju dapur, jantungnya berdegup kencang. Lorenzo berdiri sendiri di koridor. Tangannya mengepal. “Menarik…” Ia tersenyum gelap. “Baru kali ini ada wanita yang berani menolakku.” Ia berjalan pelan menuju tangga. Dalam hatinya, ia bergumam: “Aku pastikan kau sendiri yang akan memohon naik keranjang ku…” “Isabella Moretti.” Langkah cepat terdengar dari ujung koridor. Matteo muncul bersama dua pengawal. “Tuan Muda,” ucapnya tegang. “Kami mencarimu. Ada pergerakan di perbatasan.” Tatapan Lorenzo berubah dingin seketika. “Kalau begitu…” Ia merapikan jasnya. “Kita berangkat sekarang.” “Baik, Tuan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN