Terpesona Maid Baru

1050 Kata
Ruang interogasi itu dingin, berbau logam dan cairan pembersih. Lantai marmer yang tadi merah kini hampir kembali mengilap. Isabella—Lin Yu An—berlutut sambil menggosok noda terakhir dengan kain di tangannya. Wajahnya tenang, matanya fokus, seolah yang ia bersihkan hanyalah tumpahan anggur. Tiba-tiba— BRAAK! Pintu besi terbuka keras. Langkah sepatu kulit berat menggema. Aura kematian langsung memenuhi ruangan. Seorang pria tinggi, tampan, berbahu lebar masuk dengan langkah santai namun menekan. Di belakangnya, enam pengawal bersenjata dan satu pria berjas rapi berjalan setengah langkah di belakangnya. Dialah Lorenzo Vittorio De Luca. Pria yang dijuluki dunia bawah tanah sebagai The Devil. Suaranya rendah, dingin, tanpa emosi. “Bagaimana?” Ia melirik lantai yang basah. “Mayatnya sudah digiling untuk makanan anjing dan babiku? Termasuk organ dalamnya dijual ke rumah sakit.” Semua orang di ruangan itu menunduk. Matteo, asisten pribadinya, menjawab tenang. “Sudah, Tuan. Tidak ada sisa yang bisa dikenali.” Lorenzo mengangguk kecil. “Bagus.” Ia melangkah beberapa langkah, menyentuh sarung tangan kulitnya. “Sekarang lakukan tugas kalian berikutnya. Bersihkan jejaknya di gudang timur.” Para pengawal serentak menjawab: “Siap, Tuan.” Satu per satu mereka keluar. Namun saat Lorenzo hendak berbalik… tatapannya berhenti. Matanya yang tajam seperti elang mengunci satu sosok yang masih berlutut di lantai. Isabella. Tubuhnya ramping dengan lekuk yang nyaris terlalu indah untuk seorang maid. Rambut blondenya dikuncir rapi. Wajahnya polos, bersih, nyaris bertolak belakang dengan ruangan berdarah ini. Lorenzo melangkah mendekat perlahan. Matteo menyadari tatapan tuannya. “Ada yang salah, Tuan?” Lorenzo tak menjawab. Matanya menyapu dari ujung kepala Isabella hingga ujung kakinya dengan tanpa malu. “Siapa gadis cantik ini?” Nada suaranya dalam, berbahaya. “Dan sejak kapan pelayan di mansion ini punya wajah seperti ini?” Isabella tetap menunduk, menyembunyikan sorot matanya. Matteo segera menjawab: “Dia Isabella Moretti, Tuan. Maid baru dari Yayasan Milan.” Lorenzo mengangkat alis. “Milan?” Ia menyeringai tipis. “Yayasan mulai mengirim bidadari sekarang?” Matteo tersenyum kaku. “Kami juga terkejut, Tuan.” Lorenzo melangkah lebih dekat. Jarak mereka kini tinggal satu langkah. Ujung sepatunya hampir menyentuh kain seragam Isabella. “Angkat wajahmu.” Isabella ragu sepersekian detik… lalu perlahan mengangkat kepalanya. Dan untuk sesaat— ruangan itu sunyi. Tatapan mereka bertabrakan. Mata Lorenzo menyipit. Mata Isabella tenang—terlalu tenang untuk seorang pelayan biasa. “Namamu Isabella?” tanya Lorenzo pelan. “Iya, Tuan,” jawabnya sopan. “Berapa umurmu?” “Dua puluh empat, Tuan.” Lorenzo terkekeh kecil. “Usia yang bagus.” Matteo menelan ludah. “Tuan, dia hanya maid—” Lorenzo mengangkat tangan, menghentikannya. Tatapannya belum lepas dari Isabella. “Kau tahu di mana kau bekerja?” “Di Mansion De Luca, Tuan.” “Dan kau tahu apa yang sering terjadi di ruangan ini?” Isabella menunduk kembali. “Saya tidak bertanya, Tuan.” Senyum Lorenzo makin lebar. “Jawaban yang cerdas.” Ia berbalik setengah badan. “Madam Soraya memilihmu?” “Iya, Tuan.” “Sampaikan padanya…” Lorenzo melirik Isabella sekali lagi. “…aku menyukai pilihannya.” Matteo kaget. “Baik, Tuan.” Lorenzo melangkah pergi, namun sebelum keluar ruangan ia berhenti. Tanpa menoleh, ia berkata: “Isabella.” “Iya, Tuan?” “Mulai hari ini… kau bekerja di area dekat ruang makanku.” Isabella terdiam sepersekian detik. “Perintah Tuan akan saya laksanakan.” Lorenzo tersenyum gelap. “Bagus.” Pintu pun tertutup. Ruangan kembali sunyi. Isabella berdiri perlahan. Tangannya masih memegang kain basah. Wajahnya tetap tenang—namun di dalam hatinya, suara Lin Yu An berbisik dingin: “Target terkunci…” “Dan dia mulai mendekat dengan sendirinya.” Isabella masih berdiri terpaku di sudut ruang interogasi ketika suara Angel membuyarkan lamunannya. “Hei!” bisik Angel cepat sambil menarik lengannya pelan. “Kenapa kau bengong? Ayo cepat! Kita harus menghadap Madam Soraya sekarang!” Beberapa pelayan lain menoleh dengan wajah cemas. “Kalau Madam sampai menunggu, habislah kita,” gumam salah satu dari mereka. Isabella segera menunduk. “Iya… aku ikut.” Mereka bergegas keluar dari ruang bawah tanah, melewati lorong-lorong panjang yang sunyi hingga akhirnya sampai di dapur utama. Di sana, Madam Soraya sudah berdiri dengan tangan melipat di d**a, tatapannya tajam seperti biasa. Begitu melihat mereka datang, sorot matanya langsung tertuju pada Isabella. “Kau,” telunjuknya mengarah lurus. “Isabella, kemari.” Isabella melangkah maju dengan kepala tertunduk. “Iya, Madam.” Madam Soraya mendekat, menatapnya tajam dari jarak sangat dekat. “Apa yang kau lakukan sampai Tuan Muda Lorenzo memerintahkanmu pindah ke area ruang makan?” Isabella pura-pura gemetar. Tangannya mengepal kecil di sisi rok seragamnya. “Saya… saya tidak melakukan apa-apa, Madam,” jawabnya dengan suara dibuat bergetar. “Saya hanya membersihkan lantai seperti perintah.” Soraya menyipitkan mata curiga. “Jangan bohong di depanku.” Isabella semakin menunduk. “Saya sungguh tidak berani macam-macam, Madam.” Soraya mendengus keras. “Bodoh. Baru sehari bekerja sudah membuat perhatian Tuan Muda tertuju padamu. Kau pikir itu hal sepele?” Isabella menelan ludah, berpura-pura ketakutan. Sebelum suasana makin menegang, Angel maju selangkah. “Madam, mohon maaf…” Soraya menoleh tajam. “Apa?” “Kami semua menyaksikan sendiri. Isabella tidak melakukan apa pun,” ujar Angel cepat. “Tuan Muda sendiri yang memperhatikannya dan langsung memberi perintah.” Beberapa pelayan mengangguk setuju. “Benar, Madam.” “Kami semua ada di sana.” Soraya terdiam beberapa detik, menimbang-nimbang. “Benarkah?” “Benar, Madam,” jawab mereka hampir bersamaan. Tatapan Soraya kembali mengunci Isabella. “Huh…” “Baiklah. Kali ini kau kuampuni.” Isabella langsung membungkuk. “Terima kasih, Madam.” Soraya mengangkat dagunya sedikit. “Tapi ingat baik-baik, Isabella,” suaranya kembali dingin. “Kau tetap pelayan. Tahu batasmu. Jangan pernah merasa lebih tinggi dari posisi yang kau punya.” “Saya mengerti, Madam.” Soraya berbalik menuju meja dapur. “Sekarang pergilah ke dapur belakang,” perintahnya. “Bantu para koki menyiapkan makan malam untuk Tuan Muda dan tamu-tamunya.” Isabella menunduk lagi. “Baik, Madam.” Saat ia melangkah pergi bersama Angel, gadis itu berbisik pelan di sampingnya: “Kau benar-benar beruntung hari ini…” Isabella hanya tersenyum tipis samar—senyum yang tak ada seorang pun di sana tahu arti sesungguhnya. Dalam hatinya, Lin Yu An berbisik dingin: “Satu langkah lagi ke arah Lorenzo…”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN