Satu nyawa seratus juta dolar

1182 Kata
Di sebuah markas rahasia di jantung Tiongkok, ruangan itu remang dengan cahaya lampu kuning yang redup. Asap rokok menggantung di udara. Seorang pria bertubuh besar dengan aura mengerikan duduk berhadapan dengan seorang wanita muda berwajah dingin—dia adalah Lin Yu An (***), sang pembunuh bayaran legendaris dengan nama samaran yang tak pernah tercatat di organisasi mana pun. Pria itu menyandarkan punggung, menatap Lin Yu An tanpa berkedip. “Aku ingin kau menghabisi seseorang.” Lin Yu An mengangkat alisnya, suaranya tetap datar. “Sebutkan namanya.” Pria itu sedikit condong ke depan. “Lorenzo Vittorio De Luca. Mafia Italia paling ditakuti di Eropa. Dia menguasai sebagian besar wilayah: pelabuhan, senjata, narkoba, perdagangan gelap… semuanya.” Lin Yu An tersenyum tipis, bukan senyum ramah—lebih seperti senyum pembunuh. “Jadi… ini masalah saingan bisnis, Tuan?” Pria itu terkekeh pelan. “Lebih dari itu. Dia ancaman. Selama Lorenzo hidup, tak ada yang bisa bernapas lega di Eropa.” Lin Yu An menyilangkan kakinya dengan tenang. “Berarti target bernilai tinggi. Dan tentu saja… dijaga sangat ketat.” Pria itu mengangguk. “Pengawalnya mantan pasukan khusus. Sistem keamanannya berlapis. Kamera di setiap sudut. Kesalahan kecil saja berarti mati.” Lin Yu An menatap tajam. “Kalau begitu, saya tidak bisa membunuhnya secara langsung.” “Maksudmu?” “Aku harus menyusup. Masuk ke dalam sarang singanya. Bekerja dari dalam. Baru setelah itu… membunuhnya tanpa jejak.” Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum puas. “Bagus. Itu yang kuharapkan darimu.” Lin Yu An mengetuk meja dengan jari telunjuknya. “Sekarang kita bicara soal bayaran.” “Sebutkan angka.” “Seratus juta dolar.” Ruangan mendadak senyap. Pria itu menatap Lin Yu An lekat-lekat. “Kau tahu itu bukan angka kecil.” Lin Yu An menyeringai tipis. “Dan Anda tahu, nyawa Lorenzo jauh lebih mahal dari itu.” Pria itu terdiam beberapa detik, lalu tertawa pendek. “Baik. Seratus juta dolar. Setengahnya akan saya bayarkan sebagai DP sisanya setelah kau memotong kepalanya.” Lin Yu An berdiri, mengulurkan tangan. “Kesepakatan yang adil.” Pria itu menjabat tangannya dengan erat. “Aku menunggu kabar kematiannya.” “Bersabarlah,” jawab Lin Yu An dingin. “Kematian selalu datang… tepat waktu.” Tak lama kemudian, pria itu melangkah keluar dari kantor rahasia tersebut. Di balik koridor gelap markas itu, wajahnya berubah serius. Dialah Don Giovanni. Mafia Italia kelas atas. Dan yang tak diketahui siapa pun ia masih memiliki hubungan darah dengan Lorenzo Vittorio De Luca. Bibirnya melengkung tipis. “Maaf kan paman, Lorenzo..…” gumamnya pelan. “Takhta hanya butuh satu raja.” Lin Yu An melepaskan masker hitam yang menutupi setengah wajahnya. Asap rokok mengepul pelan dari bibirnya saat ia menatap layar kota dari balik jendela markas. “Italia…” gumamnya lirih. Ia menghembuskan asap perlahan. “Sepertinya permainan besar akan segera dimulai.” Ia mematikan rokok di asbak, lalu berdiri. “Aku harus segera berkemas. Mansion De Luca tidak akan menungguku.” Langkahnya tenang namun pasti saat ia masuk ke dalam kamarnya—ruangan minimalis dengan dinding gelap dan lemari besi besar di sudut ruangan. Ia membuka lemarinya. “Pakaian formal…” Ia menarik satu per satu gaun mahal. “Gaun pesta…” “Dan tentu saja, pakaian untuk menyamar.” Ia berhenti sejenak, menatap sebuah pisau tipis berkilau di laci rahasia. “Kau ikut denganku.” Ia memasukkan pakaian, senjata kecil, paspor-paspor palsu, dan beberapa alat pendukung ke dalam koper hitamnya. Beberapa menit kemudian, Lin Yu An duduk di depan laptopnya. Layar menyala, deretan kode dan data identitas bermunculan. Ia mengetik cepat. “Nama baru…” “Kebangsaan baru…” “Riwayat hidup sempurna.” Ia berhenti sejenak, menatap foto palsu yang muncul di layar—wajahnya yang sama, tetapi dengan identitas berbeda. “Mulai hari ini… aku bukan lagi Lin Yu An.” Ia menekan enter. “Isabella Moretti.” Sebuah senyum tipis terbit di bibirnya. “Selamat datang di dunia kebohongan, Isabella.” Laptop ditutup. Ia bangkit, menarik kopernya keluar dari kamar. Di lorong markas, salah satu staf menunduk hormat. “Anda akan pergi, Nona?” Lin Yu An hanya melirik dingin. “Jangan berharap aku mati cepat.” Staf itu menelan ludah. “Kami akan menunggu kabar keberhasilan Anda.” Di depan markas, ia memesan taksi. “Bandara Internasional Shanghai,” ucapnya singkat. Mobil melaju membelah jalanan malam. Lin Yu An kembali mengenakan maskernya, menatap bayangannya di kaca jendela. “Lorenzo Vittorio De Luca…” gumamnya. “Sebentar lagi kita akan sangat dekat.” Di bandara internasional Shanghai, ia berjalan tenang dengan masker menutup wajah. Koper ditarik di sampingnya. Petugas check-in menatap paspornya. “Tujuan?” “Italia,” jawabnya datar. Petugas mengangguk. “Selamat jalan.” Lin Yu An mengambil boarding pass-nya. “Terima kasih.” Beberapa saat kemudian, ia duduk di dalam kabin pesawat. Lampu redup, mesin mulai mengaum pelan. Ia menyandarkan kepala, menutup mata. “Satu misi…” “Satu nyawa…” Matanya terbuka pelan, tatapannya dingin penuh niat membunuh. “Dan satu kekaisaran yang akan runtuh.” Pesawat pun lepas landas, membawa Lin Yu An menuju Italia. Pesawat akhirnya mendarat mulus di sebuah bandara internasional di Italia. Beberapa menit kemudian, Lin Yu An berjalan keluar dari kabin dengan langkah tenang, mengenakan mantel hitam dan kacamata gelap. Ia mengambil kopernya dari conveyor belt, lalu melangkah ke sudut yang agak sepi. Ponselnya dikeluarkan. Ia menekan satu nomor. “Halo.” Suara di seberang sana langsung menjawab sopan. “Nona, kami sudah siap .” Lin Yu An menatap sekeliling bandara dengan tajam. “Aku sudah mendarat. Jemput aku sekarang.” “Baik, Nona. Mobil sedang dalam perjalanan.” Nada bicara Lin Yu An mengeras. “Kau sudah tahu tugasmu, bukan?” “Tentu, Nona. Saya akan mengantar Anda ke mansion De Luca.” Ia menyipitkan mata. “Sebagai apa?” “Sebagai maid baru dari Yayasan Milan, sesuai identitas yang Anda buat.” Hening satu detik. “Bagus,” ucap Lin Yu An dingin. “Jangan sampai ada satu detail pun yang salah.” “Tidak akan, Nona.” Lin Yu An melirik jam tangannya. “Aku tidak suka menunggu.” “Kami akan tiba dalam lima menit.” Nada Lin Yu An semakin dingin. “Terlambat satu menit saja, kau tahu akibatnya.” Di seberang sana terdengar tarikan napas gugup. “Dimengerti, Nona.” Telepon ditutup. Lin Yu An menyandarkan punggung ke dinding kaca bandara. Tatapannya lurus ke depan, penuh kewaspadaan. Beberapa menit kemudian, sebuah mobil hitam berhenti tak jauh darinya. Kaca jendela terbuka sedikit. “Nona Lin?” Ia mendekat. “Kau terlambat tiga puluh detik.” Pria di balik kemudi langsung menunduk. “Maaf, Nona.” Lin Yu An memasukkan koper ke bagasi tanpa bicara lagi, lalu duduk di kursi belakang. Mobil melaju meninggalkan bandara. Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi. “Langsung ke mansion.” “Baik, Nona.” Lin Yu An menutup mata, suaranya pelan tapi tajam. “Mulai sekarang, aku adalah maid.” Pria itu mengangguk lewat kaca spion. “Dan Lorenzo…” gumamnya lirih, “Akulah malaikat pencabut nyawa mu sudah datang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN