Sky is vast, but there is no room for error.
[Lima tahun yang lalu dalam sebuah penerbangan Jakarta-Bali]
Semua pilot mengetahui bahwa langit sangat luas tapi kami tidak diperbolehkan melakukan satu kesalahan pun. Namun, sebuah kesalahan fatal sudah kulakukan. Kesalahan yang membuatku merasakan sensasi zero gravity di dalam d**a selama dua jam perjalanan Jakarta-Bali. Padahal aku hanya bertatap muka dengannya tak lebih dari sebelas detik. Kami berpapasan di lorong kabin, dia menuju ke toilet dan aku kembali ke kokpit.
s**t! Mata itu indah sekali. Aku tidak percaya cinta pada pandangan pertama. Itu hanya dongeng yang dipuja para remaja. Tidak di usiaku yang sudah tiga puluh. Jika bisa aku ingin menghindarinya. Sebab mana mungkin ini cinta jika kami baru saja bertemu? Tapi, aku sedang berada di ketinggian 33.000 kaki dengan kecepatan hampir 900km/jam. Bagaimana bisa aku menghindarinya?
“Permisi.” Wanita itu mengejutkanku dan membuat aku bisa meraih kembali kesadaran yang sedetik lalu entah ke mana perginya. Mata coklat itu menumbuk mataku tapi entah kenapa reaksinya terasa hingga di jantung. Bisakah waktu berhenti saja?
“Ah, maaf.” Aku menyingkir untuk memberinya jalan. Dia melewatiku dan aromanya yang-entahlah, mungkin dari jenis bunga atau tumbuh-tumbuhan lain yang aku tidak tahu- yang pasti bukan buah-buahan dan yang pasti begitu segar dan memikat, menyeruak masuk ke dalam lubang hidungku. Aku berbalik untuk melihat punggungnya yang menghilang di balik bilik toilet, menyimpan partikel-partikel memori tentang wangi tubuhnya di hipokamusku, memastikannya bisa kupanggil kembali di saat-saat tertentu. Atau jika kami berjumpa lagi. Mungkin.
“Capt? Captain Bamantara? Ada yang bisa saya bantu?” suara salah satu flight attendant membuyarkan lamunanku.
“Oh, tidak.” Aku tersenyum ke arah wanita berseragam maskapai itu dan berlalu kembali menuju kokpit.
Duduk di kursiku kembali pada flight deck, aku menoleh sekilas ke arah Arsen, co-pilot muda yang menjadi rekanku dalam rute penerbangan kali ini. “Do you believe in love at first sight?” Apakah kau percaya cinta pada pandangan pertama?
“Sorry, Capt?” Arsen terkejut dengan pertanyaanku yang terkesan random. Flight deck tak ubahnya bilik kerja yang berukuran tak lebih dari dua meter persegi. Hanya saja bedanya, rekan kerja di samping kananmu ini tak melulu orang yang sama. Seringnya orang yang justru baru pertama kali kau jumpai. Jadi, kemungkinan bisa akrab dengan rekan kerja serute kita sangat sulit. Sehingga sangat wajar jika dia terkejut mendengar pertanyaanku itu.
“Love at first sight, I said. Do you believe that?” Aku bilang cinta pada pandangan pertama. Apakah kau mempercayainya? Aku mengulang pertanyaanku tanpa mengalihkan pandanganku padanya. Mataku jauh melampaui bingkai jendela depan pesawat. Berusaha menjangkau garis cakrawala. Sial sekali perkara jatuh cinta pada pandangan pertama ini. Ah, ataukah ini hanya ketertarikan sesaat? Tapi kenapa aku tidak bisa menyingkirkan bayangan dan aroma tubuh dari wanita yang bahkan tidak aku ketahui namanya itu? Pada rambutnya yang kecolatan, pada matanya yang cemerlang, pada bentuk wajahnya yang begitu menarik.
“Hahahah.” Arsen tertawa basa-basi. Terasa sekali dia masih menjaga jarak di antara kami. Penyakit co-pilot muda yang kerap merasa segan pada captain. Padahal aku tidak pernah mencoba bersikap superior terhadap rekan kerjaku. Aku berusaha menerapkan Crew Resource Management dengan baik. Yang paling penting dari hubungan kerja cockpit crew adalah komunikasi dan aku selalu membiarkan co-pilot-ku mengambil keputusan penting kapan pun dibutuhkan. “Aku tidak percaya sesuatu semacam itu, Capt.”
“Hmm….” Aku bergumam. “Good for you.”
Lalu itulah akhir dari percakapan kasual kami. Selanjutnya hanyalah standard call out terkait teknis penerbangan yang terjadi hingga tak terasa tinggal setengah jam lagi pesawat kami sudah akan tiba di Bandara Ngurah Rai.
“Selamat siang para tamu kami yang terhormat, di sini kapten Anda berbicara. Saat ini kita sedang berada di ketinggian 33.000 kaki. Cuaca selama perjalanan diramalkan berawan dan cuaca di Bali dikabarkan cerah. Sisa penerbangan ke Bali adalah kurang lebih setengah jam dan kami perkirakan kita akan tiba pada pukul 13.05 waktu setempat. Terdapat perbedaan waktu antara Jakarta dan Bali di mana waktu di Bali adalah satu jam lebih cepat dari waktu di Jakata. Saya akan berikan laporan cuaca terbaru apabila ada perubahan pada waktu kedatangan. Selamat menikmati penerbangan ini dan terima kasih atas perhatian Anda.” Aku memberikan closing announcement dan mengulanginya dengan bahasa Inggris. Sebuah prosedur yang mungkin tak semua pilot lakukan tapi aku mencoba untuk disiplin dan tidak mengabaikan satu pun prosedur penerbangan seremeh apa pun itu.
Beberapa puluh menit kemudian kami sudah siap mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, “Flight attendant prepare for arrival.” Aku memberikan kembali instruksi karena pesawat sudah bersiap untuk turun. Instruksi yang aku berikan kepada cabin crew agar mereka bersiap dan dapat pula mempersiapkan penumpang untuk mendarat. Setelah manufer terakhir, aku kembali berseru, “Flight attendant landing station.”
“Parking check-list, Capt?” Arsen mengajukan selembar paperwork padaku.
“Okay, parking checklist.”
Setelah badan pesawat terparkir sempurna di gedung bandara dan pintu dibuka agar penumpang bisa mulai turun, ingin sekali aku berlari keluar kokpit dan menemui wanita tadi, yang membuatku merasakan sensasi zero gravity selama dua jam perjalan, yang membuatku bingung sekaligus menertawai diriku sendiri tentang bagaimana mungkin bisa aku tertarik pada seseorang sedemikian rupa padahal baru pertama kali bertemu, namun tentu saja hal tersebut tidak bisa aku lakukan karena masih ada paperwork yang harus aku lengkapi terkait penerbangan kami bersama co-pilot Arsen.
“Tapi, kalau Captain pernah jatuh cinta pada pandangan pertama, itu pasti adalah pengalaman yang luar biasa sekali. Aku juga ingin diberikan kesempatan merasakannya jika bisa.” Arsen melepas headset-nya, berpaling ke arahku sambil tersenyum. Kalimat terpanjang yang dia ucapkan padaku selama dua jam penerbangan kami.
Aku balas tersenyum lebar. “Ya. Aku rasa aku baru saja mengalaminya.” Satu-satunya error yang pernah aku lakukan selama hampir tujuh ribu jam terbang. Sebuah kesalahan yang benar-benar fatal. Mungkin aku akan kesulitan untuk mengenyahkan bayangan wanita itu dari pikiranku untuk waktu yang lama.
Mata Arsen membola, “Good for you!”[]