Passion

1909 Kata
            Semua yang diceritakan Bamantara tentang perjumpaan pertama mereka terdengar seolah berasal dari tempat yang sangat asing bagi Renata. Selain itu, bunga-bunga di taman belakang rumah Bamantara yang berwarna-warni tanpa ada satu pun yang dia tahu namanya ini sangat menganggu. Renata bersin berkali-kali. Mata dan hidungnya terasa berair. Ujung hidungnya bahkan memerah. Renata mengusapanya berkali-kali dengan gelisah.             “Kamu baik-baik saja, Ra?” Bamantara tampak cemas melihat kondisi Renata.             “Sepertinya aku tidak tahan dengan bunga-bunga ini!” Renata menjawab spontan.             Bamantara mengernyit heran. Dia menatap Renata tak mengerti lalu beralih memandang hamparan bunga geranium yang sedang mekar sempurna. Laura selalu bersemangat setiap kali geraniumnya mekar. Dia bisa berlama-lama di taman belakang rumah ini hanya untuk memandangi bunga-bunga miliknya tersebut. Saking cintanya Laura pada bunga, Bamantara hampir saja membuatkannya toko bunga agar Laura memiliki kegiatan selain mengurusi Dion. Namun, wanita itu menolak. Laura tidak pernah nyaman bertemu dengan orang baru.             “Kamu sangat menyukai bunga, Ra. Saat bunga-bunga itu mekar kamu akan merangkainya dan memasukkan di dalam pot lalu meletakkannya di atas meja, di atas nakas, di sudut-sudut rumah kita.” Bamantara menjelaskan. Berharap sedikit saja potongan ingatan wanita di hadapannya ini bisa kembali. “Lihat itu! Geranium milikmu sedang mekar. Kamu akan merangkainya dengan bougenville, kamboja, gillardia. Astaga! Aku bahkan hafal nama-nama bunga ini karena kamu sangat menyukai mereka.”             “Hatchi!” Renata bersin untuk yang kesekian kalinya. “Aku tidak ingat semua yang kamu sebutkan itu, Bara. Dan mungkin amnesia membuatku tidak lagi menyukai bunga-bunga ini.” Renata ingin sekali pergi dari taman bunga itu, “Atau mungkin karena aku bukan Laura.”             Bamantara mengembuskan napasnya dengan keras. Dia baru saja akan menyahuti ucapan Renata, namun wanita itu terlanjur berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah. Saat Renata berjalan ke arah tangga untuk menuju ke lantai dua tempat kamarnya berada, dia berpapasan kembali dengan Bu Dar, asisten rumah tangga yang tadi mengetuk pintu kamarnya. Wanita paruh baya itu menatapnya dengan penuh keterkejutan yang kemudian berganti ketakutan. Namun, sesegera itu juga dia menundukkan pandangannya. Berusaha menghindari Renata, atau pun , tatapannya.             “Bu Dar?” Renata jelas menaruh curiga pada gelagat ART rumah ini. Kenapa dia tampak begitu ketakukan melihatnya? “Bu Dar, kan? Ibu asisten rumah tangga di sini?”             “I…iya, Nona Laura?” Bu Dar tergagap.             Renata berjalan mendekati wanita paruh baya itu. Dia tampak gugup. Dia meremas ujung-ujung daster yang dikenakannya dengan gelisah.             “Ada apa, Bu Dar? Kenapa Ibu seperti ketakutan melihat saya?” Renata tidak pernah suka berbasa-basi. Amnesia tentu saja tidak membuat sikapnya yang seperti itu berubah.             Bu Dar tidak berani menatap Renata. Masih sambil tertunduk dia berkata, “Ti…tidak ada apa-apa Nona Laura.”             “Bu Dar yakin?” Renata mengejar.             Wanita itu mengangguk ragu-ragu.             “Bu Dar, mungkin Ibu tidak tahu kalau saat ini saya sedang hilang ingatan. Saya tidak memiliki kemampuan untuk mengingat hal-hal yang terjadi di masa lalu. Tapi, kalau saya pernah melakukan sesuatu yang membuat Bu Dar tidak nyaman, saya minta maaf.” Renata terdiam. Sengaja memberi jeda pada kalimatnya untuk menilai ekspresi wajah wanita paruh baya di hadapannya ini. “Dan saya akan sangat berterima kasih sekali kalau Bu Dar mau memberi tahu sikap saya yang mana yang kira-kira membuat Bu Dar jadi tidak nyaman seperti ini.”             Wanita yang disapa Bu Dar itu hanya bisa terbelalak. Untuk fakta bahwa nyonya rumahnya ini sedang hilang ingatan dan untuk sikap wanita muda tersebut yang terang-terangan berbicara seperti ini padanya. Sangat tidak Laura sekali. Laura yang dia kenal tidak pandai menyuarakan apa yang dia inginkan. Laura yang dia kenal terlalu pendiam. Laura yang dia kenal seolah memiliki dunianya sendiri. Sangat misterius dan kadang-kadang tatapannya bisa membuat orang bergidik ngeri. Penuh penderitaan. Setiap mata merekea bersirobok, wanita paruh baya itu seperti sedang ditatap oleh sesuatu yang tidak memiliki nyawa.             “Ti…tidak ada apa-apa, Non Laura.” Bu Dar memilih untuk menyembunyikan kegelisahan yang dia rasakan rapat-rapat. “Maafkan saya.”             “Ada apa?” suara khas Bamantara yang berat menjeda pembicaraan-jika bisa disebut demikian-di antara kedua wanita itu.             “Saya permisi.” Bu Dar melihat ini sebagai peluang untuk menghindari bertatap muka lagi dengan Renata. Secepat kilat dia membawa tubuh gempalnya menghilang di balik dinding dapur.             Bamantara berjalan mendekati Renata dan bertanya sekali lagi tentang apa yang terjadi.             “Aku hanya heran melihat sikapnya. Dia seperti ketakutan setiap kali melihatku.” Renata bergumam.             “Kamu sudah meninggalkan rumah ini enam bulan lamanya, Laura. Kebanyakan orang-orang berpikir kamu sudah meninggal. Semua orang yang melihatmu lagi saat ini mungkin memiliki ketakutan yang sama,” jawab Bamantara.             Renata tersenyum sinis mendengar argumentasi itu, “Ya. Kamu benar. Aku juga takut melihat bayanganku sendiri setiap kali bercermin.”   ***             Alya membuka pintu kamarnya dan terkejut melihat Renata berdiri di sana. Apa yang mendesak sampai dia merasa perlu mengetuk pintu kamarku ini?             “Boleh aku masuk?” Renata sebenarnya tidak menunggu persetujua Alya karena wanita itu melangkah dengan sangat mengintimidasi sehingga mau tak mau Alya menyingkir dan memberi jalan.             “Ada apa?” Alya tentu saja sangat terkejut dengan sikap Renata. Ah, hal-hal yang terjadi sejak kedatangannya di rumah ini lima hari yang lalu selalu penuh dengan kejutan. Caranya menatap, caranya berbicara, sikapnya di meja makan. Semuanya sangat berbeda dengan yang biasa kakak iparnya itu tampilkan selama lima tahun ini.             Renata tak menjawab. Matanya justru terlihkan dengan pigura-pigura yang tersemat di dinding kamar Alya. Ilustrasi-ilustrasi karakter kartun, gambar-gambar surealis, beberapa foto penghargaan, foto-foto Alya dalam pameran seni.             “International Emmy World Television Festival.” Renata bergumam membaca salah tulisan di salah satu foto. Sebuah backdrop bertuliskan demikian dan tampak Alya berdiri di sana membelakangi backdrop itu dalam balutan gaun hitam yang elegan. Renata lalu berbalik menatap Alya yang masih berdiri sembari menyedekapkan kedua tangan di ambang pintu. “Sepertinya kamu bukan actress.”             Alya tersenyum sinis. Sialan sekali. Dibandingkan dengan postur tubuh dan bentuk wajah Renata yang ideal, memang Alya tidak ada apa-apanya.  Kalau pun ada yang pantas menjadi artis, itu jelas adalah Renata.  “Yeah, I am not!” Ya. aku memang bukan artis!             “Ah, you should be an artist.” Ah, kalau begitu kamu pasti seorang seniman. Lanjut Renata, “Dilihat dari gambar-gambar di kamarmu ini. Kamu yang buat?”             Gadis berambut sebahu itu menaikkan kedua belah alisnya. Sejak kapan Laura tertarik dengan apa yang dikerjakannya selama ini? Lagi pula sejak kapan dia juga tertarik untuk membahasnya dengan Laura? “An illustrator.” Seorang illustrator. Alya mengoreksi. Dia tidak suka disebut seniman. Profesi itu terlalu adi luhung baginya. Ilustrator lebih terkesan sederhana. Lagi pula dia lebih suka menggambar hal yang mudah dipahami orang awam sekali pun.             “Interesting!” Seru Renata di luar perkiaraan Alya. Selama ini, selain Bamantara, tidak ada yang tertarik dengan profesinya. Tidak ada yang menghargai keputusannya. Alya menempuh sekolah bisnis, tapi justru sama sekali tak tertarik untuk berkecimpung di perusahaan mana pun. Dia lebih suka menggambar. Hal ini pernah membuat kedua orang tuanya murka. Arini dan almarhum Prima Wardana tidak pernah setuju membiarkan anak gadis mereka memiliki profesi yang ‘tidak jelas’ seperti itu. Kematian sang Ayah tiga tahun yang lalu-lah yang membuat ibunya kemudian melunak “Kamu membuat ilustrasi untuk siapa biasanya?”             Alya mengernyit. Terasa aneh sekali membicarakan hal ini dengan kakak iparnya sendiri. “Klien perorangan, agensi iklan, penerbit. Untuk campaign program, buku dan lain-lain.”             “Wah! Kamu pasti sangat berbakat. Sudah terima banyak penghargaan seperti ini.” Renata mengucapkan hal itu dengan tulus sambil mengedarkan sekali lagi pandangannya ke sekeliling kamar Alya.             “Tidak. Aku masih amatir.” Alya merendah, “Oh, ya. Ada keperluan apa sebenarnya Kak Laura datag ke kamarku?”             Renata memandang Alya sembari tersenyum. “Dion minta ditemani makan es krim di kedai depan sekolahnya. Katanya yang waktu itu dia pernah lihat aku makan es krim di sana.”             Alya tak memberikan reaksi apa pun.             “Bara sedang keluar. Dan aku tidak yakin aku tau di mana tempatnya. Maukah kamu menemani kami ke sana?”   ***             Setelah mengantre hampir setengah jam, saat ini masing-masing tangan mereka telah menggenggam satu corn es krim. Coklat untuk Dion, strawberi untuk Alya dan vanila untuk Renata. Mereka memilih duduk di luar kedai. Pemiliknya meletakkan bangku-bangku warna-warni beratapkan payung yang juga warna-warni di pekarangan kedai es krim bernama Rainbow Ice Bar itu.             “Jadi, di sini aku kecelakaan?” Renata mengusap mulut Dion yang belepotan es krim coklat. Anak kecil itu tertawa lalu kembali melahap es krimnya.             “Terima kasih Mama.”             “Sama-sama, Sayang.” Renata membalas.             Alya menatap adegan itu dan hatinya menjadi hangat seketika. Laura yang dikenalnya jarang sekali bersikap selembut itu pada Dion. “Ya, apa Kak Laura benar-benar tidak mengingatnya sama sekali? Itu sekolah Dion!” Alya menunjuk bangunan taman kanak-kanak di seberang jalan.             Renata mengikuti arah telunjuk Alya. Jadi, di sanakah Dion pertama kali melihatnya dan mencoba menerobos lalu lintas siang itu?             “Kak Laura menghilang sebelum Dion mulai bersekolah. Kalau di hari kecelakaan itu Kak Laura malah sedang makan es krim sambil memandangi bangunan sekolah Dion, itu artinya selama ini Kak Laura sebenarnya ada di sekitar kami. Kenapa Kak Laura pergi dan bersembunyi seperti itu?”             “Itu juga yang sedang aku pertanyakan pada diriku sendiri, Alya.” Renata menjawab santai. “Apa sebenarnya yang aku lakukan dengan menghilang selama enam bulan? Jika saja orang-orang tidak terus mengulangi cerita itu, aku tidak akan percaya aku melakukannya. Kira-kira apa penyebab aku pergi enam bulan yang lalu? Apakah kamu tau sesuatu?”             Alya menatap Renata dengan tatapan yang sulit wanita itu artikan. Dia kemudian mengedikkan bahu. “Kak Bara saja tidak tau. Bagaimana mungkin aku tau! Lagi pula, Kak Laura sangat tertutup. Mungkin ini pertama kalinya kita saling bercengkrama seperti ini.”             Renata terkejut mendengar ucapan Alya, “Oh, ya? Jadi, meskipun sudah lima tahun tinggal serumah, kamu tidak terlalu mengenalku?”             Alya menjilat krim beku di tangannya sambil mengangguk.             “Kalau memang kamu tidak terlalu mengenalku, lalu kenapa kamu dan ibu membenciku?” Renata terus mengejar. “Kenapa kalian seperti membenciku?”             Alya menghentikan segala aktivitas dengan es krim strawberi yang sedang digenggamnya itu. Dia terdiam. “Ah, itu….”             “Karena aku tidak tamat SMA sehingga tidak layak bersanding dengan Bara?” Renata menjeda bahkan sebelum Alya sempat melanjutkan kalimatnya, “Atau karena kamu dan ibumu pikir aku menikahi Bara hanya demi hartanya? Itu seperti bukan diriku.”             Alya memutuskan untuk tidak memberikan reaksi apa pun. Sepeti bukan dirinya? tentu saja dia bisa berkata seperti itu saat sedang hilang ingatan begini!             “Mulai besok, aku yang akan mengantar Dion ke sekolah. Sepertinya luka di kepalaku ini sudah jauh membaik,” ujar Renata.             Alya mengalihkan tatapannya pada bekas jahitan di kening Renata. Dia setuju tentang luka di kepala wanita itu yang tampaknya sudah jauh membaik. “Ya, aku rasa itu juga ide yang bagus. Mungkin dengan begitu hubungan kalian sebagai ibu dan anak juga bisa jauh lebih baik.”[] =+= Halo teman-teman, Mirror Mirror on The Wall ini adalah karya orisinal saya yang hanya exclusive ada di Innovel/Dreame/aplikasi sejenis di bawah naungan STARY PTE. Kalau kalian membaca dalam bentuk PDF/foto/video atau ada di platform lain, maka bisa dipastikan cerita ini sudah DISEBARLUASKAN secara TIDAK BERTANGGUNGJAWAB serta melanggar hak cipta (copy right). Jika kalian menemukan penyebarluasan illegal ini, saya mohon dengan sangat untuk dapat memberitahukan kepada saya melalui DM i********: @sabrinalasama agar oknum penyebar novel illegal tersebut dapat saya tindaklanjuti melalui jalur hukum. Terima kasih atas pengertian teman-teman semua. (Nina Ang)                             
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN