1. Istri harus mengerjakan semua pekerjaan rumah
2. Tidak ada skinship, apalagi seks
3. Dilarang mencampuri urusan masing-masing
4. Harus pura-pura mesra di depan orang tua
5. Tidak boleh membawa kekasih yang asli ke apartemen
6. Pihak yang tahu bahwa kami sudah menikah hanya keluarga dan teman terdekat
7. 150 juta per bulan
8. Tidak ada jam malam, tidak ada larangan untuk tidak menginap di apartemen
Jeremi Yudistira menyeringai puas setelah menulis ulang hasil voting keduanya terkait perjanjian. Beda lagi dengan Kanadia Agraf yang sekarang memberengut dengan tangan bersedekap menatap Jeri. Sebelum menempelkan materai 6000, Kana dan Jeri sempat bertengkar karena Kana meminta uang bulanan dinaikkan sedangkan Jeri mengajukan syarat bahwa perempuan itu harus mengerjakan semua pekerjaan rumah. Itu pun Jeri hanya menaikkan belanja bulanan sebesar 50 juta.
Tapi demi sepatu-sepatu keluaran terbaru yang tak ingin Kana ikhlaskan untuk orang lain, baiklah, Kana akan mengalah. Toh ia masih berada di semester empat dan belum sibuk-sibuk amat. Jadi mungkin ia bisa mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak. Kana meringis, pembantu dan istri sepertinya tidak jauh beda, ya?
"Nih, tanda tangan."
Usai Jeri menandatangani kertas tersebut, ia mendorongnya ke meja seberang. Lalu disentilnya bulpoin hitam agar menggelinding ke arah Kana. Kana berdecak, mau tak mau harus ikut tanda-tangan.
"Pelit amat jadi suami. Naik 100 juta, kek." Kana menggerutu.
"Berisik."
"Hih. Awas aja ya, lo, nanti malem pas elo tidur gue kekep muka lo pake bantal sampai gak bisa napas."
"Ya, ya, ya, terserah, gue tunggu."
Jeri membalas perkataan Kana sembari bangkit dari kursi, berlenggang santai ke arah kamar tidurnya. Tapi gerakannya membuka kenop pintu kamar terhenti, membuat Kanadia Agraf yang sedari tadi mengamati punggung Jeri penuh dendam jadi mengernyit. Jeri berbalik, kepalanya memutar menghadap Kana. "Setrikain kemeja putih gue, dong. Besok gue ada janji ketemu dosen."
Astaga, Jeremi Yudistira memang anak iblis!
✓
"Enggak, deh, kayaknya. Mager banget mau ke kos Gama."
Jeri sedang melakukan panggilan video dengan kekasih tercinta, Mella Melonica. Gadis itu terlihat cantik dengan pita di rambutnya dan memakai piyama merah muda. Apa Jeri pernah bilang bahwa tak pernah sedetikpun Mella terlihat membosankan di matanya?
"Eh, tapi kayaknya jadi, sih." Jeri menggaruk hidungnya. "Kasian juga dia lagi berantem sama Juli. Masa aku mau biarin dia galau sendirian?"
Di seberang sana Mella tertawa. "Berantem mulu perasaan."
"Tahu, tuh."
Tok tok tok!
"Jeeeeer!"
Tok tok tok tok tok!
"JERIIIIII!"
Suara cempreng di depan pintu kamar Jeri tentu terdengar sampai telinga sang pemilik kamar, dan pasti terdengar pula oleh Mella. Jeri panik. Ia yang sebenarnya sedang tengkurap dengan dagu bertumpu pada bantal sedangkan ponsel masih terhubung dengan Mella, jadi bergegas bangkit duduk dan menoleh ke arah pintu.
"Jer? Kamu lagi di apartemen sama siapa?"
Suara Mella membuat Jeri kembali menoleh pada ponsel. Tapi bukannya menjawab, ia langsung menaruh ponsel di bawah bantal. Berusaha meredam teriakan Kana agar tak terdengar di telinga kekasihnya.
"Jeeeer!"
Astaga, bisa tidak, sih, Kana sabar sedikit?
Jeri melompat turun dari kasur, hampir tersandung karena tak menjaga keseimbangan. Baru membuka pintu, Jeri sudah menyemprot perempuan di depannya. "Lo bisa gak, sih, jangan ganggu?!"
Kana terkejut. Ia jadi mundur selangkah. Selanjutnya ia berkacak pinggang, melotot tak takut pada Jeri. "Lo jadi disetrikain, kagak?!"
"Ya, jadi!" Jeri balas menyolot.
"Ya mana kemejanya, oncom!"
Oh, iya. Jeri lupa memberikan kemejanya kepada Kana—
"Apa yang mau disetrika kalau kagak ada bahannya!"
"Iya, iya, astaga, berisik banget kayak mercon!"
Jeri masuk ke kamarnya lagi. Mengambil kemeja yang ia letakkan sembarangan di atas televisi, lalu berjalan cepat kepada Kana dan melemparkan kemejanya. "Noh. Setrika yang bener! Harus licin, wangi, dan jangan sampe lubang!"
"Ye emang udah lubang, kok."
Jeri buru-buru mengambil lagi kemejanya, memeriksa bagian yang disebut Kana berlubang. "Mana ada!"
Kana merebut kemeja dari tangan Jeri. Menunjukkan bagian lengan, leher, dan bawah baju. "Nih, ini namanya lubang! Kalau gak ada lubang, mana bisa kemejanya lo pakai. b**o bener lo."
Jeri memijat keningnya yang seketika terasa cenat-cenut. Memang tak seharusnya ia berbicara dengan perempuan abstrak seperti Kana. Membuang-buang waktu!
"Serah." Jeri menoleh pada kasurnya, lalu teringat dengan ponsel dan Mella, jadi ia kembali memanggil Kana. "Heh, lo kalau ada di radar kamar gue, jangan bersuara. Lo kagak tahu gue tadi lagi telpon sama pacar gue? Gimana kalau dia curiga?"
"Ya, bodo amatlah?"
Jeri menggeram. "Lo mau gue aduin ke cowok lo kalau lo sebenernya udah nikah?"
"Enak aja! Langkahin dulu mayat gue!"
"Iya sini mati aja nanti gue langkahin dah tuh."
Dan seperti yang sudah-sudah, Jeri langsung meninggalkan Kana, tanpa merespon jawaban terakhir perempuan itu, dan menutup pintu kamar di depan hidung Kana keras-keras. Ia melompat ke atas ranjang serba abu-abunya, merogoh ponsel di bawah bantalnya. Hhh, gara-gara Kana, Mella jadi mematikan panggilan video mereka. Jeri yakin, sih, Mella tak marah. Toh perempuan itu tak pernah mengambil asumsi sendiri tanpa bertanya pada pihak utama.
Jadi Jeri memilih menekan tombol telepon dan mendekatkan ponsel ke telinga. Tak harus menunggu lama hingga suara merdu pacarnya menyapa gendang telinga.
"Halo, Jer?"
"Maaf, ya, tadi ada orang gangguin dikit."
Mella tertawa. Gadis itu memang suka tertawa, sih. Dan tawanya, tuh, gak yang jenis tawa cewek bar-bar kayak Kana. Mella tertawanya lembut banget, enak didengar.
Hhh, ngapain juga dibedain sama Kana. Batin Jeri malas.
"Emang siapa, sih, tadi? Tumben ada orang di apartemen? Biasanya cuman Bi Atik."
Jeri memutar otak. Dibilang pembantu lain, tapi kayaknya gak masuk akal. Ya kali pembantu tapi gedor-gedor pintunya se-gak sopan cara Kana tadi. "Ponakan, tuh."
"Ponakan?"
Hanya ditanya begitu, Jeri sudah ketar-ketir sendiri. Takut ketahuan bohong. Tapi harus bagaimana lagi? Tidak mungkin, kan, Jeri bilang, "istri gue itu."
"Iya, ponakan. Belakangan dia sering kesini."
"Ngapain sering kesana?"
"Eum— ya... main aja. Dia kan sekampus sama kita, jadi sering mampir."
"Oh, ya? Fakultas mana?"
"Psikologi."
"Semester?"
Kana semester berapa, ya? Jeri lupa. "Gak tau, lupa."
Mella tertawa lagi. "Bisa-bisanya gak tahu semester ponakan sendiri."
"Elah, ponakan doang. Bukan pacar." Tapi istri, tambah Jeri meringis dari hati.
"Hahaha. Kamu gak jadi keluar sama Gama?"
Gama? Oh, Ya Tuhan, hampir Jeri lupa! "Eh, iya. Ya udah aku tutup teleponnya, ya? Bye, i love you."
Ia membuka beberapa spam pesan dari Gama yang sudah memborbardirnya dengan segala u*****n dan nama-nama hewan. Jeri berdecak, sebenarnya malas harus keluar tapi, ya sudahlah.
Jeri membuka lemari, mengambil jaket hitam dan memakainya cepat-cepat. Menghampiri nakas dan mengambil kunci motor, lalu keluar dari kamar. Merasa tak perlu berpamitan pada Kana, ia melenggang keluar rumah setelah menyalakan lampu ruang tamu yang belum di hidupkan. Dasar Kana.
Aventadornya membelah kota Jakarta yang sedang ramai-ramainya. Gedung-gedung tinggi seakan berjalan mengejarnya karena Jeri mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi. Dering telpon membuat Jeri sedikit melirik ke dashboard, muncul nama Gama disana dan Jeri menekan tombol hijau.
"Ketemuan di Swill langsung, ye."
"Yoi."
Sudah, begitu saja dan Gama langsung mematikan telepon. Kadang Jeri tak mengerti mengapa Gama dan Juli benar-benar terlalu sering bertengkar. Padahal menurutnya, Gama dan Juli versi baikan adalah pasangan yang romantis dan saling pengertian. Walau terkadang diiringi sikap usil dan kekanakan Gama, tapi Juli yang dewasa bisa mengatasinya.
Bicara tentang pertemanannya dengan Gama, Jeri mengenal cowok itu semenjak awal jadi maba (mahasiswa baru). Dia yang dihukum karena terlambat, sama-sama harus menjalankan lari keliling lapangan kampus yang jaraknya luar biasa, kemudian bertemu dengan Gama yang ternyata dihukum juga karena tidak membawa atribut. Dengan segala keabsurdan sikap Gama, tiba-tiba lelaki itu merangkul bahu Jeri dan berkata, "woi malming kosong, gak? Swill bolehlah bareng sama yang lain."
Dulu Jeri adalah pelanggan terbaik Pao-Pao, tapi semenjak mengenal Swill dari Gama, Jeri jadi oleng kesana dengan tingkat alkohol lebih tinggi. Gama adalah definisi setan berwujud manusia, Jeri akui.
Setelah memarkirkan mobilnya, ia menyempatkan menyemprot parfum Tom Ford Tobacco Oud-nya hingga perpaduan whiskey, cinnamon, dan spicy langsung menyerbak seisi mobil. Jeri bersiul sebentar ketika berkaca di spion tengah. Lelaki itu memang sadar diri dengan ketampanannya yang luar biasa.
Memasuki ruangan penuh warna kerlap-kerlap ditambah musik yang memekakkan telinga, Jeri disambut dengan Gama yang terlihat sayu dan tak punya gairah hidup. Memang, ya, perempuan adalah racun bagi lelaki. Lihat saja sekarang, hanya karena bertengkar dengan Juli, mata Gama sampai menghitam di bagian bawah kelopak dengan tatapan malas. Tak bisa membayangkan bagaimana jika Gama putus dari Juli, mungkin temannya itu akan gantung diri di kos-kosan.
"Etdah, kayak baru pertama berantem aja, lo." Jeri menyenggol lengan Gama, membuat yang disenggol mengumpat gelas bir-nya hampir tumpah. "Juli sampe nangis, Jer. Gue g****k banget sumpah."
Kalau Gama sampai memanggil Juli dengan nama aslinya padahal biasanya ia akan menyebut Juleha, maka Gama benar-benar sedang berada di titik terlemah dalam hubungannya dengan Juli. Jeri mengangguk mencoba mengerti, "lo dari dulu emang g****k, sih. Tapi kali ini g****k lo soal apa?"
Jeri meneguk birnya, menatap Gama yang memainkan gelas di tangannya. Tatapan Gama melayang, fokusnya tak disini. Kalau ini masih Gama yang biasanya, mungkin Jeri sudah menoyor kepala Gama sekeras-kerasnya. Sebal karena sok serius.
"Lo inget gue ke Swill tanggal merah kemaren?"
Jeri mencoba mengingat maksud Gama. Lama karena ia memang lupa. Baru kemudian satu ingatan ketika Jeri menolak ajakan Gama mabuk malam itu karena ia harus menemani Mella menyelesaikan tugasnya. Jadi malam itu, pada akhirnya Gama mengabari bahwa ia akan ke Swill dengan teman perkumpulan SMA-nya saja. Yang Jeri tak tahu siapa. Jadi ia menganggguk. "Inget. Kenapa?"
"Gue mabok parah, anjing, pas itu. Gara-gara dicekokin temen gue."
Jeri mengangguk-angguk lagi. "Juli marah gara-gara lo mabok berat?"
"Kalau aja emang gara-gara itu, gue gak bakal segalau ini, man. Mabok mah udah hobi gue gimana Juli mau marah?"
Jeri berdecak. "Ya jadi apa?! Lo cerita muter-muter mulu perasaan. Jangan secuil-secuil gitu bikin kepo."
"Ye, kayak cewek aja lo kepo segala."
Jeri mendengus. Malas menanggapi.
"Gue tidur sama Bella."
"ANJING?!?!?" Jeri melotot sejadi-jadinya. "Bella? Bella mantan lo? g****k! Kok sampe ada Bella, sih?"
Gama mengusak rambutnya, terlihat kacau dan frustasi. "Kagak tau gue. Tau-tau udah ada Bella di sebelah gue pas pagi. Gila gak sih? Kacau banget gue sumpah."
Jeri jadi ikut bingung. Kaget juga, sih. Kaget banget. Bisa-bisanya Gama yang bucin (b***k cinta) ke Juli malah berani tidur sama cewek lain? Sama mantan sendiri pula. Sama mantan Gama yang selama ini Juli sinisin seumur hidup! Sampah banget, dah.
"Terus gimana ceritanya Juli sampe tau kalau lo tidur sama dia? Kan itu udah seminggu yang lalu gak, sih? Eh apa malah dua minggu?"
"Tadi pas gue balik kampus langsung jemput dia kan, di Pao-Pao lagi hangout sama temennya. Juli cerita kalau dia di telepon, tuh, sama Bella—"
"Are you serious, man?!"
Gama mengangguk. "Juli bilang Bella mau ngajak ketemuan. Juli gak ngeiyain, sih. Terus gue mikir, ini kayaknya ada hubungannya sama kejadian abis nge-Swill kemaren. Gak mungkin, dong, Bella ngajak ketemuan atas nama silahturahim? Tahik, kan? Elo tahu sendiri Bella sampe sekarang masih suka ngajak ketemuan gue."
Jeri mengangguk membenarkan. Ini dia alasan mengapa Juli sangat-sangat tidak suka dengan Bella. Karena Bella memang memperlihatkan betapa cewek itu masih menyayangi Gama dan berharap Gama kembali dengannya. Bahkan, pernah ketika Gama bersama Jeri di kantin fakultas, Bella yang bukan anak kampus sana tiba-tiba ke kantin kami dan ngambil duduk di meja kami. Cari mati banget, gak, tuh? Udah tahu ceweknya Gama anak kampus sana.
"Ya gue inisiatif lah, man, cerita duluan ke Juli soal yang terjadi antara gue sama Bella. Gue mikirnya dari pada dia tahu dari orang lain, apalagi dari Bella yang mulutnya cabe, mending dari gue, dong? Walaupun resikonya, ya, sama aja. Dia bakal marah."
Jeri menuang botol bir ke gelas Gama. "Rumit, sih, kali ini gue akuin. Soalnya bisa dibilang lo selingkuh, kan, Gam, kalau begini?"
Gama menghabiskan segelas bir dalam satu tegukan. Raut frustasi terpampang jelas di wajah lelaki itu. Jeri jadi kasihan sendiri.
Tapi sebagai sesama lelaki jantan, Jeri tidak bisa memberi saran seperti kebanyakan sesi curhat yang dilakukan perempuan-perempuan di luar sana. Ia hanya menepuk bahu Gama, menunjukkan bahwa Jeri akan selalu di belakang Gama, menemani sahabat karibnya ketika kehidupan mulai memburuk, atau apapun itu.
"Cheers, dululah, bro."
Jeri mengangkat gelasnya, mengajak Gama ikut serta tos gelas untuk mencairkan suasana. Gama menyeringai, menerima dengan senang hati.
"Pikir kalem aja dah, Gam. Gimana pun Juli juga sayang, kan, ke elo? Jadi dia pasti—"
Kalimat Jeri terhenti karena Gama mengangkat telapak tangannya menyuruh Jeri diam sebentar. Lelaki itu mengangkat telepon sembari berpamitan pada Jeri lewat gerak-gerik karena tidak mungkin bertelepon di dalam club , kan?
Melihat Gama sudah menghilang ke dalam lorong toilet cowok, Jeri memutuskan mengambil ponsel dan mengecek isinya. Ada beberapa pesan masuk. Kebanyakan dari grup kampus, namun ada juga dari Mella. Tanpa berpikir panjang, Jeri tentu memilih membuka pesan dari kekasihnya, tak peduli juga jika isi pesan masuk dari grup kampus adalah hal penting.
Jeri terkekeh kecil melihat foto Mella yang dikirimkan gadis itu kepadanya secara random. Dengan bertuliskan pesan lainnya yang berisi, "gabut banget jer", Jeri mengetik balasan.
Jeri : tumben gak nonton film apaan kek di laptop?
Jeri : biasanya gitu kan?
Tapi yang didapatkan adalah simbol satu centang, yang artinya Mella sudah mematikan ponselnya. Mengingat ini juga sudah pukul sebelas dan kemungkinan besar pacarnya sudah terlelap. Jadi Jeri memutuskan untuk mengirimi pesan lagi.
Jeri : udah tidur nih pasti?
Jeri : ya udah good nite ya babe
"Jer, kayaknya gue harus cabut, deh. Lo langsung balik juga, gak? Apa mau disini aja?"
Pertanyaan tiba-tiba yang ditujukan padanya itu membuat Jeri mengangkat kepala, menemukan Gama sedang mengantongi ponsel di saku celana dan ada senyum tertahan di bibirnya.
"Tumben lo balik jam segini? Biasanya nunggu pagi."
Gama menyengir. "Juli nyuruh gue ke rumahnya."
"Lah?"
"Doain dah semoga dia udah mendingan ngambeknya."
Jeri mengangguk saja biar cepat. "Iye-iye. Muka lo seneng amat kayak menang give away iphone."
"Ya elah kalau ngambeknya Juleha bisa dibeli pake iphone, udah dari tadi kali kita baikan."
Jeri mencibir. Bucin amat.
"Semoga aja lo disuruh ke rumahnya bukan karena dia mau minta putus."
"Anjing congor lo serem amat, Jer. Gue sumpahin lo, tuh, secepetnya putus sama Mella."
Jeri terbahak. "Mana mungkin."
✓
Jeri memasuki pintu apartemennya ketika jalanan Jakarta semakin ramai, yang artinya malam sudah sangat larut. Karena kota besar tersebut semakin malam memang semakin ramai. Semakin banyak orang-orang yang menghabiskan waktu di jam-jam tengah malam.
Jeri mengernyit, ketika ia membuka pintu dan semua lampu dimatikan sedangkan televisi di ruang tengah nyala terang-benderang. Melepas kaos kakinya, Jeri menuju ke arah saklar lampu, memencet tombol disana hingga kemudian ia menemukan kaki menjuntai dari arah belakang sofa.
Lelaki itu mendengus. Kana ternyata tertidur disana. Di sofa panjang yang menghadap ke arah televisi di ruang tengah. Berbantal lengan sofa, tak berselimut, berpiyama warna biru laut— sepertinya kebanyakan piyama Kana memang berwarna biru, berkaos kaki, dengan tidur yang kali ini tenang tak mendengkur seperti biasanya.
Jeri mengambil remote tv dan mematikannya. Ia hendak melangkah ke tangga atas dan segera merebahkan punggung namun perasaan tak tega tiba-tiba merayap dalam benaknya. Ada perempuan tidur di sofa, gak pakai selimut, gak pakai bantal, lo biarin, Jer? Gentle amat, lo.
Jeri berhenti di tengah anak tangga, tengah berpikir apakah ia harus mengambilkan bantal dan selimut miliknya, atau harus masuk ke kamar perempuan itu karena sebenarnya Jeri tak pernah sekalipun mengunjungi kamar Kana. Tapi dari dua pilihan yang sedari tadi ia tak mendapat keputusan, Jeri memilih berbalik, menghampiri Kana yang tak terusik meskipun kedua lengan Jeri merayap di belakang leher dan punggungnya. Jeri memilih menggendong gadis itu.
"Sadar gak sadar, lo emang selalu ngerepotin orang, ya, Kan," omel Jeri yang tentu saja tak didengar oleh perempuan tersebut.
Jeri membuka pintu kamar Kana menggunakan kakinya— karena kebetulan pintu kamar Kana tak tertutup rapat. Memasuki ruangan tersebut yang membuat wangi cokelat yang di padu wangi— entah apa namanya tapi yang pasti baunya lembut dan segar, merebak ke indera penciumannya.
Kanadia Agraf sama sekali tak berat. Bahkan seingat Jeri, dulu ketika ia menggendong Mella saat keduanya berlibur di pantai, Jeri sempat kelelahan padahal hanya menggendong beberapa langkah. Tapi Kana ringan, terlalu ringan. Entah mungkin karena semenjak menikah dengan Jeri, Kana jadi kehilangan berat badan? Haha, tapi Jeri tak peduli.
Usai menurunkan Kana di ranjang dan menyelimuti gadis itu, Jeri duduk di tepi ranjang membelakangi Kana. Matanya mengedarkan pandangan ke sepenjuru ruangan. Dulu ketika apartemen ini masih menjadi miliknya— maksud Jeri sebelum ia harus berbagi apartemen dengan Kana, kamar ini didominasi warna hitam dan putih— sesuai warna kesukaan Jeri. Tapi Kana memutuskan untuk menata ulang ruangan ini hingga sekali saja ada orang yang memasuki kamar Kana, akan tahu bahwa ini memang selera Kana sekali.
Bagaimana kamar tersebut serba biru muda dan putih, sprei yang berantakan— walau lebih berantakan kamar Jeri, meja belajar yang penuh peralatan make up dan skin care, tiga cermin besar— di meja, di sudut ruangan, dan di lemari, semerbak harum Kana, hingga poster-poster Kendall Jenner yang terpampang di dinding.
Jeri rasa sudah cukup mengamati kamar Kana. Matanya juga sudah mengantuk dan ia tidak yakin masih kuat untuk menelepon Mella seperti yang ia janjikan tadi kepada kekasihnya. Jadi Jeri bangkit dari tepi ranjang Kana, dan masuk ke kamarnya sendiri.
✓
Kanadia Agraf terbangun pukul tujuh pagi. Sebenarnya bangun dari pukul lima, sih, tapi karena matanya masih lengket, ia memilih untuk tidur saja, apalagi gadis itu memiliki jadwal kelas satu jam dari sekarang.
Membuka matanya setelah menguap, terduduk di ranjang sebentar sembari mengumpulkan nyawa, Kana mengerjap. Melihat sekeliling. Ia mencoba mengingat-ngingat. Dan, ya, benar. Gadis itu kebingungan mengapa ia bisa tidur di ranjang padahal Kana kemarin, kan, sengaja tidur di ruang tengah?
Niatnya, Kana ingin menonton acara penghargaan di Amerika Serikat yang dimainkan pukul setengah sebelas, tapi nyatanya Kana tertidur di sofa bahkan sebelum acaranya dimulai. Jadi pertanyaan Kana sekarang adalah, siapa yang membawanya ke kamar hingga menyelimutinya? Tidak mungkin Jeri, kan?
Oh, mungkin gadis itu berjalan sembari tertidur. Bisa saja, kan?
Usai membuka jendela dan gorden kamar lebar-lebar, Kana pergi ke dapur berniat membuat segelas s**u cokelat kesukaannya. Tapi ia baru ingat kalau..
Astaga, ia kan harus memasak sarapan!
Kana menepuk keningnya, cepat-cepat turun dari tangga, tak sadar bahwa ia melompati satu tangga hingga ia hampir jatuh. Hanya hampir, karena tiba-tiba Jeri berada di belakangnya dan memegangi lengan Kana.
Dengan penampilan sama kucelnya dengan Kana— yang artinya Jeri juga baru bangun, lelaki itu melotot. "Jangan ceroboh napa, sih?!"
Kana mendengus. Masih pagi juga, udah bentak-bentak aja. Batinnya sebal.
"Ya udah sih, maap."
Kana melanjutkan langkahnya, kali ini berjalan santai tak terburu-buru seperti tadi, diikuti Jeri yang berjalan di belakangnya. Sampai di dapur, Kana melirik Jeri yang mengambil air putih, selanjutnya Kana tak peduli lagi karena ia sibuk mengeluarkan bahan masakan dari kulkas.
Ngomong-ngomong, sekarang setiap malam, Kana akan menyempatkan diri untuk membuka youtube, mencari video resep makanan untuk dimasaknya esok hari. Seniat itu Kana agar tidak melanggar peraturan yang ia buat dengan Jeri.
"Lo mau masak apa?"
Tiba-tiba lagi, Jeri sudah berada di samping kompor, membuat Kana tekejut dan bangkit dari jongkoknya— karena ia sedang mengambil makanan di kulkas, dan malah berakibat lebih buruk lagi karena ia terbentur pintu kulkas atas.
"Bisa gak, sih, jangan kaget-kagetin!" sembari mengusap kepalanya yang berdenyut, Kana melotot pada Jeri. Dikira tidak sakit apa kepalanya. Apalagi ia terbentur sangat keras. Kalau tadi tidak ada Jeri, mungkin Kana sudah menitikkan air mata saking sakitnya.
"Orang gue ngomong santai juga!" balas Jeri jadi nyolot. "Lagian, barusan juga dibilangin jangan ceroboh, malah sekarang kepentok kulkas!"
Kana merengek kecil. Merasa sakit di puncak kepalanya tak kunjung hilang, ia memegangi kepalanya dengan kedua tangan, berjongkok di depan kulkas yang sudah tertutup rapat. "Huhuhu, mamaaaaa, sakiiiit!"
Jeri berdecak. Astaga, bocah banget, yak, ini anak? Kepentok doang sampai ngerengek-ngerengek memanggil mamanya. "Jangan alay, deh."
Kana mendongak, matanya yang berkaca-kaca menatap tajam ke arah Jeri. "Coba sini pala lo yang gue benturin ke kulkas biar ngerasain juga." Kana menunduk lagi, masih dengan merengek kecil. "Sial banget sih gue pagi-pagi udah dibikin badmood. Kemarin ketinggalan nonton British Award, sekarang kepentok kulkas. Huhuhu."
Jeri mencibir. "Masih untung udah gue gendong ke kamar. Coba kalau kemaren gue biarin tidur di sofa, pasti sekarang punggung lo udah patah-patah."
"Hah?"
"Apa hah-heh-hah-heh?!"
"Lo gendong gue ke kamar?"
"Menurut lo aja gimana? Terbang pas tidur sampai bisa pindah ke kamar?"
Kana merengut. "Tumben lo baik."
"Gue emang baik, kali. Kalau gak baik mana mungkin gue kasih lo 150 juta sebulan."
"Alah, belum juga 200."
Jeri menggeram. Dengan kesal, ia menghampiri Kana dan menoyor kepala gadis itu. Yang mana Kana jadi menjerit karena kesakitan. Air matanya otomatis turun. Memang sesakit itu. Kana berdiri. "Anjing, Jer! b*****t, ya, lo udah tahu gue abis kepentok—"
"Astaga, Kan, gue lupa, sumpah-sumpah!" Jeri panik. Lelaki itu benar-benar lupa kalau Kana baru saja kepentok kulkas. "Kan, sori-sori. Aduh, jangan nangis, woi."
Dengan gerakan refleks, Jeri mengusap kepalanya lembut. "Sakit banget, ya?"
Bibir Kana mengerucut. "Sialan lo."
Diumpati begitu, Jeri tertawa renyah. "Gak sengaja, Ya Tuhan. Maaf, kek."
Tak sadar bahwa tangannya terus mengusap kepala Kana hingga bermenit-menit kemudian.
✓