pusing di pagi pertama
Setelah drama menangis tersedu-sedu yang dilakukan Kanadia Agraf ketika hari pernikahan kemarin dilaksanakan dan berakhir sia-sia, atau usaha Jeremi Yudistira pura-pura pingsan saat di depan penghulu berakhir percuma pula, disinilah keduanya sekarang. Di apartemen mewah milik Jeri yang berada di kawasan tengah kota kebanggaan Indonesia, Kota Jakarta.
Apartemen yang biasanya menjadi tempat paling nyaman bagi Jeri, nyatanya pagi ini tak lagi begitu. Mengetahui bahwa ada penghuni lain di kamar tamu dan menyandang status sebagai istrinya, tiba-tiba Jeri merasa pusing tujuh keliling. Yang benar saja? Di usianya yang masih menginjak 23 tahun tetapi masih di semester akhir perkuliahan karena ia tidak bisa lulus tepat waktu, sekarang ia malah dihadapkan dengan sesuatu yang lebih menyebalkan, menjadi suami dari perempuan yang tidak ia cintai.
Usai memakai hoodie hitam favoritnya, ia berkaca sekali lagi, menghela nafas sekali lagi, dan mengumpat sekali lagi. Bagaimanapun semuanya sudah terjadi dan Jeri tidak bisa berbuat apa-apa. Tugasnya hanya satu, menyembunyikan Kana dari Mella, kekasihnya yang asli.
Kakinya mengayun malas ke kamar tamu, mengetuk pintu dengan tak santai berusaha membangunkan perempuan malas yang Jeri tebak masih tertidur pulas.
"Woi!"
Dok dok dok!
"Kan, bangun, elah!"
Dok dok dok!
"Kanadia Agraf!"
Dok dok dok!
"Gue dob—"
Pintu terbuka. Menampilkan Kana si pujaan kaum adam di kampus sedang menguap lebar-lebar, dengan piyama biru muda, rambut berantakan seakan-akan semalam perempuan itu b******a dengan hebat— padahal boro-boro b******a, menyentuh seinci kulit perempuan itu saja Jeri ogah.
"Apa lo liat-liat?!"
Teriakan Kana membuat Jeri mengerjap, terbangun dari lamunannya tentang Kana yang sangat berbeda dari Mella. Elah! Jelas saja berbeda. Mella yang cantik dan anggun mana bisa disandingkan dengan Kana yang.. ya, cantik juga, sih. Tapi tidak ada anggun-anggunnya!
"Gue mau berangkat ke kampus."
Kana mengangkat alisnya tinggi-tinggi. "Sooooo?"
"Lo gak ada kelas, kan, hari ini?"
"Ngapain lo nanya-nanya?"
"Gak ada, kan?"
"Iya, kagak ada. Sooooo?"
"Gue balik jam 4 sore."
Kana berdecak. Apa tidak bisa Jeri langsung mengatakan intinya tanpa berbasa-basi seperti ini. Atau memang lelaki itu ingin berbicara lebih lama dengan Kana? Hah, harusnya Kana sudah tahu itu!
"Ya, ya, terserah."
"Gue balik, apartemen harus udah bersih. Beresin kamar gue juga. Jangan lupa masak. Tapi karena di kulkas kagak ada bahan buat masak, jadi lo harus belanja ke supermarket dulu. Oke?"
Kana diam. Otaknya masih berusaha mencerna kalimat super panjang dari Jeri. Apa-apaan itu tadi? Jeri kira Kana pembantu?
"Hei, Tom and Jeri, lo kira lo siapa bisa nyuruh-nyuruh gue seenaknya?"
"Gue suami lo kalau lo lupa."
"Suami, my ass." Kana menempelkan pipinya di daun pintu, menguap sekali lagi. "Ogah. Gue ogah ngelakuin semua yang lo perintahin."
Jeri menahan bibirnya agar tak mengumpat dan mengeluarkan kata-k********r karena kesal. Ia memejamkan matanya sesaat, menghembuskan nafas pelan, lalu tangannya bergerak merogoh dompet di sakunya. Ia menarik salah satu kartu gold card nya, menunjukkan barang itu di depan wajah Kana. "Nih. Pakai ini buat belanja. Gue gak terima penolakan. Dan kartu ini, adalah bentuk gaji yang gue kasih ke elo. Pakai sepuasnya."
Kana bukan gadis yang terlahir dari keluarga miskin. Papa dan mamanya bahkan dikenal seluruh masyarakat Indonesia. Ia tak pernah kekurangan uang. Apapun yang ia mau, selalu ia dapatkan. Mungkin hanya butuh sedikit merengek pada sang Papa kemudian uang 100 juta akan berada di tangannya. Tapi diberi kartu emas yang tak akan habis walaupun dibelanjakan pesawat terbang dan seisinya, siapa yang bisa menolak?
Kana menyengir, tangannya yang memegang kenop pintu langsung naik ke atas bergerak mengambil kartu sebelum Jeri langsung menghindar. "Maksimal 100 juta perbulan. Gak ada negoisasi."
"Anjrit? Apa-apaan 100 juta perbulan jadi patokan maksimal? Minimal, dong! Yang bener aja."
"Minimal p****t lo? 100 juta itu banyak!"
"Selama gue ikut Papa, 100 juta cuman cukup buat jajan seminggu!"
"Sekarang lo ikut gue, bukan Papa lo."
Kana rasanya ingin menangis. Sudah cukup sengsara ketika ia harus menjalin ikatan rumah tangga bersama Jeri sedangkan yang ia memiliki kekasih sendiri yang teramat-sangat ia cintai, sekarang semakin sengsara ketika uang yang ia terima dalam satu minggu dari Papanya, harus dibagi menjadi satu bulan.
Kana merengek. "Jer, tega lo sama bini sendiri?"
"Bini, my ass." Jeri mengembalikan u*****n Kana yang tadi diberikan untuknya. "Udah deh, gak usah ngerengek. Gak mempan sama gue."
Selanjutnya, karena Jeri sudah muak dengan drama pagi hari, juga waktunya sudah mepet harus segera berangkat, ia melenggang meninggalkan Kana yang masih merengek. Tak peduli di setiap langkahnya diiringi u*****n dari Kanadia Agraf.
Dan baru Jeremi Yudistira akan menaiki aventador putih miliknya yang terparkir bersebelahan dengan porsche kuning milik istrinya, ia merasakan ada benda yang menghantam punggungnya. Ia menoleh terkejut, tangannya berusaha menggapai punggung, menggosok hasil lemparan sandal jepit yang pelakunya adalah Kana.
"Sialan! Sini, lo!"
Siapa bilang pagi pertama milik pengantin baru akan dihabiskan dengan b******u, saling melempar kalimat manis, atau mendamba satu sama lain?
Jeri dan Kana adalah contoh nyata pengecualian.
✓
"Morning, babe."
Jeri melemparkan senyum terbaiknya ketika sosok Mella memasuki mobil. Mella tersenyum, balas memberi kecupan singkat di pipi Jeri membuat lengkung bibir pemuda itu semakin lebar. Perkenalkan. Mella Melonica adalah kekasih yang sudah ia pacari selama empat bulan belakangan, dikejar sejak satu tahun yang lalu, dan Jeri mencintai gadis itu tanpa cela. Kalau Kanadia Agraf adalah perempuan bar-bar, tak ada manis-manisnya, hobi mengumpat, manja, dan segala jenis sifat buruk yang Jeri akan lelah jika disebutkan satu-persatu, maka Mella adalah kebalikannya.
Mella sosok pemalu— walaupun tidak sepemalu dulu ketika keduanya masih dalam proses pendekatan, pengertian, lemah lembut, dan apapun sifat baik di dunia ini yang Jeri yakini adalah milik kekasihnya.
Jeri tak percaya pada kalimat tak bertuan yang bilang bahwa jodoh adalah cerminan. Karena Mellanya, yang Jeri pastikan akan menjadi jodohnya— karena lelaki itu juga yakin bahwa ia dan Kana aka berpisah cepat atau lambat, adalah kebalikan yang hakiki. Layaknya antonim. Tapi bukankah jodoh adalah pembuktian dari sifat saling melengkapi?
"Parkir di timur gedung aja, deh, kayaknya. Gak ada yang kosong gini."
Jeri menoleh sebentar, tak perlu berpikir panjang untuk menerima pendapat dari Mella. Lagipula memang benar parkiran sudah penuh walaupun ini masih pagi. Entah, tidak biasanya. Tangannya bergerak memutar kemudi, matanya melirik cepat ke kanan dan ke kiri mencari tempat kosong hingga kemudian Mella memberi petunjuk.
Berada satu fakultas dengan kekasih sendiri adalah hal yang menyenangkan. Siapapun tak akan menyanggah ini. Hal yang membanggakan berada di samping Mella adalah seperti saat ini. Ketika ia dan Mella memasuki gedung dan membuat beberapa mahasiswa menoleh, tangan Jeri tak segan bergerak mengambil tangan Mella dan menggenggamnya.
"Jer.."
Mella tentu akan menolak. Gadis itu tak suka jadi pusat perhatian. Kalau Jeri, sih, bodo amat. "Pilih, deh. Digandeng apa dirangkul?"
Mella tertawa. "Digendong aja boleh?"
"Boleh. Sini-sini." Jeri sudah akan menundukkan punggungnya di depan Mella yang dibalas dengan pukulan ringan dipundak Jeri. Mella tertawa. "Ya kali, deh, Jer."
"Hahaha. Salah siapa coba nantang-nantang?"
"Aku bercanda!"
Mella masih tertawa. Merdu suara gadis itu menyapa pendengaran Jeri membuat ia gemas dan melepas tautan tangan mereka berganti mengacak rambut lembut milik kekasihnya."Lucu banget pacar siapa sih?"
✓
Mata elang Jeri memicing ketika dari belokan arah kantin, ia menemukan sosok Kana memasuki kantin. Jeri jadi bingung, dong. Pertama, ini kantin Fakultas Hukum dan Kana adalah mahasiswa Fakultas Psikologi. Kedua, bukannya Kana bilang hari ini tidak ada kelas? Dan yang terakhir, hell, Jeri baru tahu ternyata Kana memiliki kekasih. Terlihat dari cara Kana yang menatap penuh binar kepada lelaki di sebelahnya, padahal biasanya Jeri hanya menemukan tatapan sengak untuk dilayangkan pada orang di sekelilingnya, tentu lelaki itu bukan cuman teman, kan?
Setelah mengantar Mella ke kelasnya, Jeri sempat mampir ke kelas tempat seharusnya ia duduk manis disana karena lelaki itu harus menyelesaikan satu mata kuliah yang belum beres. Tapi baru lima menit ia duduk, Gamaliel Bagaskara alias Gama, datang menyusulnya, mengajak ke kantin, berjanji akan menraktir sebungkus rokok. Jeri menyeringai tergiur. Daripada harus pusing mendengarkan dosen, lebih baik melakukan apa yang ingin dilakukan, kan? Ia ingin sebat.
Kembali lagi pada Kana yang sudah terduduk tenang di salah satu meja kantin, bercakap dengan riang, lalu tiba-tiba mata perempuan itu menemukan keberadaan Jeri. Senyum Kana luntur, membuat batin Jeri memerotes.
Elah, dikira dia doang yang sepet pas ngeliat gue? Gue juga kali!
Jeri mengambil ponselnya, bergerak cepat menggulir layar mencari riwayat pesan di aplikasi Whats App karena Jeri tak menyimpan nomor telepon Kana. Jempolnya menekan kolom pesan, lalu satu jempolnya yang lain ikut bergabung menari di atas layar ponsel.
Jeri: Gue inget lo pagi bilangnya gak ada kelas
Dari jarak kejauhan, Jeri bisa melihat Kana melirik ponselnya, mengambil benda persegi tersebut, matanya terfokus disana, Jeri tebak sedang membaca pesan darinya. Lalu.. sudah. Begitu saja. Sekian menit Jeri menunggu balasan, nyatanya tak datang sama sekali. Kalau ini bukan di kantin, ralat, kalau hanya ada mereka berdua disana, Jeri tak segan-segan menoyor kening gadis itu.
Dari pada jenuh memikirkan perempuan sinting yang sayangnya berstatus sebagai istri cowok super tampan seperti Jeri, lelaki itu memilih menutup kolom pesannya dengan Kana dan mencari nama Mella disana.
Jeri: Udah selesai kelas?
Tapi sepertinya belum. Bisa dipastikan Mella belum selesai kelas karena perempuan itu tak lekas membalas. Jeri bersiul pelan, merasakan bosan luar biasa padahal Gama sedang heboh menceritakan pengalaman najis yang terjadi malam kemarin.
"Sumpah, Jer. Gak lagi dah gue pulang lewat sono. Serem banget dikejar b*****g!"
Jeri tertawa. Tawa jenis formalitas, sih, karena dia tak benar-benar mendengarkan. Getar ponsel yang sedang ia genggam tentu membuat perhatian Jeri kembali pada benda tersebut. Balasan dari Mella yang mengatakan bahwa ia sudah keluar kelas dan sedang berjalan menyusulnya ke kantin membuat lehernya memanjang mengamati. Hingga sosok yang ditunggunya muncul, Jeri langsung mengangkat tangan melambai, menunjukkan keberadaannya pada Mella.
"Halo, Mel."
Sebagai teman dekat Jeri, tentu Gama mengenal gadis tersebut. Walaupun tak kenal dekat, tetap saja Gama kenal. Hahaha, apaan banget, dah, bahasanya ribet kayak otak Jeri.
Mella tersenyum. "Hai, Gam. Sendiri aja?"
"Lah, kan sama cowok lo?"
Gadis itu tertawa. "Maksud gue tumben gak sama cewek lo?"
"Oh. Hahaha. Telmi banget gue pagi ini." Gama menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Juleha kelas sore."
Juleha itu panggilan yang disematkan Gama untuk kekasihnya, Juliana Fadeen. Padahal jika Juli mendengar Gama menyebut nama terkutuk itu, sudah pasti Juli akan ngambek sehari penuh. Tapi Gama tak peduli, toh kekasihnya sedang tak ada disini.
"Aku pesenin makan dulu, ya, buat kamu." Jeri berujar membuat Mella menoleh. Satu hal yang disukai Mella dari Jeri. Jika lelaki lain lebih banyak menanyakan 'udah makan atau belum?', Jeri lebih suka langsung bertindak tanpa banyak mengoceh. Seperti yang orang-orang bilang kebanyakan, bahwa perempuan lebih suka lelaki yang talk less do more.
Mella menahan lengan Jeri dan menggeleng. "Aku tadi udah sarapan." Jeri mengangguk kemudian kembali duduk.
"Sidangnya dua bulan lagi, ya?" Perempuan itu mengangguk membenarkan. "Kalau cepet beres, ya, sekitar dua bulan lagi. Doain, ya?"
"Pasti, dong."
"Kamu nih, apa kabar? Masa gak ada kemajuan padahal udah telat setahun lulusnya."
Jeri meringis. "Entar-entarlah."
Mengerti bahwa akan ada perdebatan kecil di antara Jeri dan Mella, Gama berdeham. "Ehm, gaes, gue pamit undur diri, ya." Lelaki itu menunjukkan ponselnya. "Udah dicariin nyonya."
"Lo bukannya mau nemuin Pak Irwan, ya?"
Kali ini gantian Gama yang meringis dan mengembalikan kalimat Jeri. "Entar-entarlah."
"Buseeeet. Gak ada akhlak lo, ye, ke dosen sendiri. Gue bungkus juga lo."
Mendengar kata bungkus, Mella dan Gama tertawa. "Hahaha, ngeri, bosku."
✓
Harusnya Jeri tahu kalau pulang ke apartemennya sendiri, sekarang bukan jadi tempat beristirahat tapi malah menguras emosi. Ia baru membuka pintu dan yang ia temui adalah beberapa perempuan— jangan tanya berapa tepatnya karena Jeri malas menghitung, berada di ruang tamu dengan bungkus makanan dimana-mana.
"Udah pulang lo?"
Pertanyaan yang dilontarkan Kana tak digubrisnya. Ia bahkan mendengar dengan jelas bahwa perempuan-perempuan yang lainnya sedang membicarakan Jeri. Lelaki itu sengaja menendang botol plastik yang tengah ia lewati, membuat Kana dan teman-temannya terkaget dan langsung diam, tak melanjutnya aksi menggosip di depan objeknya sendiri.
Jeri berbelok ke arah dapur dan menemukan meja makan yang sangat-sangat bersih. Ini bukan sarkasme. Tapi meja makannya memang kinclong seperti baru dilap. Tapi tentu bukan ini yang Jeri mau. Ia lapar. Perutnya keroncongan dan tak sempat mampir kemanapun karena ia pikir Kana juga tak akan tega membiarkan Jeri kelaparan padahal sudah diminta untuk memasak. Tapi lagi-lagi Jeri salah. Tambah lagi, Jeri bodoh. Bodoh karena berpikir bahwa Kana akan menurutinya. Hah, mana mungkin!
Ia berbalik, berjalan ke arah kamar, menutup pintu kencang-kencang, dan tanpa mencopot sepatu atau berganti baju, Jeri melemparkan tubuhnya ke ranjang. Memejamkan mata dan berharap ketika ia terbangun, ia sudah merasa kenyang entah makan apa dalam mimpi. Karena sebenarnya Jeri juga malas memesan makanan lewat ponsel, dan matanya sudah tidak kuat untuk terbuka lebih lama lagi.
Kalau ada penghargaan untuk manusia dengan bakat penghancur suasana hati terbaik, Jeri yakin Kanadia Agraflah pemenangnya.
✓
Ternyata Jeri ketiduran hingga keesokan harinya. Hal yang bahkan jarang sekali Jeri lakukan karena lelaki itu tipe orang yang tak bisa tidur terlalu lama. Ia hanya merasa sesekali terbangun karena lapar, perutnya keroncongan, tapi Jeri memilih melanjutkan tidur. Sadar bahwa jika ia bangun dan menemukan Kana dengan sikap menyebalkannya hanya akan membuat Jeri muak dan kelelahan sendiri.
Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah delapan. Memakai sandal rumahan yang berada di bawah ranjangnya, Jeri memilih bergegas ke dapur untuk menemukan sesuatu yang bisa ia makan. Kalau benar tidak ada, mungkin Jeri akan memilih memasak mi instan yang tersedia satu kardus dan belum dibuka.
Kali ini apartemen terlihat lebih rapi, walaupun tidak serapi ketika Jeri meminta Bi Atik yang membersihkan. Tapi setidaknya terlihat lebih wajar. Jeri mencoba mengingat apakah ia ada janji pertemuan dengan dosen atau tidak. Tapi, tidak. Jawabannya tidak. Mungkin hanya ada kelas siang dan itu masih sekitar empat atau lima jam lagi. Aman.
Ia membuka kemasan mi instan tepat ketika teriakan cempreng dari istri tersayangnya terdengar memekakkan telinga.
"Stop! Stop! Jangan bikin mi. Gue udah beli bubur di bawah."
Sambil menenteng dua plastik bening, Kana berlari terbirit-b***t ke arah dapur. Jadi Jeri memilih mundur, membiarkan Kana yang menyiapkan. Dari kemaren, kek, kayak gini! Sebenarnya Jeri ingin memerotes begitu, tapi ia malas mengeluarkan suara.
"Gue kuliah pagi. Jadi nyempetin sarapan di rumah karena aku tuh anaknya gak bisa ke kampus dengan melewatkan sarapan, Kak." Tiba-tiba Kana menyerocos. Jeri mendengus. Dikira Jeri peduli?
"Oh, kalau elo gak ada kuliah pagi lo gak bakal siapin sarapan?"
Kana mengedikkan bahu. Lewat pergerakan menunjukkan bahwa ia menjawab Jeri dengan kalimat, "yaaaaa, gitu deeeeh."
"Gue ngasih lo gold card biar lo bisa nyiapin makanan buat kita berdua. Bukan asal lo udah makan terus gue gak lo peduliin."
"Emang lo mau gue peduliin?"
Nah, kan. Baru beberapa kalimat yang dikeluarkan Jeri, Kana selalu memiliki jawaban yang membuatnya pening. Kepalanya ingin pecah.
"Balikin gold card gue."
Tangan Kana yang sedang membuka bungkusan bubur jadi berhenti. Ditatapnya Jeri dengan tatapan tak terima. "Mana bisa!"
"Bisa. Siniin."
"Kata Papa semua urusan gue udah pindah ke lo penanggung jawabnya!"
"Lo ngomong gitu harusnya ngaca. Gak cuman gue, kan, yang punya tanggung jawab ngasih duit belanja biar lo gak kelaperan dan kebutuhan lo gak terpenuhi? Lo juga harus ngelakuin tanggung jawab lo sebagai istri!"
Mata Kana memicing. "Lo minta gue ngelayanin lo di ranjang?"
Jeri melotot. Astaga, otak Kana terbuat dari apa, sih? Kok malah nyambungnya kesitu?!
"Gue gak butuh itu dari elo. Yang gue maksud tanggung jawab lo sebagai istri, itu nyiapin keperluan gue. Toh gue gak minta lo setrikain baju dan lain-lain. Gue cuman minta ada makanan di meja makan setiap kali gue laper. Ini Papa lo sendiri, loh, yang pesen ke gue, kalau lo disuruh belajar ngelakuin pekerjaan rumah."
Kana menggeser mangkuk bubur satunya untuk Jeri, mempersilahkan lelaki itu untuk segera makan. "Well, sebagai cowok, lo terlalu banyak omong, ya?"
"Bisa gak sih, Kan, sekali aja lo waras? Dengerin gue ngomong apa, lakuin."
"Ya ngomong aja sama cewek lo sendiri. Pasti bakal didengerin."
Mendengar kalimat itu, Jeri jadi teringat dengan Kana yang tadi pagi muncul di kantin fakultasnya dengan seorang laki-laki. "Heh, Kana-kiri."
Kana hampir terbahak mendengar Jeri memanggil namanya seenak jidat. "Hah?"
"Gue baru tahu lo punya cowok."
"Ha—" Kana mengatupkan bibirnya tak jadi bicara. Mungkin karena tadi ia bertemu Jeri ketika bersama Richo, batinnya menebak. "Oh. Kenapa? Lo juga punya cewek, kan?"
"Hm."
"Terus fungsinya lo bahas ini apaan, oncom?!" Kana juga tak habis pikir dengan lelaki di seberang mejanya ini.
"Ya gak papa. Kan gue bilang, gue baru tahu kalau elo punya cowok."
"Lo kira gue gak laku?!"
Jeri memutar bola matanya. "Serah. Malesin banget emang ngomong sama lo."
"Orang elo duluan yang ngajak ngomong."
Telinga Jeri bisa-bisa berdenging karena mendengar suara nyolot dari Kana terus-terusan.
"Kok bisa, ya, banyak yang suka sama Kana?" Jeri menggerutu lirih, tapi ternyata telinga Kana berfungsi sangat baik hingga Kana membalas kalimatnya. "Termasuk elo?"
Ya Tuhan, Jeri sekarang sadar mengapa Gama selalu memperingatkannya untuk berhenti memiliki kepercayaan diri terlalu tinggi karena ternyata orang yang seperti itu memang menyebalkan!
"Amit-amit banget, gak tuh, suka sama lo?"
"Imit-imit bingit gik tih siki simi li."
"Bokap gue setega itu nikahin gue sama cewek siluman alien kayak lo."
Tapi Kana hanya menatapnya malas sembari menyuapkan satu sendok ke mulutnya. Perempuan yang hari ini dibalut celana kain berwarna kuning cerah dengan atasan kemeja berlengan pendek putih tulang itu tak memberi jawaban apapun. Seolah-olah kalimat panjang— atau super panjang sedari tadi hanyalah angin lalu. Tak perlu didengarkan.
Jeri menarik nafas dalam-dalam. Mencoba sabar. Ia mengangkat kepalanya lagi menghadap Kana. "Kayaknya kita harus bikin perjanjian."
"Berasa di film-film, dah."
"Kan, gue serius."
"Pan waktu elo ngucap ijab kabul kagak serius juga."
Anjir benar Kanadia Agraf ini. Jeri jadi tak paham mengapa para lelaki di kampus sangat-sangat menyukai perempuan semacam Kana yang otaknya jelas berada di lutut. Selain cantik— ehm, ini Jeri terpaksa mengakui— memang apa yang bisa dibanggakan dari Kana? Tidak ada!
Jeri berdiri, tak peduli dengan bubur yang padahal lelaki itu tadi sempat tergiur untuk mencicipinya, namun bahkan untuk mencicip, saat ini saja Jeri sudah tak merasa lapar. Ia melangkah cepat ke arah kamarnya, mengambil bulpoin dan merobek kertas di buku yang tergeletak di atas nakas miliknya, kemudian melangkah cepat lagi ke arah dapur.
"Nih."
Kana mengangkat alisnya tinggi-tinggi tak mengerti. "Apaan?"
"Kita bikin perjanjian. Tulis apapun yang lo mau dan lo gak mau dari gue, dan gue bakal tulis apa yang gue mau dan gue gak mau dari lo."
"Contohnya?"
Astaga, Kana memang sebodoh ini atau bagaimana sih?!
"Tulis aja apa yang lo pingin dari hubungan rumah tangga kita. Aduh, amit-amit dah ngomong rumah tangga kita." Jeri menyerocos sendiri. "Pokoknya lo mau gue gimana. Tulis disitu. Lo bisa nuntut hak lo ke gue. Dan kita gak bisa ingkar janji karena gue bakalan beliin materai 6000 nanti dan gue tempel disini." Telunjuk Jeri menunjuk kertas kosong tersebut. "Jadi kalau salah satu dari kita ngelanggar, bakalan ada hukumannya."
Kana mendengus. Sedetik kemudian ia memasang wajah sumringah. Jeri menatapnya bingung. "Eh, bener juga, sih. Kita emang harus beginian."
"Nape lo tiba-tiba kesenengan?"
"Kepo amat, dah!
Jeri diam. Lelah sekali paginya dihabiskan dengan mengomel sepanjang ia mengobrol dengan Kana.
"Ini ada maksimal minimalnya, gak?"
Jeri menatap langit-langit untuk berfikir. Tapi belum ia mengatakan apaoun, Kana sudah menyela. "Gak usah, dah. Gue juga gak nuntut banyak-banyak."
Jemari lentik gadis itu bergerak menulis di atas kertas putih, Jeri menopang dagu dengan malas. "Udah belum, sih? Lama amat kayak nulis pidato."
"Bacot, ya, suamiku."
Kini Kana ikut menopang dagu. Matanya bergerak menatapi barang-barang di apartemen, memikirkan hal apa lagi yang harus ia tulis disana.
"Udah belum?"
"Ya Allah, Jer, set dah. Sabar napa."
"Gue mah gak kurang sabar sama elo, Kan."
"Ya, tambahin lagi sabarnya!"
"Lo daripada bacot mending cepetan tulis, anjir."
"Lo duluan yang ngajak ngobrol."
Kalau Jeri kanibal, mungkin Jeri sekarang sudah mengunyah daging Kana dengan lahap saking emosinya menghadapi jelmaan Kekeyi itu. Sekali lagi, Jeri tak mengerti mengapa orang tuanya setega itu untuk menjodohkan pria tampan, kaya, dan terkenal seperti Jeri dengan makhluk berwajah manis berkelakuan minus seperti Kana.
Padahal, jauh dari lubuk hati Kana, perempuan itu juga tengah memaki tentang betapa berubahnya kehidupan yang ia jalani sekarang dengan sebelumnya. Hhh, Jeri kira hanya dia yang susah? Kana malah lebih parah. Kana tak biasa mendengarkan orang mengomel karena papa dan mamanya jarang marah— yang sebenarnya karena hal itulah Kana jadi tumbuh menjadi gadis manja yang tak pernah mau mengalah dan merasa ditindas, tapi bagaimana lagi?
Dan menyadari bahwa Jeri adalah lelaki cerewet, bawel, banyak bicara, berisik, dan apapun sinonimnya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kana merasa tak bisa lagi menjalani hidupnya dengan tenang.