Perjalanan Keyli terasa tak berujung, setiap langkah memakan waktu seolah selamanya. Aspal yang pecah-pecah di bawah telapak kakinya yang tipis terasa menusuk, dan dinginnya malam merayapi tulang-tulangnya. Rambutnya yang acak-acakan dan pakaiannya yang kotor mencerminkan penderitaan yang baru saja ia lalui. Namun, di tengah keputusasaan yang pekat, secercah cahaya samar di kejauhan menyelinap, bagai bintang kecil di langit malam yang gelap yang menawarkan petunjuk arah. Harapan kecil itu mendorongnya untuk mempercepat langkah, meskipun kakinya terasa berat bagai timah yang baru saja ditempa, dan setiap ototnya menjerit nyeri, memohon untuk berhenti. Semakin dekat, cahaya itu semakin jelas, memancar dari sebuah bangunan kecil yang menyerupai pos jaga atau mungkin warung pinggir jalan yang

