Runi meminta izin kepada keempat orang yang sedang duduk. Salah satunya laki-laki yang bernama Pak Sandi. Beliau sedang menunggu pesanannya datang. Tak hanya itu, Runi kikuk saat sosok laki-laki yang duduk di sebelah Liana selalu saja memerhatikannya. d**a Sandi kian bergemuruh saat menatap sosok wanita itu.
Memang bukan pertama kali melihat wanita cantik. Akan tetapi, sosok wanita di depannya seperti memiliki magnet tersendiri yang bisa menarik perhatiannya. Mata elang itu, tidak mau berhenti menatap. Ada rasa kehilangan saat berkedip. Sangat aneh. Sandi bahkan merasa heran dengan dirinya.
Sandi lupa belum berkenalan dengan sosok wanita cantik yang ada di depannya itu. Runi sama sekali tidak terpengaruh dengan tatapan Sandi. Akan tetapi membuatnya risih. Tidak nyaman. Seolah seperti terdakwa saja, yang mengerjakan apa pun pasti akan diperhatikan oleh petugas.
Diam-diam Sandi tersenyum. Wanita cantik di depannya mengalihkan perhatiannya. Ah ... hati Sandi terlalu cepat jika mendadak berdebar saat bertemu dengen Runi. Belum ada dua puluh jam mereka saling mengenal. Semudah itukah untuk jatuh cinta pada sosok guru magang itu? Entahlah.
Sandi selalu mengamati apa saja yang Runi lakukan. Seperti saat ini, wanita cantik itu makan. Seperti orang pada umumnya makan, tapi bagi pria berhidung bangir dan rambut cepak itu kegiatan Runi sangat menarik hatinya. Gerakan menyuapkan makan masuk ke mulut wanita cantik itu membuatnya kagum. Tidak ada gengsi, bahkan saat bakso pedas itu masuk ke mulut mungil itu.
Runi tidak gengsi saat harus berkeringat ketika pedasnya bakso masuk ke mulutnya. Tak jarang, ia mengelap keringatnya yang bercucuran. Pemandangan seperti inilah yang membuat Sandi kagum. Jika biasanya wanita tidak mau berkeringat, sosok di depannya justru sebaliknya.
Matanya tak ingin pindah menatap yang lain. Hanya Runi saat ini dunianya. Wanita yang ditatap akhirnya menyadari jika ada yang memerhatikannya. Seulas senyum Runi berikan untuk Pak Sandi sebagai bentuk sopan-santun. Sosok wanita itu sebenarnya risih jika ditatap terus-menerus. Mengabaikan seperti tadi pun saat ini tidak bermanfaat. Justru membuatnya salah tingkah dan ingin menghentikan acara makannya.
Dada Sandi berdebar melihat senyum menawan dari Runi. Jatuh cinta, tapi terlalu cepat untuk memutuskan rasa itu. Entahlah, tetapi hati pria berhidung bangir itu berdebar sejak pertama melihatnya. Jatuh cinta pada pandang pertama? Boleh dikatakan seperti itu. Akan tetapi, terlalu cepat untuk merasakan jatuh cinta.
Runi yang mulai tidak nyaman dengan tatapan Sandi memberanikan diri mengangkat wajahnya. Ia menatap sosok laki-laki itu dengan pandangan bertanya. Tidak dipungkiri, Runi pun merasa takut jika ada lawan jenis yang menatapnya dengan tatapan yang entahlah. Ia sadar diri akan statusnya juga trauma pasca perceraiannya dengan Renjana. Runi pun memberanikan diri untuk bertanya pada sosok laki-laki yang berada di depannya itu.
"Maaf, kenapa melihat saya seperti itu?" tanya Runi yang tak nyaman dengan tatapan Sandi. Bahkan, laki-laki itu masih menatap dengan tersenyum lebar.
Sandi yang belum menyadari jika ada pertanyaan dari Runi pun masih setia menatap dengan penuh cinta sosok wanita yang ada di depannya. Otaknya berpikir jika semesta sedang berbaik hati padanya. Mempertemukan kembali dengan sosok yang ditemuinya di perpustakaan tadi. Sayangnya, tugas dari ketua yayasan tidak bisa ditunda dan harus dikerjakan. Sandi tidak bisa berkenalan dengan sosok wanita cantik itu.
Runi kembali mengulang pertanyaannya dan melambaikan tangan ke depan wajah Sandi. Ia tidak ingin ada guru yang melamun kemudian kesurupan. Sangat menyeramkan jika hal itu sampai terjadi. Sandi tergagap saat menyadari dan mendengar pertanyaan Runi. Ia malu kepergok mengamati wanita cantik di depannya. Sudah kepalang basah mandi sekalian. Sandi tersenyum dan memikirkan jawaban yang tepat untuk Runi.
Sandi tidak ingin mendapat malu untuk kedua kalinya. Ia benar-benar memikirkan pertanyaan yang sekiranya bisa diterima oleh akal sehat wanita yang telah mencuri hatinya hari ini. Sandi tidak ingin melewatkan kesempatan untuk bisa mengobrol dengan sosok yang ada di depannya itu.
"Guru baru ya?" Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Sandi. Entah bagaimana kinerja otaknya, mendadak tumpul dan tidak bisa memikirkan apa pun.
Sandi pun terkejut saat mendengar kalimat pertanyaan yang keluar dari mulutnya itu. Padahal biasanya sangat lancar jika bertanya tentang suatu hal. Bukan karena dirinya sosok yang play boy, tetapi untuk membuat pertanyaan adalah hal yang mudah bagi dirinya. Akan tetapi, kali ini mengapa sangat sulit? Sangat aneh dan membingungkan.
Sandi ingin sekali pergi secepat kilat. Malu dan tak tahu harus berbuat apa. Aneh, rasanya lidahnya seperti tak bisa mengucapkan sepatah kata alasan yang tepat untuk Runi. Alasan memandang wajah cantik itu. Wajah yang membuat dadanya berdebar sejak tadi. Sandi bahkan tidak menyadari jika bakso pesannya sudah berada di depan mejanya.
"Yee ... si Bapak, 'kan aku dah bilang tadi. Miss Runi itu guru baru ngajar di SD kelas lima." Jawaban itu justru keluar dari Liani. Sungguh, Sandi sangat malu saat ini.
Runi tersenyum menanggapi jawaban dari Liani. Merasa lucu saat gadis itu menjawab pertanyaan dari Pak Sandi. Seolah gadis itu sangat emosi karena perkataannya tidak di dengar oleh sang guru. Sandi bertambah malu ketika Runi menatapnya sekilas kemudian tersenyum ke arahnya.
Untuk menghilangkan rasa malu akibat ulahnya itu, Sandi segera memakan bakso yang ada di depannya. Ia melihat mangkuk bakso milik Runi yang masih tertinggal sepertiganya saja. Gegas Sandi makan dengan cepat agar tidak tertinggal oleh wanita cantik itu. Entaglah, mendadak tingkahnya bergantung pada sosok wanita cantik yang ada di depannya itu.
"Iya, saya guru baru, masih magang juga. Lusa baru mulai mengajar. Hari ini dan besok masih observasi dan mempersiapkan materi ajar." Runi menjelaskan dengan sabar. Ia menatap sosok laki-laki yang sedang makan bakso yang sama persis dengan yang dipesannya.
Setelah menjawab pertanyaan dari Pak Sandi, Runi segera melanjutkan acara makan bakso miliknya yang tertunda sejenak. Baksonya sudah sedikit dingin. Akan tetapi masih tanpak lezat. Tidak ada obrolan lagi di antara keduanya. Baik Runi maupun Sandi sibuk menikmati bakso di mangkuk masing-masing.
"Miss Runi dan Pak Sandi, kami duluan, ya." Ketika murid SMP itu berpamitan karena sudah selesai makan. Setelah jam istirahat kedua, mereka kelas sembilan akan ada latihan soal dari masing-masing guru yang mengampu pada jam pelajaran itu.
Runi dan Sandi mendongak menatap ketiga gadis belia itu. Bahkan Sandi belum sempat menganggapi jawaban dari wanita yang membuatnya salah tingkah siang ini. Runi tersenyum ke arah ketiga anak-anak SMP itu dan mengangguk sebagai jawaban. Setelah ketiganya pergi, barulah Sandi menanggapi jawaban dari Runi, dan memberikan semangat.
"Wah, semoga lancar ya, Miss Runi," Sandi mengatakannya dengan tulus sebagai bentuk dukungan pada Runi.
Perkataan Sandi membuat Runi menatapnya heran. Mengapa mendadak memberikan dukungan? Padahal sedang tidak ada obrolan apa pun di antara mereka berdua. Sandi tidak melepaskan pandangan itu. Kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan sama sekali. Mata wanita itu menyihirnya, ada banyak rasa penasaran yang bersemayam di kepalanya tentang sosok Runi.
Runi hanya mengangguk sebagai jawaban. Entah mengapa dirinya merasa tak nyaman saat Sandi menatapnya tadi. Wanita cantik ini masih belum bisa berpaling sepenuhnya dari sang mantan suami. Rasa sakit itu masih nyata terasa. Bahkan, hampir setiap malam ketika kedua orang tuanya sudah tertidur, Runi diam-diam menangis mengingat sosok Renjana Agung--mantan suaminya itu.
Cinta Runi pada Renjana sesungguhnya begitu dalam. Delapan tahun membina rumah tangga bukanlah waktu yang sebentar. Ada suka, duka, tawa, canda, dan tangisan mewarnai setiap langkahnya. Jatuh bangun membangun biduk rumah tangga mereka berdua lalui dengan tidak mudah. Banyak waktu yang dikorbankan untuk saling belajar memahami satu dengan yang lainnya.
Keputusan bercerai adalah hal terberat untuk Runi. Keputusan yang dibuat kala itu berdasarkan emosi, sayangnya Renjana-nya tak peka. Sejujurnya wanita cantik ini ingin sang mantan suami berjuang untuknya. Meraih hatinya kembali, bersama memulai dari nol. Sayang hal itu hanya khayalan Runi semata. Sang suami tidak ingin memperjuangkannya sekali lagi. Memulainya dari nol tanpa bayang-bayang wanita lain.
Renjana justru memilih Jelita dengan alasan anak mereka. Bukan pilihan yang menguntungkan untuk Runi ataupun pria dengan sepasang lesung pipi itu. Hatinya sama hancurnya dengan sang mantan istri. Hati Renjana telah mati untuk wanita manapun. Jelita mencoba membuka hati sang suami dengan berbagai cara, sayangnya tidak berhasil sama sekali. Pria itu mendiamkannya seribu bahasa.
Berat memulai rumah tangga dengan Jelita. Wanita itu, hanya bisa meminta tanpa memahami apa yang terjadi. Sekarang bisa tinggal di tempat yang layak saja karena kebaikan sang mantan istri memberikan rumah itu. Semua barang milik Runi telah diambil setelah sah mereka bercerai. Ada rasa sakit ketika semua barang pribadi milik sang mantan istri diambil oleh orang kepercayaan Pak Subroto.
Runi bahkan tidak membawa barang pemberian dari sang mantan suami. Rasanya terlalu menyakitkan jika membawa barang-barang itu. Banyak kenangan dalam setiap pemberian Renjana. Oleh karena itu, lebih baik ditinggalkan saja. Runi hanya membawa foto terakhir bersama Renjana. Itu pun tidak di pasang di meja yang ada di kamarnya. Foto itu diletakkan dalam sebuah kotak kertas yang disimpannya di dalam lemari paling bawah. Runi tidak pernah membukanya sejak perceraian itu.
Semenjak bercerai dengan Runi, Renjana lebih banyak berdiam diri. Tempat usaha pembuatan boneka milik Runi telah beralih tangan pada Pak Rafi, orang kepercayaan keluarga sang mantan istri. Tidak mungkin untuk pria dengan sepasang lesung pipi ini tetap bekerja di sana. Indah juga keluar dari tempat usaha itu. Rasanya malu jika masih bekerja di sana. Runi ataupun yang lainnya tidak memecat mantan suami dan mantan adik iparnya itu. Mereka sendiri yang memutuskan untuk berhenti bekerja.
Ada rasa malu di hati Renjana jika masih memaksakan bekerja di tempat itu. Pontang-panting mencari pekerjaan, akhirnya ia mendapatkannya. Menjadi seorang sales sebuah produk es krim. Tak apa, yang penting bisa menghidupi keluarga dengan pekerjaan yang halal. Hasil setiap harinya sangat jauh jika dibandingkan saat bekerja di tempat Runi dahulu.
Renjana setiap sore pulang pukul lima dan pagi berangkat pukul enam. Mengantarkan es krim salah satu produk lokal ke setiap warung yang ada di sekitar Solo dan daerah lainnya. Ia menggunakan motor butut miliknya untuk kembali bekerja. Jangan tanyakan berapa gaji Jelita, wanita itu hanya memiliki sisa gaji sebesar dua ratus ribu rupiah setiap bulannya. Potongan pinjaman di bank sudah melampaui batasnya. Beruntung gajinya tidak minus alias harus membayar lagi.
Sore ini Renjana baru saja pulang kerja. Seperti biasanya, ia akan duduk di teras rumahnya terlebih dahulu. Memandang tanaman milik sang mantan istri yang ditinggalkan oleh pemiliknya itu. Ada beberapa yang mati karena tidak ada yang merawat. Entah mengapa, hati Renjana sedikit tenang ketika melihat tanaman itu. Lamunannya buyar ketika Jelita datang dengan penuh emosi.
"Mas, mau sampai kapan bersikap dingin seperti ini?" tanya Jelita pada sang suami sambil menggendong Kumala.
Renjana menoleh ke arah sumber suara itu. Ia sangat benci dengan sosok yang berdiri di dekat pintu. Ingin bererai dengan sosok wanita itu, tetapi hatinya sangat berat. Ada Kumala di antara keduanya. Anak itu tidak bersalah sama sekali. Kasihan jika harus menjadi sosok anak yang broken home.
"Maa ... mau sama Papa." Tangan Kumala menunjuk-nunjuk ke arah Renjana ingin dipeluk.
Sudah lama sekali anak itu tidak digendong oleh sang Papa. Renjana sudah seperti mayat hidup yang tidak memedulikan sekitarnya. Jarang makan bersama dan tidak pernah lagi berbicara pada anggota keluarga yang lain. Hati dan pikirannya hanya terisi nama Arunika. Hingga jawaban yang keluar dari mulut Renjana membuat hati Jelita mencelos seketika.
Dengan cepat Jelita menggendong anaknya lebih erat. Ia tidak ingin suaminya emosi dan Kumala menjadi sasarannya. Sejak hari di mana hakim memenangkan gugatan cerai Arunika, Renjana tidak lagi mau memperhatikan anaknya. Ia lebih banyak diam. Jika mengatakan sesuatu, pasti akan menyakitkan banyak orang. Jelita memang memilih diam dan berusaha memperbaiki diri.
Jelita bahkan terus mengabaikan peringatan untuk mengesahkan pernikahannya dengan Renjana. Pihak sekolah dan Diknas terus memberikan peringatan jika wanita berstatus ASN tidak boleh hidup dalam poligami sebagai istri kedua atau ketiga dan seterusnya. Peringatan-peringatan itu sebenarnya membuat sosok ibu satu anak itu menjadi tertekan.
Sang suami tidak akan memedulikannya. Diajak berbicara pun akan mendapatkan jawaban yang menyakiti hatinya. Lebih baik menunda mengesahkan pernikahannya dengan Renjana. Setidaknya, laki-laki yang dicintainya itu tidak lagi marah. Lamunan Jelita harus buyar saat Renjana menatapnya tajam dan mengatakan hal yang kembali menyakiti hatinya.
"Sampai kalian semua bisa mengembalikan Runi." Pelan dan tenang jawaban Renjana sukses membuat hati Jelita hancur.
Renjana meninggalkan Jelita dan Kumala yang berdiri mematung di depan pintu. Badannya yang lelah membuatnya lebih sering marah. Laki-laki itu memilih menuju ke kamarnya. Ya, kamar miliknya dan Runi dahulu. Kini ia lebih memilih tidur di kamar itu meskipun tidak ada lagi barang-barang milik sang mantan istri.
Istri mana yang tidak sakit hati ketika suaminya memikirkan wanita lain dalam hidupnya? Tidak ada. Jelita selama ini banyak berubah. Ia tidak lagi meminta ini dan itu. Lebih banyak mengurus rumah dan anak. Pun dengan kesukaannya membeli barang-barang mewah sudah lama dihentikannya. Alasan utamanya tidak ada lagi pohon uang yang bisa dimanfaatkannya saat ini. Sang suami sudah tidak lagi seperti dulu.
Bersambung