2. Bukan Mas Udin

1150 Kata
2. Bukan Mas Udin Aku menghela napas pelan. Di belakangku sebuah kipas angin berputar dengan kecepatan sedang. Rambutku yang basah perlahan mengering. Hair dryer murah, begitu kata teman satu kost di perantauan. Setelah kena guncangan hati, aku memilih mandi. Membasuh seluruh badan dari ujung rambut hingga kaki. Membayangkan nama cowo seganteng itu Mas Udin, membuatku jadi merasa down. Entah apa sebabnya. Baru pertemuan pertama tapi d**a ini sudah merasa sejuk. Tapi mendadak panasnya matahari membuat hati gerah. Aku mematikan kipas angin sebelum akhirnya keluar kamar. Dari depan pintu kamar, Ibu sedang duduk menonton siaran berita di televisi. Aku mendekatinya lalu langsung duduk menyender di bahu. Tanganku mengamit lengan Ibu. "Bu ... nanti kalau Nina ketrima lagi kerja di Batam, boleh 'kan yah? Kata Sari setelah nanti keluar list perpanjangan kontrak, kita harus langsung berangkat lagi." Ibu meraih satu tanganku, digenggam dengan penuh kasih sayang. Ibu melengkungkan bibir. "Nak, ibu tahu kamu sangat bertanggung jawab. Tapi hidup ibu dan Tyo bukanlah tanggung jawabmu. Ibu berterima kasih banget karena selama 4 tahun ini kamu mendedikasikan hidupmu untuk ibu dan adikmu. Tapi, kali ini ibu mohon, ikuti kemauan ibu. Ibu ga mau jauh dari kamu, Nak." Ibu menghela napas. Ada jeda yang cukup lama, sebelum Ibu berucap kembali. "Sekarang ibu sudah bisa berjualan nasi bungkus kalau pagi, jadi bisa buat biaya hidup kita sehari-hari. Ibu paham kamu khawatir dengan kondisi keuangan kita. Tapi, Nak, uang atau harta tak akan berharga tanpa adanya keluarga karena harta yang paling berharga adalah keluarga." Aku mengangkat kepala demi melihat wajah Ibu. Sedetik, dua detik, netra Ibu berpendar penuh harap. Aku langsung memeluknya. Ibu membalas dengan mengeratkan pelukan. Tangan Ibu bergerak naik ke pucuk rambut, dia membelaiku dari pucuk hingga ujung rambut yang hanya sebahu. Hangat. "Ibu, terima kasih sudah bersabar dengan ujian ini. Nina janji akan selalu membuat Ibu tersenyum," gumanku dalam hati. Setelah merasa lebih baik, aku mengurai pelukan. Ku pandangi wajah Ibu lagi, tanganku meraih puggung tangan Ibu dan mengusapnya lembut. Sudut bibirku terangkat, aku mengangguk. "Terima kasih, Nak." Ibu tersenyum penuh haru. Menyenangkan Ibu seperti ini membuatku berasa berarti. Apa salahnya mencoba bekerja di kota sendiri. Aku beranjak berdiri. "Nina ke kamar dulu, ya, Bu, mau ambil hape sekalian mau ngasih tahu Sari kalau aku ga balik lagi kerja di Batam." Ibu mengangguk sebagai jawaban. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Ibu menjawab salam sambil beranjak ke pintu samping. Siapa yang bertamu lewat pintu samping, itu kan mengarah langsung ke dapur. Dasar tidak sopan. Ah, mungkin tetangga kali. Tapi siapa? Kok, suara laki-laki. Aku melihat punggung Ibu menghilang di balik tirai pembatas dapur dan ruang tengah. Aku mengangkat bahu, memilih berlalu ke kamar. Aku duduk di ranjang dengan ponsel di tangan. Mencari kontak bernama Sari, dia adalah teman satu kontrakan dan satu kerjaan. Dia tidak pulang kampung sepertiku melainkan menunggu di kosan sambil menunggu daftar karyawan mana yang dapat perpanjangan kontrak. Segera kupencet tombol hijau lalu mendekatkan ponsel ke telinga. Aku melakukan panggilan sampai tiga kali namun tak kunjung diangkat. Akhirnya aku memilih meninggalkan pesan dan beranjak keluar. Aku berjalan ke dapur. Ibu berdiri di depan wastafel, sedang mencuci beras. "Bukannya tadi ada tamu, Bu?" "Oh, iya tuh Udin ngembaliin piring tadi pagi," jawab Ibu masih tak melihat ke arahku. "Hah, Mas Udin? Terus dia di mana, Bu?" Aku celingukan melihat sekitar. "Udah pulang." "Yah, ga ketemu deh." Aku mencebik lalu menarik kursi plastik warna merah. Ku daratkan p****t di atasnya. Ibu sekilas melihat ke arahku, namun tak bertanya. Setelah Ibu menyolokan kabel magic com lalu memilih duduk sambil tangannya sibuk menyiapkan bumbu di atas cobek. Ibu duduk di kursi kayu panjang yang terdapat sandaran. "Bu, sejak kapan rumah Bu Sofi dikontrakan?" "Udah 4 bulan dikontrakan. Memangnya kenapa?" "Ga papa, Bu. Pengin tahu aja." Aku nyengir kuda setelahnya. Netraku terpaku ke dalam bakul yang ada di depan Ibu. "Cesimnya banyak banget, seger lagi, kaya baru metik aja dari kebun." Tanganku mencomot setangkai cesim yang biasa ada dalam mie ayam. "Iya, nih, dikasih Udin." "Hah, emang dia petani juga, Bu?" tanyaku heran. "Halaman rumah Bu Sofi kan luas, jadi dia nanam beberapa sayuran dan bunga gitu. Katanya buat ngisi waktu luang. Lumayan, ibu sering dikasih." Senyum Ibu terkembang sempurna. Iyalah, gratis. "Calon suami idaman," gumanku pelan. "Apa?" "Ah, ga, Bu." Aku meringis lagi. "Terus nanti siapa yang balikin bakulnya, Bu?" Ibu menatapku heran. Tapi tak lama, tangannya sibuk mengulek bumbu. "Biasa juga Tyo yang balikin kalau sore." "Aku aja yang balikin, yah? Sekalian biar kenal sama tetangga. Kan kata ibu, kita hidup bertetangga jadi harus saling mengenal dan tegus sapa." Eaa. Modus. Mas Udin, I'm coming. ***** Menjelang sore, aku sudah bersiap. Kali ini aku sudah mandi pakai sabun sebotol biar Mas Udin kesengsem sama wangiku. Minimal biar ingatan tentang tadi pagi dia lupa. Aku sudah berdiri di depan pintu pagar yang hanya sebatas pinggang orang dewasa itu. Sepi. Pintunya terlihat terbuka sedikit, aku masuk sambil menggeser pagar. Benar kata Ibu, halaman rumah Bu Sofi sudah disulap menjadi kebun mini. Banyak tumbuhan hijau terhampar di sana. Di sisi taman itu juga terdapat bangku persegi, menambah kesan asri. Dari arah pintu, handel bergerak bersamaan dorongan pintu keluar. Seorang cowo berkacamata dengan celana selutut dan kaos oblong keluar. Dia kaget melihatku, sepasang matanya melebar. Tangan kirinya dia selipkan di saku celana. Dia berdehem, mungkin untuk menstabilkan suara. Mungkin. "Cari siapa, Mba?" tanyanya kemudian. Netranya kemudian terpaku pada bakul yang aku bawa di tangan kiri. "Mas Udin." "Oh, taruh aja di situ." Dia menunjuk sudut teras di bawah tiang dengan tatapan mata. Lalu berjalan menyalakan keran sambil tangannya memegang selang, siap menyirami tanaman. Aku menurut. "Oya, Mas Udinnya mana? Mas ini tinggal di sini juga?" Dia melempar pandang padaku dengan ekspresi datar. Lalu sibuk menyirami tanaman. Aku dikacangin. Eyalaah. Tak pantang menyerah, meskipun canggung, aku memilih duduk di tepi bangku. Kedua kaki masih menempel tanah. Dia masih sibuk dengan pekerjaannya, memberi minum tanaman. Sekarang malah dia sedang mencabuti gulma di dalam pot. Aku menghela napas. "Mas ini namanya siapa?" Kembali aku bertanya. "Aku anaknya Bu Indah, rumah depan." Telunjukku terangkat menunjuk rumah. Dia masih sibuk dengan tanaman. Etdah. Segitu cintanya kah pada tanaman? Woi, di sini ada orang. "Mas Udin belum pulang yah, Mas?" Aku melihat ke arahnya yang sekarang sedang memunggungiku. Aku kaya ngomong sama tembok. "Ya udah, aku pamit pulang dulu ya, Mas. Bilangin makasih sama Mas Udin." "Kak Nina, itu hapenya dari tadi bunyi." Si bocil udah berdiri aja di gerbang. "Emang siapa yang nelpon?" "Kata Ibu namanya Sari." Aku langsung ngeh tadi siang ninggalin pesan. Mungkin mau bahas itu. "Mas Udin, ayo maen PS lagi!" ujar Tyo setengah berlari. "Oke. Kalau kalah ga boleh nangis, loh." "Siap." Hah? Mas Udin? Dia?! Aku yang sudah siap pergi, mematung di tempat. Beruntung aku berdiri memunggungi mereka. Dengan setengah berlari aku pulang tanpa menoleh. Ya ampun, malunya setengah mati. Kalau operasi plastik semudah di Korea dan tanpa biaya, aku pasti langsung daftar. Tolong ubah wajahku, biar mirip Song Hye-kyu. Aissh. Bersambung....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN