1. Namanya Mas Udin
1. Namanya Mas Udin
"Beneran, Kak, namanya Mas Udin!" seru Tyo, matanya membulat, tahu aku tak percaya.
Aku masih tertawa terbahak. Menunggu sampai Tyo menyebutkan satu nama yang sesuai dengan nama untuk cowo ganteng. Tak terasa sudut netraku sampai menitikan air mata sakin lucunya.
Udin? Masih ada apa abad ke-20 pakai nama katro bin ndeso seperti itu? Apa lagi cowo yang aku lihat tadi pagi badas parah. Ga mungkin namanya udin!
"Siniin uangnya! Aku udah ngasih tahu Kakak. Sekarang aku mau balik ke sekolah dulu, ntar keburu masuk!" sungut Tyo.
Aku mengangkat tinggi-tinggi tangan kananku yang di kedua jarinya terjepit uang kertas warna hijau muda.
"Kasih tahu dulu namanya, baru ni uang buat kamu," cetusku tak mau kalah.
"Namanya Mas Udin, Kak. Tuh, Ibu balik. Tanya aja sana kalau ga percaya!" sungut Tyo. Ekor matanya menunjuk Ibu yang baru saja kembali dari warung.
"Loh, Tyo? Kebiasaan! Bentar lagi masuk, sana cepatan balik ke sekolah!" perintah Ibu.
Ibu duduk sambil meletakan tas belanja yang terbuat dari anyaman plastik.
"Bu, tetangga depan kita namanya Mas Udin 'kan?" tanya Tyo antusias.
Ibu melihat ke arahku dan Tyo bergantian, mungkin ibu ingin bertanya ada apa?
"Bu?" Tyo berseru.
"Iya, Mas Udin. Emang kenapa?" tanya Ibu tak mengerti.
Mendadak aku merasa tak bertenaga. Tanganku yang memegang uang luruh ke bawah. Tyo langsung menyambar uang itu dan lari ke luar sambil berteriak 'makasih Kakak cantik'.
Tiba-tiba duniaku terasa berhenti. Aku yang dari tadi tertawa terbahak mendadak tercekat.
Mas Udin? Cowo ganteng itu? Emang jaman sekarang masih ada nama Udin?
Ealah, mendadak aku pengin pingsan.
*****
Sinar mentari menembus melalui celah jendela kamar membuatku yang masih setengah sadar terpaksa mengerjap. Suara berisik dari arah depan menambah suasana kebisingan indera pendengaran. Dengan malas kaki kiriku menyentuh lantai disusul kaki kanan, aku bangkit melihat ada keriuhan apa di depan.
Sampai di depan pintu samping rumah, aku menguap dengan ditutupi tangan kiri. Aku memilih duduk di kursi kayu. Tangan kanan ku jadikan tumpuan untuk menyangga kepala. Kesadaranku belum sepenuhnya pulang dari alam mimpi. Aku terduduk masih dengan terkantuk-kantuk.
Di depan sana, masih ramai pembeli yang masih mengantri sama Ibu. Aku hanya melihat saja tanpa niat membantu. Perasaan lelah masih mendera. Perjalanan dari Batam ke kota Bahari masih mengikat tenaga.
Ah, aku menguap lagi. Kali ini kubiarkan mulut ini terbuka lebar bak seekor kudanil yang sedang berendam.
Dalam kondisi setengah sadar aku melihat cowo ganteng mendekat, dia tersenyum ramah ke arahku. Wajahnya sangat tampan mirip Cha Eunwo artis negeri gingseng. Dia semakin mendekatiku. Seolah sedang bermimpi, aku pasang senyum termanis untuk dirinya.
Namun, cowo ganteng itu melewatiku!
Dia kembali dari arah dapur dengan membawa setumpuk piring. Masih dengan melihat ke arahku dia berjalan. Cowo ganteng itu menempelkan telunjuk di sudut bibirnya. Gerakannya dari atas ke bawah.
Aku yang langsung tahu maksudnya langsung tersadar. Aku menggeleng dan mencoba membuka netra lebar-lebar. Lalu segera mengusap iler yang masih membekas di sudut bibir.
Dia tertawa tertahan.
Parah. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan lalu buru-buru masuk ke dalam.
Aissh, malunya aku! Rasanya ingin mengungsi ke planet Mars saat ini juga.
Aku kembali ke kamar. Berdiri di depan pintu cermin besar yang menyatu dengan lemari. Aku menyorot tubuh dari atas hingga bawah. Setelan baju tidur berbahan kaos dengan lengan pendek. Piyama favoritku.
Wajahku tidak terlalu jelek, tidak ada belek. Tapi sialnya aku selalu kelebihan air liur saat kelelahan. Apakah tadi dia melihat ilerku menetes?
Oh My God! Oh my wow! Oh my sun!
Aku meruntuki kebodohanku dengan berguling-guling di kasur.
Oh Tuhan, kenapa saat ada cowo ganteng aku selalu tidak cantik?
Ketukan di pintu membuatku terlonjak, aku segera duduk di tepi ranjang.
"Nin, uda siang, Nak. Ayo sarapan dulu!"
Itu suara Ibu. Aku langsung bangkit dan membuka pintu.
"Ibu..." rengekku. Aku langsung memeluk wanita yang sudah melahirkanku itu.
"Ya Allah, anak perawan ibu sudah besar." Ibu mengelus pucuk kepala ini, membuat aku ingin mengulang masa kecil lagi.
"Ayo sarapan dulu!"
Ibu mengandengku. Tapi, wait. Ini arah yang sama yang tadi aku lewati. Pasti ibu mau ngajak makan di teras samping.
"Bu, Nina mau ke kamar mandi dulu, ya?" ucapku yang langsung terbirit ke kamar mandi.
Setelah selesai cuci muka dan memastikan tidak ada lagi iler yang tersisa, aku menyusul ibu.
Di teras samping yang langsung menghadap dengan jualannya ibu, kami duduk. Ibu sudah menyediakan menu sarapan berupa nasi putih dengan lauk sambel goreng tempe, mie nyemek dan sayur kangkung lengkap dengan kriukan krupuk di atasnya. Itu adalah dagangan Ibu hari ini.
Aku melihat sekitar, sepi. Aku langsung memakannya dengan lahap. Ibu yang duduk di depanku tersenyum hangat saat menemaniku sarapan.
"Ibu, udah sarapan?" Beliau mengangguk.
"Dagangannya masih, Bu?"
"Tinggal dikit," jawabnya. "Makannya pelan-pelan, Nin. Mau nambah?"
Aku tersenyum demi mendengar Ibuku yang sangat perhatian. "Engga, Bu. Ini sudah cukup."
"Tyo, sekolah, Bu?"
"Iya."
"Kamu rencananya mau balik kerja di Batam lagi, Nin?" tanya Ibu. "Ibu penginnya kamu kerja di sini aja, temenin ibu. Jangan jauh-jauh!"
Aku memandang wajah Ibu. Wanita yang usianya hampir setengah abad itu terlihat muram. Jelas, Ibu tak ingin aku kerja jauh.
"Kalau aku kerja di sini gajinya sedikit, Bu. Ga cukup buat bantu Ibu sama Tyo."
Ibu diam, terdengar beliau menghela napas.
"Bu, beli!" Seruan dari depan mengalihkan dunia Ibu. Dengan menjawab 'iya' Ibu mendekat dan dengan sigap melayani pembeli yang jumlahnya dua orang itu. Laki-laki dan perempuan.
Aku masih mengamati Ibu dari tempatku duduk. Teh hangat buatan Ibu langsung tandas aku minum bersamaan tandasnya nasi dalam piring.
"Alhamdulillah habis," ucap Ibu seraya membawa termos nasi dan baskom.
"Nin, kalau udah makannya bantuin ibu beresin ya!"
"Siap, Bu."
Aku segera memberesi dagangan Ibu. Lapak Ibu hanya berupa meja kayu yang kalau sudah selesai jualan, biasanya akan digeser di pinggir. Ini karena Ibu jualannya di dalam gerbang rumah. Otomatis setiap pagi pintu gerbang selalu terbuka.
"Nin, Ibu mau ke warung Bi Nah dulu ya, mau belanja minyak," ucap Ibu sambil berjalan tergesa.
"Iya, Bu."
Saat sedang membereskan kertas bungkus, di seberang, cowo ganteng tadi pagi berdiri. Dia mengenakan setelan kemeja dengan tas gendong. Satu tangannya memegang ponsel di dekat telinga, dia melambai ke arah seberang.
Tepatnya ke arahku.
Aku celingukan, tak ada orang.
Jiwa kegeeranku meronta. Tiba-tiba pipi ini bersemu persis kaya kepiting rebus, aku tertunduk. Tangan kiri menyelipkan anak rambut yang menjuntai ke telinga.
Tak ingin melewatkan kesempatan. Aku menegakkan kepala. Kupasang senyum termanis dan balas melambai.
Namun tiba-tiba dia sudah menghilang!
"Kak, lagi liatin apa?"
"Tyo? Ngapain pulang?" Aku heran bagaimana bocil ini bisa mendadak ada di sampingku.
"Habis olahraga, Kak. Cape. Tyo mau minum air dingin dulu. Hee." Setelah nyengir bak kuda Tyo nyelonong masuk ke dapur.
Aha! Satu ide terlintas di kepala.
Dengan membawa sisa kertas bungkus, aku menyusul si bocil.
"Adeku sayang, Adeku ganteng, mau uang ga?"
"Hah, mau!" Matanya langsung berbinar kaya kucing dapat ikan sebakul.
"Tetangga kita di depan itu siapa namanya?" tanyaku penuh harap.
Bersambung...