"Ummi, Zidan berangkat dulu ya.
"Doakan lancar." Remaja lelaki tanggung itu mencium punggung ibunya sebelum berangkat.
"Baca do'a dulu, ingat Allah selalu sepanjang jalan ya, sayang," Ummi Romeesa mengelus kepala anaknya.
"Ummi - , aku kan sudah besar, malu tau kalo dilihat teman." Protes Zidan saat Ummi hendak mencium pipinya.
Ummi Romeesa hanya tertawa melihat tingkah anak lelakinya yang malu masih diperlakukan seperti bocah kecil.
Zidan berjalan menuju gerbang komplek untuk selanjutnya naik angkot menuju tempat tes masuk SMK Penerbangan.
Tak berselang beberapa menit, Rayyan juga keluar dengan mengendarai motor.
Romeesa masih berdiri dekat pagar melihat anak lelakinya, rupanya Rayyan menawarkan tumpangan.
Zidan terlihat senang dan akhirnya mereka berangkat bersama.
Mereka sebenarnya berteman baik, hanya karena berbeda sekolah hingga mereka jarang bertemu apalagi Zidan lebih sibuk dengan kegiatan remaja mesjid di kompleks perumahannya.
"Alhamdulillah," ucap Romeesa senang, anaknya tak perlu berjalan kaki keluar komplek dan naik angkot.
"Tuh kan, belum sekolah saja sudah nebeng!" suara Bu Fauziah tiba-tiba terdengar tanpa Romeesa sadari wanita paruh baya itu sudah ada di depan rumahnya.
Rupanya wanita parih baya itu mengantarkan Rayyan juga sampai pagar.
"Tadi liat sendiri kan? Rayyan sendiri yang ngajak Zidan."
"Emang Rayyan tu anaknya baik hati, suka menolong ya," ucap Bu Fauziah dengan bangga
" Rayyan itu anak kandung ibu kan?" tanya Romeesa dengan memicingkan mata
" Anak kandunglah!" tegas Bu Fauziah.
"Kok beda sama emaknya?" Romeesa tersenyum lebar hingga hampir tak mampu menahan tawa,
"Beda apanya?" urat Bu Fauziah makin jelas
"Seperti kata Ibu tadi, Rayyan anaknya baik hati!" sengaja kutekan pada kata baik hati, biar tetanggaku ini sadar diri.
"Loh, maksudnya apa?" Bu Fauziah mencak - mencak, tapi Romeesa lebih memilih masuk rumah meninggalkan tetangganya yang ngedumel gak jelas.
"Jangan dimasukin di hati Bu, cuma bercanda, kok," balas Romeesa dengan sedikit nyaring sambil melambaikan tangan.
***
Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang tak ada habisnya, lalu membereskan beberapa laundry yang baru masuk tadi pagi,
Romeesa bersandar pada sofa setelah lelah beraktivitas sambil menunggu pelanggan datang mengambil pakaiannya, kenangan beberapa tahun lalu kembali hadir dibenaknya, cobaan demi cobaan beruntun dihadapinya.
Bagaimana tidak, rumahnya di kampung halaman yang masih masuk wilayah Kab. Barru mengalami kebakaran hingga hanya menyisakan abu dan arang, dengan terpaksa orang tuanya menumpang di rumah saudara ayahnya sedangkan dirinya lebih memilih kembali bersama kedua anaknya yang masih kecil - kecil ke kontrakannya di kota Maros, untuk melanjutkan usahanya dan juga agar tidak membebani pamannya, sayangnya cobaan yang tak kalah berat juga menanti.
Banjir besar yang melanda kota Maros membuat usahanya terpaksa tutup.
Rumah kontrakan yang disewanya dan belum genap setahun terendam banjir hingga atap.
Hampir tak ada barang yang tersisa, hanyut terbawa banjir, area rumah kontrakannya ini memang langganan banjir setiap tahun,
itu juga membuat sewa rumah di kompleks itu lumayan murah. Namun banjir kali ini termasuk paling parah.
"Lengkap sudah penderitaanku, semoga ada hikmah dibalik semua ini," lirih Romeesa, beruntung ada rumah temannya yang bisa ditumpangi sementara bersama kedua anaknya.
Berbekal sumbangan dari donatur berupa uang, barang dan juga bahan makanan, Romeesa dan kedua anaknya memulai usaha baru. Rumah yang ditumpanginya pun menjadi rumah kontrakan mereka yang baru, karena merasa tak enak jika hanya menumpang gratis meski pemiliknya adalah teman dekat.
Dan di rumah kontrakan inilah Romeesa dan anak-anaknya sekarang. Semua kembali dari nol, usaha laundry kembali dirintis dengan membeli mesin cuci dan perlengkapan laundry lainnya sedikit demi sedikit.
Untuk biaya sekolah Zidan dan Zakia, Ummi Romeesa harus memutar otak dan lebih memeras keringat.
Jika hanya bergantung pada usaha laundry saja tentu hasilnya tak seberapa, apalagi usahanya ini masih terbilang sepi meskipun cukup untuk keperluan sehari-hari.
"Astagfirullah," Romeesa terperanjat, lalu melirik jam dinding, sudah hampir jam sebelas siang, bagaimana bisa dirinya selalai ini.
Waktu Dhuha hampir saja dilewatkannya karena mengingat kenangan yang telah lalu.
Berkali-kali istighfar meluncur dari bibirnya.
Romeesa segera bersuci dan mengambil air wudhu lalu melaksanakan shalat dhuha empat rakaat.
***
" - WA INKAANA BA’IDAN FA QORIBHU, BIHAQQIDUHAA-IKA WA BAHAAIKA, WA JAMAALIKA WA QUWWATIKA WA QUDROTIKA, AATINI MAA ATAITA ‘IBAADAKASH SHOOLIHIIN.” Romeesa mengakhiri do'a sholat dhuha.
Keyakinan pada sang Pencipta sudah tertanam dalam hati, sejak remaja sholat dhuha hampir tak pernah ditinggalkannya.
Sembari menunggu anak - anaknya pulang, Romeesa berselancar di dunia maya, mencari ide untuk peluang usaha atau penghasilan tambahan.
Banyak sekali tawaran menjadi reseller berbagai produk, pekerjaan ini memang menjanjikan tanpa harus mengeluarkan modal dan pasti mendapatkan keuntungan tanpa khawatir stok barang tak laku.
"Apakah halal? menjual produk yang belum dimiliki?" batin Romeesa bergejolak,
beberapa pendapat melarang cara jual beli seperti itu, "sama seperti menjual kucing dalam karung!" kata seorang pendakwah itu terngiang di telinga Romeesa, hingga dia urung mengambil tawaran menjadi reseller.
"Assalamu'alaikum, Ummi" suara Zakia terdengar dari pintu depan, lelah berjalan dari sekolah hingga ke rumah.
Mencium tangan umminya lalu seketika raganya dihempaskan ke sofa karena capek ditambah teriknya matahari siang itu.
"Waalaikumsalam," Romeesa melihat iba pada putrinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, jarak antara rumah dan sekolah memang tak terlalu jauh namun teriknya mentari membuat jarak terasa jauh.
"Andai saja ada motor, aku bisa antar jemput kamu, nak," lirih Romeesa menatap putrinya yang sangat mirip dengan ayahnya.
"Astagfirullah - astagfirullah," istighfar kembali diucapkan Romeesa berkali-kali,
kenapa juga harus berandai-andai? bukankah itu dilarang agama karena akan membuka pintu untuk setan.
Suara Zidan kembali menggema merdu dan lantang memanggil untuk melaksanakan sholat dhuhur, tak terasa air matanya menetes.
" Kurang apalagi hidup ini? Allah sudah memberikan lebih padaku, seorang anak soleh dan soleha, InsyaAllah, bukankah itu melebihi segalanya di muka bumi ini?" batin Romeesa,
Terpercik rasa berdosa dalam hatinya, "mungkinkah aku kurang bersyukur hingga kadang merasa sempit," gumamnya lagi.
***
"Gimana tesnya tadi, Kak?" Zakia menghampiri Kakaknya.
"Alhamdulillah, do'akan Kakak agar lulus." ujar Zidan tersenyum manis pada adik kecilnya.
"Emang tadi tes apa saja?" tanya Ummi Romeesa
"Tes tertulis dan tes hafalan bagi yang jalur beasiswa khusus Hafiz atau Hafidza, Ummi," jawab Zidan
"Ehm trus? gampang gak tes-nya?" lanjut Ummi lagi,
"Gampang - gampang susah sih, soalnya grogi juga nervous saat tes, Do'ain ya Ummi semoga lulus," ucap Zidan penuh harap.
"Pasti Ummi, do'akan."
"Oh ya tadi pulangnya bareng Rayyan lagi?"
"Iya, pulangnya barengan lagi tapi aku turun di depan mesjid soalnya pas masuk waktu dhuhur,"
"Ohh," bibir Ummi Romeesa membulat, tapi rasa was - was dipikirannya jika ingat ocehan Bu Fauziah tempo hari.
"Oh ya Ummi, ongkos naik angkot aku pake buat isi bensin motornya Rayyan, gak pa - pa kan Ummi?" ucap Zidan, selain polos anak ini juga jujur.
"Alhamdulillah kalo gitu, Rayyan - nya mau kan diisikan?"
"Awalnya sih nolak, tapi aku gak enak nebeng gratis," Ujar Zidan.
"Oh ya, Ummi punya ide. Bagaimana jika laundry Ummi ada layanan antar jemputnya?" Ummi Romeesa menunggu jawaban dari anak-anaknya.
"Ide bagus, antar jemputnya pake apa?" tanya Zakia mengerutkan kening.
"Kalo dekat bisa jalan kaki, tapi kalo jauh gimana? " lanjut Zidan
"Pakai sepeda!" ujar Ummi Romeesa, melirik sepeda tua Zidan di teras rumah.
"Ide, bagus tuh. Asal gak kejauhan aja ngantarnya. Entar sore juga sudah bisa ngantar nih, mumpung masih libur," ucap Zidan bersemangat.
***
"Kring - kring!" suara bel khas sepeda Zidan.
"Ini alamatnya, jangan sampai tertukar ya, Nak!" Ujar Ummi Romeesa menyerah catatan yang berisi alamat pelanggan.
"Sip, Ummi. Pelayanan ekstra dan prima dari Barokah Laundry," tambah Zidan.
"Wah ini namanya eksploitasi anak!" Suara Bu Fauziah terdengar horor di telinga Romeesa.
"Tetangga rese ini lagi," batin Romeesa
"Kasian Zidan kalo ngantar laundry-an cuma pake sepeda," ucapnya seolah simpati padahal tujuannya lain, beda di lidah dan dihati.
"Ngantarnya ke alamat yang dekat, kok."
"Kok, gak kredit motor saja. Kan cuma lima ratusan sebulan cicilannya, DP juga nol rupiah, masa gak bisa?" saran Bu Fauziah.
"InsyaAllah, Rezeki tak akan kemana, kalau tiba waktunya akan kebeli juga." sahut Romeesa, alasan sebenarnya adalah menjauhi riba.
Tak ingin lagi berurusan dengan riba, dia sudah mengalami sendiri bagaimana riba menghancurkan keluarganya.
"Zaman sekarang kalau gak nyicil mana bisa punya motor, mobil atau rumah," lanjut Bu Fauziah,
"Jadi rumah, mobil dan motor kredit semua?" Romeesa bertanya balik.
"Ya - ya gitu deh," jawab Bu Fauziah terbata
"Oh gitu ya," singkat Romeesa mengangguk - anggukkan kepala.
Bu Fauziah memang benar, zaman sekarang siapa sih yang gak nyicil?.
Cuma modal KTP dan Kartu keluarga semua bisa dimiliki dengan mudah.
Tapi itu haram, sudah jelas dalam Al-Quran. Tak ada dispensasi sama sekali, tidak seperti makanan haram, bisa dimakan jika sudah sangat terpaksa.
Mungkin inilah zaman yang seperti dikatakan dalam hadits Nabi,
"Akan tiba masanya atas ummatku dimana banyaknya setiap orang tanpa kecuali akan makan riba, orang yang tidak makan langsung, pasti terkena debu debunya ( Hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah).
"Semoga Allah mengampuniku dan mengcukupkan aku dengan yang halal dan menjauhkan dari yang haram," batin Wanita berpenampilan sederhana itu.
"Heh Meeza, bengong ajah!" Bu Fauziah menepuk pundak Romeesa,
"Oh ya gimana tes Rayyan tadi? lancarkan?" perempuan berumur tiga puluh tahun itu mengalihkan pembicaraan.
"Tunggu pengumuman, abis tuh ada lagi tes wawancara, pasti Rayyan lulus! " pongah Bu Fauziah dengan senyum angkuh.
"Alhamdulillah, semoga lulus ya," sahut Romeesa.
"Zidan gimana? ngomong - ngomong kok bisa sih gak bayar Bu?" ujar Bu Fauziah sedikit berbisik ke telinga Romeesa.
"Ehm, itu - "
"Pritttttt!" tiba - tiba suara panjang klakson membuat Bu Fauziah dan Romeesa menoleh ke asal sumber suara.
"Assalamu'alaikum Bu Fauziah ya?" Suara Bass seseorang menggunakan jaket kulit hitam turun dari motor.
Wajahnya Bu Fauziah tiba-tiba pucat, dengan senyum salah tingkah mengajak tamunya masuk ke dalam.
"Bicara didalam aja ya, mari masuk dulu!" ajak Bu Fauziah.
Romeesa menarik diri seiring Bu Fauziah masuk ke dalam rumahnya.
"Masa sih Bu, tiap bulan harus nunggak?" keluh lelaki itu pada Bu Fauziah.
"Sttt! jangan brisik di sini. Bicara di dalam ya sambil minum yang dingin - dingin," bujuk Bu Fauziah dengan mengacungkan jari telunjuk depan bibirnya.