Hotel Prodeo

1536 Kata
“Lho nduk, kamu kok belum tidur jam seginih. Ini sudah malem, kenapa di luar?” Bulek Tatik mendekat di mana Ane masih berdiri di teras depan rumahnya. Gadis kecil itu menatap sekeliling rumahnya dengan perasaan tidak menentu dan juga cemas. Ane balik badan, lalu berikan senyuman pada Bulek Tatik. “Ane nunggu ka Ririe, Bulek.” “Lho, emangnya kakak mu belum pulang juga?” Ane mengangguk pelan seraya menatap jam dinding yang sudah menunjukan pukul dua belas malam, tapi Riana belum kembali ke rumah. “Apa Ka Riana pulang ke Singapore? Tadi siang pamit kemana?” tanya Ane. Sudah dua hari ini Ane nggak pernah lihat kaka nya selain tidur di kamar dan ranjang yang sama. “Nggak. Kaka mu nggak pulang ke Singapore, kopernya juga masih ada bukan di kamar mu nduk?” Itu benar, koper Riana masih ada di dalam kamarnya. Tapi bisa saja kaka nya itu pulang tampa membawa barang-barang karena tas yang biasa kaka nya bawa itu nggak ada di dalam kamarnya. “Sudah coba di telephone belum?” “Sudah. Tapi handphonenya mati.” Bulek Tatik pun ikut menarik napas pelan, cemas. “Ririe belum pulang juga?” Dimas ikut menghampiri kedua wanita yang berdiri di ambang pintu. “Belum Dim. Kok Bulek jadi cemas sama Ririe nggak biasanya Ririe belum pulang sampai jam seginih.” Diusapnya bahu wanita paruh baya itu, menenangkan. “Ririe pamit ndak sama ibu mau pergi kemana?” “Tadi siang sih bilangnya mau ke rumah Gisel. Temen sewakti SMA katanya.” Kening Ane mengeryit mendengarkan nama ‘Gisel’ Bulek Tatik mengangguk, dua hari ini Riana terlihat sering mengunjungi Gisel. “Kamu tahu An?” tanya Dimas pada Ane, tidak mungkin adiknya itu tidak tahu dengan teman-teman waktu SMA kaka nya. “Aku tahu ka Gisel. Tapi kok aku baru tahu ka Gisela da di Jakarta, bukannya ada di Solo ya?” “Ririe sih sempet cerita kalau Gisel itu katanya Sudha lama tinggal di sini, maka nya kaka mu itu sudah dua hari inilah sering pergi sama Gisel.” “Kemana Bulek?” “Bulek nggak tahu nduk. Kaka mu nggak bilang soalnya.” Ane menghela napas pelan, dengan otak yang penuh pikiran yang tidak-tidak dengan kaka nya itu. Sejak Ane membawa kaka nya ke apartemen mewahnya, dari situ Ane jarang sekali bicara. Ane yang sibuk dengan ujian dan kaka nya yang selalu pulang malam dan langsung tidur. Dua hari ini Ane kehilangan obrolan sama kaka nya. “Ya sudah ibu nggak usah khawatir, sebaiknya ibu sama Ane tidur sudah malam. Dimas akan cari Ririe.” Dimas pamit pada ibu dan juga Ane untuk mencari Riana yang tak kunjung pulang ke rumah, sementara si pelaku yang di khawatirkan oleh saudaranya pun kini duduk dengan kepala menunduk menunggu giliran. “Selanjutnya baju merah…” panggilnya. “Heh. Kamu tuh di panggil,” seru wanita yang duduk di sebelahnya. Ia menghembuskan napas pelan. Ia bangun dari duduknya lalu mendekat pada meja di mana ada seorang pria yang sudah siap dengan layar laptopnya. “Nama…” “Riana Pratiwi.” “Umur?” “Dua puluh lima…” “Mana Ktpmu?” minta Pak Polisi dengan helaan napas. Mata Pak Polisi tak lepas pandangi wajah cantik Riana dengan tatapan iba. Entah kenapa dari banyaknya wanita, bahkan ratusan wanita yang pria itu temu dengan keadaan yang selalu sama mengintrogasi. Pak Polisi yang masih muda itu pun menatap kasihan pada Riana. Riana kooperatif tidak ingin menyulitkan Pak Polisi, ia pun memberikan kartu identitas Riana. Ya, beginihlah nasib Riana yang bodoh yang mau di tipu oleh teman dekatnya sewaktu SMA. Razia malam ini. Tim Patroli mendapatkan banyak para pekerja sekss komersial yang masih berani beroprasi di tepi jalan. Riana terciduk oleh Tim Patroli dan di gering ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Tidak hanya itu, Riana pun mengikuti serangkaian pemeriksaan lain. Dari tes urin, tes darah dan kali ini Riana duduk manis di minta keterangan yang lebih detail lagi. Kecewanya, Riana di tangkap polisi seperti ini tanpa Gisel. Teman baiknya itu meninggalkan Riana seorang diri seperti ini. Sungguh menyedihkan. Betapa malu nya Riana saat ini. Entahlah akan di taruh di mana muka Riana yang cantik calon istrinya Kim Seok Jin ini yang mendadak kena razia. Malunya, sangat. Riana kena razia penyakit masyarakat. “Surakarta, 25 Desember,” kata Pak Polisi membaca tanggal lahir Riana setelah melihat dengan telitit alamat Riana. “Kenapa jauh-jauh dari Surakakarta mangkal di Jakarta Mbak?” Mata Riana membulat sempuran, pertanyan Pak Polisi seolah menampar Riana keras. Riana malu kembali tersulut. Di tangkap oleh pihak berwajib di tepi jalan dengan penampilan Riana yang menyerupai—pellacur. Riana diam tak berniat menjawab pertanyaan dari Pak Polisi. “Masih muda baru dua puluh lima tahun, kenapa harus bekerja seperti ini mbak?” tanya Pak Polisi lagi. Riana bungkam, kepalanya kembali menunduk. “Tenaga mbak masih oke lho buat bekerja keras. Tapi bukan bekerja keras buat muasin para p****************g dan bukan bekerja seperti ini!” Pak Polisi pandangi Riana, lagi lagi wanita di hadapanya ini diam. “Kamu sudah lama bekerja sebagai kupu-kupu malam?” “Belum pak!” jawab Riana memberanikan diri. Kepalanya diangkat pandangi Pak Polisi yang sejak tadi tak henti bertanya. “Belum setahun? Atau tiga tahun? Atau lima tahun?” cecar Pak Polisi. Riana tergelek kaget. “Saya baru banget ikut kaya gituan. Kalau saya nggak kepepet butuh duit saya nggak mau.” “Semua wanita di sini yang saya tanya juga bilangnya kaya kamu. Kepepet butuh duit!” sahut Pak Polisi tegas. Riana mendengus pelan. Sial sekali mala mini, sudah malu karena niat jual diri. Belum dapat pelanggaan pertama. Eh, malah di ciduk polisi. Beruntungnya Riana belum di sentuh OM-OM tapi sayang, Riana sudah di cap sebagai kupu-kupu malam. Miris. “Tinggal sama siapa di Jakarta?” tanya Pak Polisi lagi. “Sama Bulek saya.” “Semua pemeriksaan dia bersih. Negative semua,” kata salah satu polisi yang datang menghampiri meja tersebut dan memberikan beberapa lembar hasil pemeriksaan Riana. “Hasil kamu negative semua. Saya akan bebaskan kamu dengan dua syarat.” Mata Riana berbinar senang. “Apa Pak?” “Pertama. Jangan ulangi hal seperti ini. Kamu masih muda. Bekerjalah yang halal. Jangan bekerja seperti ini lagi!" Riana mengangguk cepat, itu jelas. “Kamu lulusan apa?” tanyanya lagi. Riana terdiam sejenak, ia menatap Pak Polisi bingung. “Saya lulusan SMA pak,” kata Riana bohong. Tidak mungkin kalau Riana jujur kalau dirinya lulusan S1 dengan lulusan ipk tertinggi seangkatannya. “Melamarlaha. Masih banyak pekerjan halal mbak. Jadi OB pun nggak apa yang penting dapat uang yang halal dari pada jadi kupu-kupu malam!” Riana mengangguk pelan, tak ingin menjawab lagi. “Yang kedua apa pak?” tanya Riana penasaran. “Saya minta number Bulekmu. Saya mau menghubunginya buat jemput kamu di sini!” “Apaaah?” seru Riana terkejut. “Apa kamu nggak dengar saya tanya. Saya minta number Bulek kamu. kenapa kaget kaya gitu!” “Bu-bukan begitu pak,” jawab Riana terbata. Bagaimana jadinya kalau Bulek tahu Riana di tangkap polisi karena hendak jual diri? “Apa saya nggak bisa pulang sendiri dari sini?” Polisi itu berikan gelengan tidak. “Harus ada wali yang menjemputmu karena kamu tinggal di sini dengan Bulekmu bukan?! Saya nggak akan izinin kamu pulang kalau bukan Bulekmu yang membawamu pulang!” Riana menghembuskan napas berat. Ia bangun dari duduknya dan pindah samping setelah selesai di minta keterangan. Riana menolak memberikan number Bulek Tatik, karena Riana takut jantung Bulek kambuh kalau mendengar Riana di tangkap polisi dari pada membebani Bulek lagi dan juga adiknya, Riana lebih baik diam menunggu polisi itu mengizinkannya untuk pulang. Riana pandangi langit langit ruangan dengan pencahayaan terang. Riana masih teringat dengan pertemuannya dengan Gisel. ‘Kenapa lo nggak terima tawaran adik lo jadi Sugar Babby dari pada harus bekerja seperti ini? Intinya, sama!’ ‘Gue malu! Gue merasa tidak berguna. Seharusnya gue jaga adik gue satu-satunya bukan malah jadi sugar babby karena kurang biaya dan juga karena Bulek gue sakit!’ ‘Sebenarnya gue nggak mau kerja kaya ginih. Gue malu, gengsi gue terlalu tinggi banget buat ngakuin gue itu butuh. Apa lagi kalau sudah di kaitkan sama pria yang lebih tua dari umur gue dari umur bapak gue!’ ‘Gue kepaksa pilih kerja sama lo dari pada sama adik gue. Jujur, gue nggak mau lagi bebani masalah gue yang berat ini sama adik gue. Apa lagi Bulek gue yang lagi sakit. Nggak!’ ‘Tetep saja pekerjaan yang adik lo sama gue kasih itu sama.’ ‘Setidaknya adik gue nggak tahu kalau gue jual diri. Bila ya nanti ada pria tua yang beli tubuh gue. Gue sudah bersumpah sama gue sendiri. Gue nggak akan lihat lagi tuh muka yang sudah perawanin gue!’ ‘Lo nggak akan nyesel kan dengan keputusan lo kerja kaya ginih?’ tanya Gisel sekali lagi, di saat keduanya membahas masalah pekerjaan yang selama ini Gisel lakukan selama di Jakarta. ‘Tidak!’ Riana menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan, tubuhnya meringkuk di bahwa lantai beralas karpet. Dari tiga puluh lima orang yang terjaring polisi dengan kasus yang sama. Tersisa lima belas orang termasuk Riana yang belum bisa pulang dan harus menunggu esok harinya. Dengan berat hati dan terpaksa, malam ini Riana bermalam di Hotel Prodeo.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN