Kepedihan Hati Laura

1183 Kata
Laura melangkah perlahan mendekati brankar rumah sakit. Wajahnya terlihat sangat sedih dan mata sembabnya tak sanggup lagi membendung air mata yang kembali mengalir saat melihat laki-laki yang ia cintai terbaring lemah di atas tempat tidur. Kedua mata Alex tertutup rapat dengan perban yang menutupi bagian atas kepalanya. Memperlihatkan jika pria itu baru saja menjalani operasi pembedahan di bagian itu. Beberapa kabel terhubung ke tubuhnya, juga selang infus dan alat bantu pernafasan yang menjadi penyokong agar Alex tetap bertahan hidup dalam kondisinya yang sekarang. Tangan Laura bergerak lemah, menyentuh wajah suaminya yang biasanya akan tersenyum manis saat melihat dirinya. Rasanya Laura ikut merasakan bagaimana rasa sakit yang sedang dirasakan oleh Alex sekarang. “Kenapa jadi seperti ini? Sayang, bukankah kamu tadi sangat bersemangat ingin segera bertemu denganku?” Suara Laura terdengar sangat lirih karena tertutup isak tangisnya. Bahu Laura bergetar ketika wanita itu berusaha menahan tangisnya agar tidak membuat Alex lebih sakit lagi. “Sayang, bukalah matamu ... apa kamu tidak ingin bertemu dengan calon anak kita?” Rasanya sakit sekali d**a Laura ketika mengatakan hal itu. Sesuatu yang tadinya ingin ia jadikan kejutan manis ketika sang suami datang ke rumah, kini malah ia bisikkan tanpa tahu Alex akan mendengarnya atau tidak. “Iya Alex, di dalam perutku ini ada calon anakmu. Ada Alex junior yang menunggumu sadar dan membuka mata. Jadi aku mohon buka ma ....” Ucapan Laura terhenti. Lidahnya kelu, tak sanggup lagi melanjutkan perkataannya. Laura tak mampu lagi menahan kesedihannya. Ingin rasanya ia memeluk erat tubuh Alex yang terbaring di hadapannya. Tapi berbagai alat yang melekat di tubuh pria itu membuat Laura mengurungkan niatnya dan hanya bisa menutup wajah dengan kedua tangan. Wanita itu tersentak kaget ketika mendapati seseorang memegang bahunya dari belakang. Saat menoleh, Laura melihat seorang perawat yang sudah berdiri sambil memakai masker untuk menutup sebagian wajahnya. “Nona, maaf ... kami harus membawa Tuan Alex ke ruang ICU sekarang. Kondisinya yang kritis tidak memungkinkan bila beliau berada lebih lama di ruangan ini.” Perawat itu meminta Laura untuk membiarkannya membawa Alex ke ruangan lain demi kesehatan pria itu. Laura ingin menolak karena masih belum habis rasa rindu yang ingin ia tumpahkan pada suami tercintanya. Namun ia juga tidak ingin membahayakan nyawa Alex dan akhirnya memilih mundur untuk membiarkan perawat itu mendorong brankar Alex keluar dari ruangan operasi. Laura dilarang mengikuti perawat yang membawa suaminya pergi, karena mereka akan membawa Alex menuju ruangan khusus. Dengan tubuh lunglai akhirnya Laura memilih keluar dari ruangan itu. Sama sekali tidak menghiraukan sekeliling ketika melewati mertua dan kakak iparnya yang sedang menatap sinis ke arahnya. Hanya Adrian yang bersikap lembut dan berusaha menguatkan istri atasannya itu. “Nona, Anda mau ke mana?” tanya Adrian ketika melihat Laura berjalan pergi. “Aku ingin menenangkan diriku sendiri dulu, Adrian. Perawat juga melarangku untuk menemani Alex di dalam. Mereka bilang untuk sementara waktu Alex tidak diperbolehkan untuk bertemu dengan siapa pun selama masa kritisnya belum lewat.” “Tapi Nona, Apa Anda tidak ingin berada di sini sampai Tuan sadar?” Adrian masih berusaha mencegah Laura untuk tidak pergi. “Mereka tidak akan suka jika aku masih berada di sini. Adrian, lebih baik aku pulang sekarang. Jika terjadi sesuatu tolong kabari aku secepatnya! Aku pasti akan segera datang.” Laura tidak ingin berdebat lebih lama dengan asisten suaminya. Meski dalam hati ingin terus berada di samping Alex, tapi ada hal yang harus ia jaga. Janin yang ada di dalam kandungannya masih terlalu renta jika Laura terus saja berada dalam tekanan yang diberikan keluarga suaminya. Walau belum pernah hamil sebelumnya, tapi wanita cerdas sepertinya sudah cukup paham jika kondisi hati dan tingkat stres ibu akan berpengaruh pada calon bayi dalam kandungannya. Dengan langkah gontai, Laura berjalan meninggalkan tempat itu. Melangkah pergi melewati koridor rumah sakit yang semakin ramai pengunjung. Menahan rasa sesak dalam d**a yang sejak tadi terus membuatnya merasa menderita. *** Hari berganti malam. Harusnya Laura sudah kembali ke rumah sakit sekarang, tapi perutnya yang lapar membuat wanita itu menunda niatnya sejenak. “Apa kamu lapar? Oh, maafkan ibu, lupa jika dirimu ada,” ucap Laura lirih sambil menunduk dan melihat perutnya yang masih rata. Ia tidak boleh bersikap egois, ada kehidupan baru yang mulai tumbuh dalam tubuhnya dan membutuhkan banyak nutrisi untuk perkembangannya. “Baiklah, kalau begitu ibu akan memasak sebentar. Setelah makan, kita akan menjenguk ayahmu.” Laura melemparkan tas kecil miliknya ke sofa dan memilih berjalan menuju dapur. Tangannya membuka lemari es, sejenak wanita itu tampak memeriksa isi benda persegi panjang itu. Memilih bahan makanan yang ingin ia olah malam ini untuk pengganjal perutnya yang lapar. “Apa yang sebaiknya aku masak malam ini?” monolognya sendiri. Tak lama wanita itu sudah terlihat sibuk dengan kegiatannya, mencampur bahan makanan menjadi satu di atas teflon. Bau harum yang menggugah selera langsung menyeruak memenuhi setiap sudut ruangan. Laura tersenyum sambil mengusap perutnya. “Tidak keberatan ‘kan jika malam ini kita hanya makan brokoli dan udang?” Laura menatap perutnya, mengajak janin di dalam yang mungkin masih sebesar bijih kacang polong untuk berbicara. Ia tidak punya banyak waktu untuk membuat masakan yang lain. Karena sejujurnya ia sangat ingin berada terus di samping Alex. Laura duduk sendiri di meja makan, menatap kursi kosong di depannya yang biasa Alex duduki setiap kali mereka makan bersama. “Bagaimana keadaanmu sekarang? Aku sangat menghawatirkanmu.” Suara Laura terdengar lirih dan begitu menyedihkan. Rasanya tak ada selera untuk memasukkan suapan pertama dalam mulut. Andai ia tak ingat jika saat ini sedang hamil, mungkin Laura memilih tidak akan makan selama suaminya juga belum makan. Tetesan air mata mengiringi mulutnya yang mengunyah makanan dengan paksa. Sesekali diusap bawah matanya yang basah dengan punggung tangan. Hingga suara bel yang terdengar dari luar membuat Laura menghentikan kegiatannya itu. Diletakkan sendok yang sejak tadi ia genggam dan segera berdiri dari duduknya. “Tunggu sebentar!” teriak Laura saat bel yang terdengar terus saja berbunyi tanpa jeda sedetik pun. Mungkin tamu yang ada di luar sudah tidak sabar ingin bertemu dengan dirinya. Tangan Laura menyentuh gagang pintu, memutarnya perlahan lalu menariknya hingga terbuka. Wajah wanita itu langsung berubah pucat pasi ketika melihat beberapa orang yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya. Tangan Laura bergerak cepat, hendak menutup kembali pintu yang tadi ia buka. Namun tenaga yang wanita itu miliki ternyata kalah kuat ketika Juan mendorong pintu itu dengan kasar dari luar hingga terbuka sempurna. Membuat tubuh Laura hampir saja tersungkur ke belakang andai wanita itu tidak dapat menguasai dirinya. “Buka!” teriak Juan yang sudah merangsek masuk, diikuti Sandra yang berjalan santai dari belakang suaminya. “Kakak mau apa? Kenapa sekasar ini masuk ke rumah orang!” protes Laura, berusaha untuk tidak merasa takut dengan kedatangan kedua kakak iparnya itu. Kakinya melangkah mundur perlahan, menjauhi kedua orang yang kini sudah berada di dalam rumahnya dan terus menatap ke arahnya dengan pandangan membunuh. Sesekali Laura melihat ke arah pintu keluar, mengukur jaraknya sendiri. Berjaga-jaga jika nanti ia harus berlari menyelamatkan diri dari kedua manusia kejam yang ada di hadapannya sekarang. *** “Buka dan baca berkas itu, lalu tanda tangani! Setelah itu bawa semua uang itu bersamamu, pergi dan menghilanglah dari kehidupan adikku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN