bab 1 - Kejutan Manis.

705 Kata
"Saya peringatkan sekali lagi, jauhi suamiku. Atau kamu akan menyesal," ujar, Tisya penuh tekanan. Aku mendecih sinis, memandangi wanita berkerudung panjang di hadapanku dengan sorot meremehkan. "Suamimu sudah berada di bawah kakiku, walau aku menjauhinya sekalipun. Dia akan datang untuk mencariku," jawabku angkuh. Tisya menatapku dengan tenang, tidak seperti sebelumnya. Yang melabrakku dengan bar-bar, dia menyerangku membabi buta. Sampai membuat hidung dan pelipisku menjadi memar. "Baiklah kalau itu maumu. Aku harap kau tidak menyesali keputusanmu." Aku mengerutkan alis. Tentu saja aku tidak akan menyesal, suaminya adalah selimut kedua bagiku. Dan tentu saja dia sangat memanjakanku. "Aku mengantongi kontak dan alamat kantor suamimu," suaranya berbisik dengan bibir terkulum senyum penuh arti. Mataku membulat seketika, tubuhku meringsek maju mendekatinya. "Kalau sampai kau melakukan sesuatu yang merugikanku. Akan kusuruh Dimas menceraikanmu!" ucapku penuh ancaman. Tisya bangkit dari kursi, lalu mengeluarkan selembar uang diatas meja untuk membayar minumannya. Sungging senyum dipamerkan sebelum dia melangkah pergi. Kupandangi kepergiannya dengan jatung yang berdetak kencang. Dengan gusar aku meneguk minuman dengan cepat, berharap bisa mendinginkan hati yang mendadak panas. Hah ... Beraninya dia berkata begitu. Tisya tidak bisa mengancamku, dia hanya wanita lemah. Aku yakin dia akan berpikir seribu kali untuk menghubungi suamiku. Lagi pula suamiku tidak mungkin percaya begitu saja, suamiku bukan orang biasa yang bisa dengan mudah di temui orang asing. "Sayang ... tolong ajari istrimu. Dia baru saja mengancamku." Aku kirimkan pesan pada Dimas, tidak lama pesanku langsung bercentang biru. "Huh ... mau apa lagi si dia. Kamu jangan khawatir, biar dia menjadi urusanku." balasnya cepat. Senyumku langsung terukir, membaca pesan dari kekasih gelapku ini. Namun entah mengapa hati kecilku masih saja tidak tenang. Seminggu sudah pertemuanku dengan Tisya, keadaan masih baik-baik saja. Benar dugaanku wanita lemah itu hanya berani menggeretak saja. Mana mungkin dia berani mengadu pada suamiku, dengan anak dua yang masih kecil-kecil tidak mungkin dia mementingkan dirinya sendiri. Kalau sampai itu terjadi, siap-siap saja dia menjadi janda. Hari ini aku berencana memanjakan tubuh, lalu bertemu dengan Dimas. Suamiku selalu sibuk dengan pekerjaannya, dia selalu tidak punya waktu untukku walau sekedar mendengarkan keluh kesah ini. Dia akan datang padaku hanya untuk menyalurkan hasyatnya saja, setelahnya dia akan tertidur tanpa bertanya keadaan dan perasaanku. Sungguh menyiksa batin. Berbeda saat bersama Dimas, dia selalu meluangkan waktu untuk bicara denganku. Dimas selalu siap, kapanpun aku membutuhkannya. Terlebih dia selalu memanjakan hidupku, membuatku melayang saat bersamanya. Selesai mempercantik diri, aku segera menghubungi Dimas. Namun tidak seperti biasa panggilanku selalu di abaikannya. Berkali mencoba tapi hasilnya tetap sama. Pesan yang terkirim dua jam yang lalu pun belum dibacanya. Kemana rupanya kekasihku? Ting .... Denting ponselku berbunyi, dengan cepat aku langsung mengusap layar. "Pulang sekarang." pesan dari Mas Robi suamiku. Tumben sekali dia menyuruhku pulang, biasanya dia selalu tak perduli aku ada dirumah atau tidak. Dengan malas, aku menuju parkiran dan menjalankan mobil menuju rumah. Memasuki mobil kedalam garasi, lalu memasuki rumah yang pintunya terbuka lebar. "Mamah pulang ..." suaraku riang saat memasuki rumah. Kulihat ada tamu di depan Mas Robi. Wanita berkerudung. Posisinya membelakangiku. Mas Robi menatapku tajam, lalu bangkit dari duduknya. Aku berjalan mendekatinya lalu mencoba mencium kedua pipi Mas Robi, hal biasa yang selalu kita lakukan saat pergi dan bertemu kembali. Namun sebelum bibir mendarat di pipi dengan cepat Mas Robi menghindar. Alisku mengkerut, menatapnya heran. "Ada apa Mas?" tanyaku demi melihat raut wajahnya yang tak bersahabat. "Malam, Mbak Naomi ..." suara tidak asing memasuki telinga, membuatku menoleh kesumber suara. "Tisya ..." mataku terpana melihat wujudnya. "Saya permisi ya, Pak." Tisya mengangguk dan tersenyum manis ke arahku. Darah seakan membeku. Lidahku begitu kelu melihatnya melengkungkan bibir tepat di depan wajahku. Mataku langsung tertuju pada foto yang berserak di atas meja. Mas Robi begitu murka menatap wajahku, bisa kudengar suara gemeletuk giginya saat dia menarik dan menghembuskan nafas. "Mas ..." tangan ini mencoba menggapai tangan Mas Robi yang masih saja melototiku. "Wanita hina! Beraninya kau mengotori tanganku!" sembur Mas Robi penuh amarah. Tanpaku duga Mas Robi menyambar asbak kaca yang bertengger di atas meja, lalu menghantamnya tepat mengenai pipiku. "Agrh ...." Rasa perih dan sakit seketika menjalar di area wajah. Darah segar langsung tersembur dari mulut, nafasku tercekat dengan wajah yang sakit luar biasa. Aku meraba hidung yang terasa begitu perih, darah kental berwarna merah pekat bercecer keluar dari lubang hidungku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN