Bab 2 - Terusir

906 Kata
Aku terhuyung dengan tangan memegang hidung yang terus mengalir darah. Mulutku begitu sakit walau untuk sekedar bergerak sedikitpun. Gigiku bahkan tidak bisa mengerat satu sama lain. Pandanganpun begitu samar, saat melihat wajah Mas Robi yang di selimuti api cemburu. Aku rasa tulang pipi sedikit retak, saat meraba pipi yang terasa begitu tebal ketika di sentuh. seluruh persendianku lemas, seirama dengan detak jantung yang berdebar kencang. Aku bahkan tidak sanggup menopang tubuhku sendiri, tubuh ini pun luruh begitu saja tanpa di pinta. "Pergi kau dari sini, jangan pernah menampakan wujudmu lagi di depanku!" sembur Mas Robi penuh amarah. Mata yang selalu menatapku sendu, kini berganti dengan mata merah yang hampir keluar dari tempatnya. Bibirku bergetar hebat, dengan air mata yang mengalir begitu saja. Ingin sekali membantah perkataannya. Bagaimana mungkin dia mengusirku keluar dari sini. Sementara rumah ini adalah milikku sendiri. "Mamah!" teriak histeris gadis kecil kesayanganku. Dengan isak tangis, Quena berlari menuruni tangga. Di susul, Lastri baby sister anakku. "Mamah ... huhuhu," Quena memeluk tubuhku erat, tangisnya semakin kencang melihat wajahku penuh dengan darah. "Ayah jahat!" teriaknya pada Mas Robi, dengan air mata yang bercucuran. Melihat putri kecilnya memaki, suamiku begitu murka. Matanya melotot tajam ke arahku. "Bodoh! Kunci dia di dalam kamar!" semprot Mas Robi garang. Dengan muka pucat, Lastri menggendong Quena yang meronta ingin menggapaiku. Hatiku begitu tersayat, melihat pemandangan ini. Tega sekali, Mas Robi memisahkan kami. "Pergiii!" jerit Mas Robi saat Quena sudah tidak terlihat. "Jangan lagi, mengotori tubuh anakku dengan tangan kotormu itu!" dengkusnya tajam. "Pergi kubilang!" teriaknya lantang, dengan kaki yang ingin melayang. Membuatku terlonjak kaget, dengan susah payah akhirnya aku merangkak menuju pintu. Prang!! Suara benda di banting keras, di susul dengan suara pecahan lainnya dengan sumpah serapah yang terlontar untukku. Beraninya kau melakukan ini Mas, tidak sadarkah dimana dirimu berpijak. Biarlah ... untuk saat ini aku mengalah, lihat saja nanti kau pasti akan menyesal telah menyakitiku seperti ini. Tertatih aku berjalan menuju mobil, tubuhku masih saja bergetar. Air mata kembali mengalir. Seumur hidup, belum pernah aku di perlakukan sekejam ini. "Ehm ... sepertinya itu sangat menyakitkan." Tisya bersender di depan mobilku, dengan tangan bersedekap d**a. Senyum kemenangan sangat jelas terukir di wajahnya. "Kau ... ahh!" repleks tanganku memegangi wajah, pipi dan bibirku langsung terasa begitu ngilu saat kalimat keluar dari mulutku. "Sakit?" tanyanya dengan tatapan mengasihani. Membuatku merasa terhina. "Yah ... aku rasa itu, hanya sedikit sakit. Jika di banding dengan luka yang kau toreh dihatiku, itu belum seberapa." sambungnya sambil menatap wajahku. Aku mengalihkan pandangan dan menutup wajahku dengan sebelah tangan. Kalau tidak sakit, ingin sekali rasanya tanganku mencekik sosok yang ada di depanku ini. "Kau ... bersiaplah menjadi janda," sengitku sambil menahan perih di wajah, juga hati. "Hah ... janda?" kekehnya hambar. "Kemarin itu terdengar menakutkan di telingaku ..." sahutnya dengan bibir terangkat sebelah. "Sekarang sudah tidak. Aku rasa itu lebih baik, dari pada hidup satu atap dengan laki-laki pendosa seperti, Dimas." sambungnya tegas. Aku hanya menatapnya sinis, tak ingin terpancing emosi mendengar perkataannya. Tisya perempuan munafik, hanya penampilannya saja yang terlihat alim, namun hatinya begitu busuk. Bisa saja saat ini dia kembali melukaiku, seperti saat dia melabrakku dulu. Tisya berjalan mendekat, kini jarak kami hanya beberapa centi saja. Dia menatapku dingin, kemudian mendekatkan wajahnya. "Dimas memang lebih cocok bersanding denganmu, sama-sama manusia penikmat maksiat." bisiknya tepat di telinga. Mataku membulat mendengar ucapannya, dengan senyum sinis dia menabrak pundak dan melewatiku berjalan menuju mobilnya. Aku bergeming ... tidak menerima perlakuannya, kemarin aku masih bersabar saat dia mempermalukanku di depan umum. Demi memandang Dimas, aku masih diam saat dia melukaiku. Namun sepertinya, Tisya masih belum puas juga, kelihatannya dia sangat ingin aku membalas perbuatannya. Baiklah perempuan s****l, aku rasa mulai detik ini aku tak perlu lagi berbaik hati padamu. Peduli setan jika kau adalah istri sah dari selingkuhanku. Melihat dia nekat mengadu pada suamiku, aku juga harus lebih nekat dari dia. Runggu saja pembalasan dariku! Mobil melaju menuju rumah sakit terdekat, luka di wajah harus segera di tangani dengan cepat. Aku tak ingin wajah cantik ini menjadi buruk. Tidak lupa aku melakukan visum dengan sangat detail. Laki-laki tidak tahu diri itu harus mendekam di balik jeruji besi akibat ulah kejinya. "Loh ... wajahmu kenapa?" kakakku, Linda sangat terkejut begitu membuka pintu. Aku meringis pilu, kupeluk tubuh Linda dengan badan yang terguncang hebat. Air mata ini bercucuran dengan deras. Malang sekali nasibku. "Ya Tuhan ... ayo cepet masuk," Linda menarik tangan dan menuntunku menuju sofa. "Siapa?" tanyanya cemas, saat kami sudah duduk berhadapan. "Mas Robi ..." sahutku lirih. "Kurang ajar, si Robi." sungutnya kesal dengan tangan mengepal. "Coba cerita masalahnya apa? Tidak mungkinkan tiba-tiba dia mukulin kamu sampe babak beluk begini," rempetnya sambil menatap mataku lekat. Aku masih bergeming, rasanya bibir ini tidak dapat terangkat lagi. "Ya Tuhan ... pasti sakit sekali ini," ucapnya sambil memegang wajahku yang sudah terbalut perban. "Ahh ..." rintihku saat Linda menyentuh bagian yang sangat sakit. "Aduh ... sorry," Linda menarik tangannya, kulihat sudut matanya sudah berembun. "Ayo ... kita kekamar saja, lebih baik kamu istirahat," ajaknya sambil menuntunku menuju kamar tamu. "Sudah tidur saja, besok kalau sudah tenang. Kamu harus cerita sama, Kakak." ucapnya setelah mengebuti ranjang. Tangannya meraih remot Ac lalu menyalakannya. "Aku bikin teh anget dulu," ucapnya penuh khawatir. Aku mengangguk kepala, lalu merebahkan badan di atas ranjang. Lemas sekali rasanya seluruh badanku. Tubuhku perlu istirahat yang cukup, karna besok aku harus ke kantor polisi secepatnya. Karna ... tentu saja aku ingin melihat Mas Robi merengek dan mengemis meminta pengampunan! *** .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN