Bab 3 - Tekad.

1252 Kata
Pov Tisya. "Sya ... tolong siapkan baju ganti," titah Mas Dimas yang baru saja keluar dari toilet. Aku yang duduk membelakanginya hanya diam, tak bergerak sedikitpun mendengar perintahnya. "Sya ..." sentuh Mas Dimas pada pundakku. Aku menoleh kearahnya dengan lelehan air mata yang mengalir membasahi pipi. "Tolong ... hentikan semua ini, Mas." bisikku lirih sambil menyerahkan gawai di tangan, Mas Dimas. Dia membeku, wajah yang selalu bersahabat kini berubah datar. Aku sudah curiga dengan sikapnya yang dingin belakangan ini, namun semua kutepis demi keutuhan rumah tangga ini. "Mas ...." Mas Dimas mendesah lelah. Berjalan menuju lemari, menyiapkan pakaiannya sendiri. Masih dengan air mata, aku memandangi activitasnya. Dia bilang ada urusan kantor selama dua hari di kota hujan. Namun sebuah pesan masuk dari ponselnya, membantah itu semua. "Mas ..." sentakku. "Sya ... sudahlah. Kau tau sendiri kalau aku sangat mencintai dia," sahut Mas Dimas. Aku terperangah, benar-benar diluar dugaan. Aku kira dia akan meminta maaf setelah aku mengetahui belangnya. "Istigfar Mas, kau sudah berkeluarga begitu pun dia." ucapku perih. "Lebih baik kau diam. Jangan campuri urusanku." Mas Dimas keluar kamar, meninggalkanku sendiri dalam kepedihan. Sebulan sejak kejadian itu, aku bersikap seperti biasa. Namun sikap Mas Dimas semakin dingin, dia hanya bermain bersama anak-anak. Kalau denganku dia hanya berbicara seperlunya saja. Hari ini aku ingin menemui Naomi, masa lalu Mas Dimas yang kini menjadi selingkuhannya. Jantungku berdebar kencang dengan peluh yang sedari tadi membasahi keningku. "Sudah lama?" seorang wanita cantik menarik kursi lalu menghempaskan b****g diatasnya. Semerbak wangi harum mendamaikan jiwa langsung memenuhi Indra penciuman. Aku terkesip, melihat penampilan juga parasnya. "Kau istri, Dimas?" tanyanya membuyarkan lamunanku. "Eh ... iya," sahutku gugup. Dia mendecih sinis, melihatku lekat-lekat. "Pantas saja, Dimas berpaling, penampilanmu sungguh membosankan." ucapnya dengan nada mengejek. Hatiku mencelos mendengar ucapannya, memang jika di banding dia aku bukan apa-apa. Selingkuhan suamiku ini memiliki kulit seputih pualam, hidung mancung sempurna juga mata bulat seperti purnama. Berbeda denganku yang biasa saja. "Mbak ... tolong jauhi Mas Dimas, dia sudah mempunyai istri dan dua anak. Sama seperti, Mbak yang juga sudah berkeluarga." ucapku berusaha tenang, kutahan air mata yang sedari tadi menganak sungai. "Kita sama-sama perempuan, Mbak pasti tau apa yang saya rasakan." aku melanjutkan. Dia tersenyum miring, pandangannya benar-benar menelanjangiku. "Jangan menyalahkan aku jika suamimu lebih nyaman denganku, kau seharusnya berkaca kenapa, Dimas lebih memilihku. Lihat saja penampilanmu, tidak jauh berbeda dengan pengemis diluar sana." balasnya sengit. Mataku membulat mendengar ucapannya. Niatku bicara baik-baik, mengapa dia menghinaku seperti ini. Darahku mendidih seketika, dia masih saja menatapku dengan sinis. "Tolong Mbak, jauhi suamiku. Kasian anak-anak." pintaku lagi, berharap dia mau membuka pikirannya. "Anak-anak jangan di jadikan alasan. Aku tidak mau menjauhi suamimu, aku sangat nyaman dengan sentuhannya." ucapnya sambil menyelipkan anak rambut di telinga. Gerakan tubuhnya seolah memamerkan dia sangat mendamba suamiku. Naomi memajukan badan, menatap lekat mataku. "Dia bilang kau sangat membosankan ... diranjang. Berbeda denganku." ucapnya dengan senyum yang merekah. Emosiku benar-benar tersulut, tanpa sadar tangan ini langsung mendarat di pipi mulusnya. Plakk! "Aa ..." jeritnya sambil memegangi pipi, bekas tanganku begitu jelas tergambar di sana. "Kurang ajar! Beraninya kau," ucapnya penuh amarah. Dengan cepat dia berjalan kerahku dan menarik kerudung yang menempel di kepalaku. Rambutku langsung terasa perih dan panas, aku menarik gelas yang ada di atas meja. Dengan susah payah aku mencoba melepaskan tarikan tangannya, hingga kerudungku jatuh di atas lantai. "Kau tidak pantas memakai itu, perempuan tidak tahu diri. Masih bagus aku tidak meminta Dimas menceraikanmu!" semburnya murka. Hatiku panas mendengar ucapannya, dengan keras aku melemparkan gelas tepat mengenai sudut matanya. "Argh ..." teriaknya histeris, tangannya menyentuh bagian yang terkena lemparan. Kembali, Naomi menyerang. Dia menarik kuat akar yang menempel pada rambut kepalaku. Aku bukan perempuan lemah yang menerima begitu saja perbuatannya, tanganku juga menarik kuat rambutnya. Hingga dia menjerit kesakitan. Pengunjung cafe melihat kearah kami semua, bukan menolong. Mereka malah sibuk dengan ponselnya masing-masing, mengabadikan kejadian ini. Tidak lama petugas keamanan datang dan melerai kami berdua. "Awas kau, akan aku adukan semua ini pada, Dimas!" ancamnya dengan sorot menakutkan lalu pergi menuju pintu keluar. Nafas tersenggal-senggal, kuraih kerudung yang berserak di atas lantai. Air mataku mengalir begitu deras. "Diminum, Mbak." scurity tadi menyerahkan botol minuman. Dengan tangan bergetar aku menerimanya. ***ofd Sampai di depan rumah, aku lihat mobil Mas Dimas surah terparkir di garasi. Hatiku kembali berdebar, mengingat sekarang bukan jam pulang kerjanya. "Assalamuallaikum ..." ucapku sambil membuka pintu. Kulihat Mas Dimas duduk di sofa sambil memainkan gawainya. "Mas sudah pulang?" Dia menoleh ke arahku, matanya memerah menyiratkan kemarahan yang mendalam. Debaran jantungku makin kencang, aku mundur satu langkah saat dia berjalan mendekatiku. Dengan kasar dia menutup pintu lalu menarik tanganku, dan menghempasnya kasar hingga aku jatuh tersungkur. "Berani sekali kau melukai, Naomi!" teriaknya dengan mata melotot. "A aku ..." suaraku terbata, tak menyangka suami yang seharusnya melindungi malah berbuat kasar seperti ini. "Cukup!" ucapnya sambil meninju tembok. Nafasnya naik turun lalu mendekatiku. "Sekali lagi kudengar kau melukai dia. Aku ceraikan kamu!" tunjuknya tepat di depan wajahku. Mas Dimas melangkah menuju pintu, lalu membantingnya dengan keras. Hingga menggetarkan hati ini. Kini hubangan kami semakin dingin, bahkan Mas Dimas sudah tidak pernah menyentuhku lagi. Dia menjadi jarang pulang kerumah, entah tidur dimana. Sekalinya pulang hanya untuk mengambil pakaian dan bermain dengan anak-anak. Saat Mas Dimas memasuki toilet, dengan hati-hati aku meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Mengusap layar ternyata ponselnya kini terkunci, kucoba membuka kunci dengan mengingat tanggal-tanggal penting, dan akhirnya layar itu berhasil terbuka. Membuka galeri foto, kulihat banyak sekali foto mesra mereka bahkan ada gambar yang di ambil diatas ranjang. Tubuh ini membeku seketika, senyum Mas Dimas begitu lebar. Terlihat sangat bahagia, berdampingan dengan selingkuhannya. Aku kuatkan hati, saat ini bukan waktunya untuk menangis. Kuambil bukti-bukti yang cukup meyakinkan, lalu membuka aplikasi hijau. Secrenshot beberpa percakapan dan mengirimnya ke ponselku. Setelah menyimpan dan memastikan barang bukti aman. Aku menghapus, pesan di ponsel suami yang tadi terkirim lalu menaruh kembali di atas nakas. Dengan hati yang masih dag-dig-dug aku berjalan keluar kamar. Setelah membersihkan diri dan mengambil beberapa lembar pakaian, Mas Dimas kembali pergi tanpa pamit seperti biasa. Membuka gawai lalu membaca percakapan mereka, ternyata selama ini Mas Dimas tinggal di apartemen milik Naomi. Sekali lagi aku mencoba menghubungi Naomi dan memintanya bertemu. Berharap dia bisa meninggalkan suamiku, sebagai istri sah Mas Dimas aku berusaha mempertahankan rumah tangga ini. Namun harapan tinggal harapan, Naomi merasa di atas angin dan tetap ingin mempertahankan hubungan terlarang mereka. Begitupun keadaan rumah tanggaku yang semakin hari semakin hambar, Mas Dimas pulang kerumah hanya untuk mengancam mencerai dan meninggalkan anak-anak. Tekatku sudah bulat, berbekal alamat yang tersemat di percakapan, kulajukan mobil menuju rumah Naomi. Kini aku berhadapan dengan laki-laki berusia tidak jauh denganku. Badannya tegap dengan wajah yang menyejukan. Dia menyambut kedatanganku dengan baik, saat berkata aku adalah teman lama dari Naomi istri cantiknya. "Ada perlu apa, Mbak?" tanyanya ramah setelah menyuruhku duduk disofa yang kelihatan mahal ini. "Saya tidak ingin berbasa-basi," ucapku sambil menyodorkan amplop coklat tebal berisi foto-foto orang terkasihnya. Dengan ragu dia mengambil amplop itu, matanya melirikku sekilas lalu mengeluarkan isi yang ada di dalamnya. Matanya melebar, tangannya dengan cepat melihat satu demi satu gambar yang ada di depannya. Dengan marah dia membuang foto itu di atas meja, dan terserak kemana-mana. "Siapa kamu sebenarnya? Dari mana anda mendapat semua itu?" tanyanya sambil meremas kepala, lalu menatapku garang. Aku tersenyum simpul membalas tatapannya, menarik nafas sejenak lalu angkat bicara. "Saya adalah istri, dari laki-laki yang ada di gambar itu." sahutku kemudian. Membuatnya terperangah mendengar kalimatku. ***ofd Haii ... semoga semua dalam keadaan sehat ya. jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar ?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN