Bab 4 - Hancur

792 Kata
pov Tisya "Anda mengirim ini semua, untuk merusak rumah tangga kami?" tanya suami, Naomi yang kutahu bernama Robi itu. "Terserah, Bapak mau menilai seperti apa. Yang jelas, saya hanya ingin Bapak tau kelakuan istri Bapak. Dan itu sangat mengganggu sekali buat saya, terutama anak-anak." jawabku tegas. "Saya sudah beberapa kali meminta istri, Bapak untuk menjauhi suami saya. Tapi, dia tetap ngotot mempertahankan hubungan mereka. Saya harap, Bapak sebagai suami bisa menasehati dia." sambungku. "Jadi ... Mbak sudah bertemu dengan, Naomi?" tanya Robi sambil mengamati wajahku. Aku menggangguk pasti. "Iya, Pak sudah bertemu dua kali." sahutku mantap. Berkali-kali Robi mendesah frustasi, sorot kemarahan sangat kental sekali di matanya. Aku hanya memandangnya dengan bibir yang terangkat sebelah. Robi merogoh kantung celananya, dan mengeluarkan benda pipih. Beberapa kali dia menempelkan benda itu di telinga, namun sepertinya panggilan selalu tertolak. Lalu dengan cepat tangannya mengetik sesuatu. "Silahkan di minum, Mbak." ucap perempuan berseragam khas baby sister, sambil meletakan dua gelas minuman. Aku mengganggukkan kepala dan tersenyum tipis, saat matanya melihatku. "Saya ... permisi ya, Pak." pamitku seraya bangkit dari sofa. "Jangan!" sentaknya sambil menahanku. Aku menautkan alis menatap matanya. "Maaf ..." ucapnya lirih, sambil menghela nafas. "Tunggu sebentar lagi, Naomi akan pulang. Saya ingin tau, dia mengenal Mbak atau tidak." sambungnya kemudian. Setelah menunggu lima belas menit, terdengar suara mobil memasuki halaman. Tidak lama, suara perempuan pencuri hati suamiku terdengar. "Mamah pulang ..." suaranya begitu riang terdengar ditelinga. Aku masih diam ditempat, memperhatikan wajah Robi yang terlihat menyeramkan. Naomi mendekati suaminya, dengan manja dia mendekati wajahnya ingin mencium Robi. Namun sesuai dugaanku. Kulihat Robi mengelak sebelum bibir istrinya mendarat di pipi. "Ada apa, Mas?" Naomi bertanya dengan wajah heran. Robi melirikku, memberi isyarat agar aku mengenalkan diri. "Malam, Mbak Naomi." ucapku penuh percaya diri. "Tisya ..." Naomi mengeja namaku dengan sempurna, membuat Robi semakin yakin dengan ceritaku. "Saya permisi ya, Pak." ucapku dengan manis sambil menganggukan kepala. Naomi seperti tikus yang tersiram air panas, wajahnya menjadi pucat saat aku memamerkan senyum dibibir ini. Kulemparkan senyum sinis kearahnya lalu berjalan menuju pintu. "Mas ..." bisa aku dengar suara, Naomi memelas pada suaminya. "Wanita hina! Beraninya kau mengotori tanganku!" maki Robi dengan suara menggelegar. Aku menghentikan langkah lalu berbalik badan, tepat disaat Robi menghantam sesuatu pada wajah Naomi. "Argh ..." jerit Naomi kesakitan. Darah tercecer diatas lantai, bisa kurasakan dahsyatnya pukulan itu, saat melihat benda yang di pakai memukul Naomi terbelah menjadi dua. Mataku terbelalak melihat kesangaran Robi, dengan tergesa aku melangkahkan kaki keluar rumah. Tubuh ini bergetar melihat kejadian itu, tidak aku sangka respon Robi akan sekeras itu. Aku memejamkan mata memikirkan nasibku ke depan, bayangan menjadi janda seolah mendekat dalam diriku. Terselok-selok, Naomi berjalan keluar rumah. Wajahnya penuh lebam dengan darah yang belum mengering. Ada kepuasan di hati ini melihatnya terluka seperti itu. Kuamati langkah kakinya dengan senyum yang terukir dengan sendirinya. "Ehm ... sepertinya itu sangat menyakitkan," ucapku sambil bersedekap d**a. Tidak lupa senyum merekah menghiasi bibir ini. Dengan keadaan yang sudah menyedihkan seperti ini, Naomi masih saja bersikap angkuh. Dia bahkan mengancam akan mengadukan semua kejadian ini pada Dimas, suamiku. Namun aku tidak gentar sedikitpun, karna bagiku saat ini kehancurannya adalah yang utama. Tidak peduli setelahnya aku menjadi janda. Toh aku masih muda dan sehat, aku yakin bisa mengurus dan menghidupi kedua anakku. Walau tanpa kehadiran Mas Dimas di sisiku. Melewati Naomi dengan senyum sinis lalu memasuki mobil dan melajukannya menuju rumah. Akan kuhadapi apapun yang terjadi. Dan saat ini, aku sangat menantikan ke pulangan suamiku untuk mendengar dia mengucapkan perceraian. Sudah tiga hari Mas Dimas tidak pulang kerumah, Namun malam ini aku yakin dia akan datang. Malam menunjukan pukul 21:00 kedua anakku sudah tertidur satu jam yang lalu, aku terduduk di depan televisi yang menyala dengan pikiran yang melayang entah kemana. Samar terdengar suara mobil menepi di depan rumah, aku berjalan membuka sedikit jendela, terlihat Mas Dimas turun dari mobil lalu membuka pagar rumah. Mengatur nafas setenang mungkin, lalu kembali duduk menatap layar. Menyiapkan segela kemungkinan. Pintu terbuka lebar, Mas Dimas memasuki rumah berjalan mendekatiku. "Tisya!" bentaknya saat melihatku. Aku menengok sekilas, lalu kembali menatap layar. Mas Dimas merebut remote televisi dari tanganku lalu mematikannya dan melempar remote dibawah bupet. "Berani sekali kau menyakiti, Naomi!" semburnya sambil mendorong tubuhku. "Apaan sih, Mas." sahutku sengit. "Sudah tidak usah ngeles lu!" Mas Dimas mencengkram bahuku kuat, hingga kukunya begitu terasa menembus kulit. "Naomi kau buat babak belur seperti itu, dasar perempuan sialan!" bentaknya keras, membuat mataku memanas di buatnya. Plakkk! Satu tamparan mendarat dipipi kiriku, masih belum puas. Mas Dimas menarik rambut ini hingga aku mengikuti gerakan tangannya. "Di diemin bukannya mikir, malah mencari masalah!" sentaknya sambil menatapku garang. Aku merintih kesakitan, air mataku menetes dengan sendirinya. "Cepet minta maaf sama Naomi, atau aku ceraikan kau sekarang juga!" teriaknya nyaring membuat hatiku bergetar pilu. ***ofd.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN