15 - Can't

1326 Kata
1 minggu berlalu, semua berkas sudah Leo urus. Leo juga sudah menghubungi ibunya di Singapore mengenai Tarisa. Tak ada sedikitpun kecurigaan El kepada Taris. Mereka masih berangkat sekolah bersama, pulang bersama, dan bahkan kalau El mengajak Taris untuk keluar, tak ada penolakan. Taris terkesan lebih penurut di mata El, hal itu yang membuat El semakin senang. Ia hanya tidak tahu apa rencana dibalik sikap Tarisa. "Kak El kita mau ke mana?" Tanya Taris memasang seatbelt setelah beberapa detik lalu duduk di kursi sebelah El. "Gue gak tahu mau keluar ke mana, enaknya ke mana?" Tanya El balik, ia sudah menghidupkan mesin mobilnya. "Oh iya kak, sekarang tuh katanya ada hujan meteor di bukit dekat puncak." "Mau ke sana?" "Boleh." "Tapi jauh, apa sekalian nginep di vila ayah gue? Besok kan minggu." Usul El. Taris mengangguk setuju. "Yaudah ayo turun lagi, pamit ke om Leo sama tante Angel." "Gausah deh kak, nanti Taris telepon aja." Ujar Taris. Namun hal itu masih tidak melegakan hati El. Ia tidak mau orang tua Taris khawatir. "Enggak pamit aja, mumpung belum jalan juga. Masih di depan rumah lo kan." Taris menunduk, ia benar-benar malas membuka seatbelt dan turun dari mobil. Lagipula Leo dan Angel sangat percaya kepada El bukan? Izin melalui telepon tidak akan menjadi masalah. "Taris capek mau turun lagi kak." "Kumat deh manjanya. Yaudah gue yang izin. Lo diem sini aja." "Siap komandan!" Balas Taris hormat. El akhirnya tak memaksanya untuk turun dan masuk rumah lagi. El melepaskan seatbeltnya, membuka pintu dan turun. Taris melihat punggung El yang memasuki rumah Taris dari balik kaca mobil. Ada rasa bersalah kala melihat El. "Maaf kak, Taris harus pergi. Maaf Taris nggak bilang kakak. Karena Taris tahu kakak nggak bakal ngizinin Taris pergi. Kalau Taris nggak pergi, nanti kakak semakin nggak bisa lepasin Taris. Kakak harus tahu, kalau Taris bukan milik kakak, bukan milik siapapun. Ini demi kebaikan kita berdua kak." Lirih Taris. 5 menit berlalu, Taris bisa melihat El keluar dari rumahnya. El membenarkan letak jaketnya seraya berjalan. Taris tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok El sampai pria itu masuk ke dalam mobil, menarik seatbelt dan memasangnya. "Udah bilang kak? Gimana kata mama papa?" "Diizinin lah, kan gue yang minta izin." Balas El dengan bangga. "Iyadeh kak iyaa." Balas Taris dengan senyum manisnya. El mulai menjalankan mobilnya. Pelan, karena mereka masih berada di kawasan komplek rumah Taris. Sedang Taris masih asik memperhatikan El yang tampak fokus pada jalanan. Mungkin El sadar bahwa Taris memperhatikannya. Ia melirik Taris dan benar saja gadis itu tengah memperhatikannya. "Kenapa lihat gue? Lagi menikmati ciptaan tuhan yang sempurna?" Tanya El dengan percaya dirinya. "Kakak ke-PDan." Balas Taris buru-buru menatap depan. Mengalihkan pandangannya. "Kenapa? Lo lapar?" Tanya El. "Kakak kok tahu?" Tanya Taris balik. Ia sedikit terkejut. El tertawa mengejek, "Apa yang nggak gue tahu tentang lo sih Tar? Gue tahu lo lebih dari mama papa lo sekalipun." Balas El. Tersirat rasa bangga yang terang-terangan El tunjukkan dari gaya bicaranya. Taris tak menjawab, membuat El kembali bersuara. "Mau makan apa?" "Terserah kakak." "Drive thru mau?" "Iya mau." Sebelum berangkat ke bukit, El putuskan untuk membeli makanan untuk Taris. Tak hanya Taris, ia juga lapar karena belum makan. Sebelum menjemput Taris, Thalia bundanya sudah menyuruh El untuk makan malam, namun ia tak selera karena ada ayahnya. Pasti Kris akan menyuruhnya giat belajar. Sepanjang makan malam mungkin Kris akan mengomel masalah itu. Ujian kelulusan sudah dekat, dan Kris mau El mendapat nilai sempurna. Nyatanya Kris sama seperti orang tua lain, Kris ingin El diterima di universitas bergengsi. Perjalanan biasanya membosankan, namun setelah mengisi perutnya, Taris yang biasanya pendiam saat di mobil menjadi sangat cerewet. El sendiri tidak tahu kenapa, namun selama seminggu ini Taris berubah menjadi cerewet. Taris tak lagi membangkang, membuat El lega karenanya. "Kakak mau masuk universitas mana bentar lagi?" Tanya Taris. "Masih nggak tahu, yang jelas di sini lah. Yang kiranya nggak jauh dari lo." Balas El. "Kalo om Kris mau kakak kuliah di luar negeri gimana?" "Ya gue tolak. Kecuali lo mau ikut gue." "Kok Taris?" "Iyalah, gue nggak bakal fokus kuliah kalo jauh dari lo. Gimana gue ingetin lo belajar? Bisa bisa ranking lo turun gara-gara jauh dari gue." "Taris udah gede kali kak, tanpa kakak ngomel nyuruh Taris belajarpun, mama udah cerewet banget nyuruh Taris belajar. Jadi kakak nggak perlu khawatir lagi." Jelas Taris. "Tapi lo nggak pernah dengerin omongan tante Angel kan? Gue tahu lo cuma nurut sama gue. Itupun kalo udah gue ancem. Heran kadang gue sama lo, disuruh belajar susahnya minta ampun. Ya kalo gue udah pinter dari lahir, nggak belajarpun udah pinter gue." Oceh El bangga. "Sombong amat sih kak El. Bentar lagi Taris bakal belajar tanpa kak El suruh kok. Tenang aja." El melirik ke arah Taris, berharap kupingnya tak salah dengar. Taris seperti bukan Taris. Sejak kapan gadis itu mau belajar tanpa disuruh? Hampir mendekati mustahil. "Janji lo sama gue?" "Iya kak, Taris janji sebentar lagi Taris bakal belajar tanpa kakak atau mama papa suruh." Balas Taris yakin. El menjulurkan satu tangannya untuk mengusap lembut puncak kepala Taris. Telapak tangan El merasakan rambut Taris yang lembut, aroma rambut gadis itu menguar kala El tak berhenti mengusuknya. "Gitu dong lo, jangan bikin susah orang tua aja. Paling enggak lo harus dapet ranking sepuluh besar. Jangan malu-maluin tante Angel sama om Leo." "Siap kak, kakak nih sayang banget ya sama Taris? Sampe kakak pengen Taris dapet ranking sepuluh besar?" Goda Taris. "Iyalah sayang, kalo enggak gue nggak mungkin ngomel kalo lo males belajar. Gue juga nggak mungkin buat planning masa depan kita. Dan gue juga nggak mungkin belajar mati-matian cuma buat pelajarin management. Itu semua biar ayah percaya sama gue, biar dia percayain perusahaan sama gue nantinya. Biar gue punya kerjaan yang lebih dari cukup buat beli rumah sendiri, mobil sendiri, dan ngidupin lo dan anak kita nanti." Ujar El tanpa jeda. Seperti ucapannya sudah diatur didalam otaknya. Taris terdiam cukup lama, dalam hati ia meminta maaf bahwa ia tidak bisa menjadi apa yang El bayangkan. Taris tidak bisa terus berada di bawah kendali El. Taris ingin menentukan jalan hidupnya sendiri. "Kalau kita nggak jodoh gimana kak?" Tanya Taris menunduk dalam. Ia juga bersuara sangat pelan, takut takut El marah. Namun sepertinya El tidak marah, pria itu menganggap pertanyaan Taris sebagian dari kemungkinan kemungkinan yang tidak akan terjadi. "Nggak akan. Gue bakal berjuang buat dapetin lo gimanapun caranya. Tar lo nggak boleh jadi milik orang lain. Lo punya gue Tar. Entah sudah berapa kali gue ngomong ini. Tapi gue bakal mati-matian buat dapetin lo ketika lo dewasa nanti. Itu kenapa gue gak suka lo deket sama cowok lain selain gue. Gue takut lo bakal jadi milik cowok lain." "Kakak pernah tanyain Taris cinta kakak nggak?" "Nggak perlu, cinta atau enggak, cuma gue yang bisa cinta lo lebih dari siapapun. Gue bisa bahagiain lo dengan cara apapun. Lo gak cinta guepun nanti bakal cinta kalo lo udah paham gimana gue cinta lo, gimana perjuangan gue buat selalu ada di samping lo. Sekarang lo masih belum cukup umur buat tahu itu semua." Egois! Teriak Taris di dalam hati. El tak akan pernah bisa berubah. Sampai kapanpun. Ia dan imajinasi menyeramkannya. El bukan tuhan yang menentukan alur cerita Taris akan seperti apa. Dan El tak berhak sedikitpun untuk ikut campur dengan apa yang akan ia pilih di masa depan. "Kalo hati kakak berubah gimana?" "Nggak akan." "Kenapa kakak bisa seyakin itu?" "Kalo emang hati gue bisa berubah, dari kecil sampe sekarang, nggak mungkin gue nungguin lo Tar. Gue udah main sama cewek lain. Nyatanya gue gak bisa, gue cuma takut kehilangan lo." Dalam hati Taris bersorak, ia akan lihat bagaimana mereka 5 tahun ke depan, apa akan sama atau tidak. Taris akan pergi sebentar lagi. Dan mungkin percakapan yang mereka lakukan saat ini akan menjadi detik-detik terakhir mereka berpisah. Entah kapan mereka akan bertemu lagi. Tapi yang jelas, takdir tak akan mempermainkan skenario yang El buat. Jika memang sejalan, tak akan ada yang mustahil untuk mereka bersama. - To be continue -
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN