Suffering

2145 Kata
"Minggir!" sentak Wulan, mendorong tubuh Bimo yang menghalangi jalannya. "Lan." "Kenapa? Bukannya ini yang selama ini lo lakuin ke gue? Apapun biar gue menderita. Jadi biar lo nggak repot, gue aja yang mengundurkan diri," ujar Wulan, kemudian beranjak menuju pantry. Opi yang melihat ekspresi marah Wulan saat kembali ke pantry, tak tahan untuk tidak bertanya. "Kenapa?" Opi menatap Wulan penuh tanda tanya. "Jangan bilang lo udah ketemu sama si bos? Trus lo udah nggak tahan dengan sikapnya? Ini belum ada dua jam!" pekik Opi tak percaya, tapi pandangan bingung bercampur takjub masih ada di matanya. "Wulan." Sebuah suara yang berhasil membuat Opi menegakkan tubuhnya. Sedangkan Wulan tetap sibuk memasukan peralatan kebersihannya kembali ke gudang pantry. Melihat wajah Bimo yang sudah merah padam, Opi berusaha memberikan kode-kode agar Wulan menghentikan kegiatannya dan merespon panggilan Bimo, tapi yang diberi kode masih enggan menghentikan kegiatannya. "Wulan!" bentak Bimo. Kali ini nada suaranya sudah naik 4 oktaf, membuat Opi berjengit. "Kamu bisa berhenti melakukan apapun yang kamu lakukan sekarang!" perintahnya kemudian. Wulan menutup pintu gudang pantry, menatap malas kedua mata Bimo. "Apa lagi? Kurang jelas apa yang gue omongin tadi?" ujar Wulan malas sambil mengambil tasnya yang berisi bajunya. Bimo meraih tangan Wulan, ditariknya hingga mengikuti langkah lebar Bimo, membuat Opi ternganga. Bimo langsung membawa Wulan menuju lift khusus yang digunakan para Direktur di kantor ini, tentu saja itu termasuk Bimo. Tak mau melepaskan walaupun sebentar, Bimo terus menggenggam jemari Wulan, hingga gadis itu menggeram kesakitan, "errgg, sakit, Bim. Lepasin." "Nggak, kamu bakalan kabur lagi. Seperti yang udah aku bilang, dan akan aku ulangi lagi! Kali ini kamu yang datang kemari, aku nggak akan lepasin kamu lagi," ulang Bimo dengan penuh penekanan dan terus menekan tombol basement. Tak berapa lama, Wulan kini tengah terduduk di depan Bimo, hanya dipisahkan sebuah meja yang tak terlalu besar di antara mereka. Pandangannya mengedar, restauran cepat saji yang buka 24 jam ini masih sepi, hanya ada seorang ibu yang sedang berdiri di depan konter pemesanan untuk memesan sarapan anaknya yang menunggu di kursi, tak jauh dari tempatnya. "Aku lapar," rengek Bimo yang berhasil membuat mata Wulan membulat, terkejut dengan nada manja yang keluar dari mulut Bimo. "Aku mau sarapan," lanjutnya malas dengan tubuh bersandar di kursi. "Lo sakit?" Bimo menggeleng sebagai jawaban. "Trus kenapa lo jadi aneh begini?" Bimo berdeham, lalu mengusap hidungnya yang tak gatal sembari berpikir tugas apa yang akan diberikan untuk gadis di depannya. Yang dengan penuh keberanian, menatapnya pongah. Baiklah, let's play, girl! "Ini tugas pertama kamu sebagai asisten pribadi aku. Aku mau sarapan, jadi kamu pesenin sekarang." Wulan kembali terbelalak, terakhir Kali dia ingat betul bahwa dia melamar sebagai office girl, bukan sebagai asisten pribadi Bimo. Kenapa sekarang dia harus menuruti perintahnya? Oh iya, Wulan lupa kalau Bimo adalah panglima tertinggi di kantor, dia membawahi semua karyawan, tak terkecuali Wulan yang seorang office girl. "Aku mau pancake dan kopi hitam." Wulan bangkit dan melangkah menuju konter pemesanan, menunggu sebentar, kemudian kembali ke meja Bimo dengan membawa nampan berisi pancake dan secangkir kopi hitam yang masih mengepul. Bimo tersenyum miring, tak bersuara, langsung melahap menu sarapannya. Sedangkan Wulan hanya memandang ke luar jendela, melihat lalu lintas yang masih lengang. "Kamu nggak pernah dateng reuni?" Wulan menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya. "Gue akan ingetin lo satu hal. Kalau lo lupa." Wulan mencondongkan tubuhnya pada Bimo. "Gue nggak pernah lulus dari sekolah itu! Puas?" Bimo tersenyum miring, lalu mengangkat kedua bahunya tanda tak acuh. "Kamu nggak mau cerita, gimana kamu bisa bebas?" "Gue rasa nggak perlu gue yang cerita. Sebaliknya, cerita lo pasti lebih lengkap soal gue." Bimo tersenyum simpul mendengar jawaban Wulan, dan itu memang benar adanya. Setelah apa yang dilakukan Wulan terhadap kekasih hatinya, dia menjadikan Wulan adalah tujuan hidupnya, obsesinya. Menjadikan hidup Wulan menderita adalah hal yang paling diinginkannya saat ini dan saat-saat yang akan datang, entah sampai kapan.  Setelah menyelesaikan sarapannya, Bimo memaksa Wulan untuk ikut kembali ke kantor. Sepanjang perjalanan, keadaan kembali hening, tak ada lagi yang berbicara. Hingga mereka tiba kembali di parkiran kantor. "Aku nggak akan lakukan hal itu lagi ke kamu. Maksudku, bikin kamu dipecat. Aku rasa sudah cukup apa yang aku lakuin ke kamu. Jadi mulai sekarang bagaimana kalau kita berdamai?" Bimo mengulurkan tangannya pada Wulan yang menatapnya bingung tanpa menyambut uluran tangannya. "Baiklah, terserah kamu aja. Mau percaya atau tidak." Tanpa membalas perkataan Bimo, Wulan keluar dari mobil dan berjalan cepat menuju pantry di lantai tujuh. Saat ini dia tidak punya pilihan lain. Sepanjang perjalanan, dia terus memikirkan nasibnya jika memaksakan diri keluar dari kantor Bimo saat ini juga. Tidak ada stok lowongan pekerjaan dalam agendanya. Baiklah, untuk beberapa minggu kedepan, ia akan bertahan di sini. Tidak lebih dari gaji pertama, setelah dipastikan dia sudah mendapatkan pekerjaan pengganti di tempat baru, yang tidak diketahui Bimo, dia akan pergi. --------------------- Sabar, Bimo. Kali ini hanya perlu bermain cantik agar mangsamu tidak lari lagi. Tahan emosimu. Tak lama, Bimo menyusul Wulan keluar dan melangkah menuju ruangannya. Cukup berani, batinnya, saat melihat Wulan sudah kembali membersihkan ruang kantornya, seolah kejadian pagi tadi tidak pernah terjadi. Bimo langsung duduk di kursi kerjanya, memeriksa beberapa berkas di meja. Sesekali dia melirik Wulan yang kali ini berusaha menjangkau sisi atas kaca jendela di ruangan. Berulang kali dia melompat, untuk menggapai sebuah noda di bagian atas jendela, namun selalu gagal. "Mana tongkat pembersih kacanya?" tanya Bimo. "Dipake Opi." Jawab Wulan, kemudian Bimo hanya ber-O ria. "Eh! Itu sofa mahal! Itu asli dibeli dan dikirim dari Italia! Turun!" sergah Bimo saat melihat Wulan tengah memanjat sofa mahal untuk menggapai noda sialan yang sudah membuatnya kena semprot Bimo. "Huh!" sebal Wulan, sambil menginjak sofa lagi. Bimo yang melihat tindakan Wulan, kembali naik tensi darahnya. Gegas dia menghampiri Wulan, sedikit berjongkok, lalu melingkarkan kedua lengannya di sekitar paha Wulan, dan mengangkat tubuh gadis mungil itu. "Lepasin, Bim!" "Buruan, jangan banyak bacot! Bersihin!" "Tapi turunin dulu, ntar ada yang lihat!" Benar saja, tak berapa lama, Tari yang adalah sekretaris Bimo terlihat sedang berjalan kembali menuju kubikalnya sembari membaca berkas yang dibawanya. Bimo langsung menurunkan Wulan, dan memberikan hadiah sebuah toyoran ke kepala Wulan. "Dasar keras kepala! Nggak tahu terima kasih!" kesal Bimo. "Bodo amat!" kesal Wulan, kemudian secepat mungkin keluar dari ruangan Bimo sembari membawa peralatan perangnya. Di kejauhan dia masih mendengar Bimo mengoceh tentang sofa mahalnya. "Tunggu! Kamu OG baru ya?" tanya seorang karyawati, menghentikan langkah seribu Wulan. "Beliin kita kopi di kedai depan. Ini uangnya. Inget, empat kopi ya, buat kita-kita," perintahnya sambil menunjuk ketiga teman lainnya. Wulan menerima uluran uang yang diberikan wanita itu, kemudian kembali menuju pantry dan menggerutu kesal. "Kenapa lagi, Lan?" tanya Opi sambil memasukan peralatan kebersihannnya ke gudang. "Kena semprot Pak bos lagi? Udah anggep aja kentut gajah, bauk!" Wulan tergelak, kemudian menunjukan dua lembar uang seratus ribuan yang tadi diterimanya, membuat Opi menahan senyumnya. "Tugas pertama. Kita mesti mau, Lan. Kita di sini kan cuma OG. Dinikmati aja." "Ya udah, gue pergi bentar ya." Langkah Wulan terhenti di depan pintu pantry, karena Bimo sudah berdiri di sana, menghalangi jalannya. "Ambilin laundry saya di binatu. Sekarang juga, kamu bisa pergi naik ojek di depan kantor. Nggak ada yang namanya bantahan, apalagi penolakan. Saya tidak terima," tegas Bimo. "Gue mesti beli kopi," respon Wulan sambil lalu, membuat Bimo meradang, kemudian menyentak tangannya, mengambil lembaran uang di tangan Wulan, lalu memberikannya pada Opi. "Opi, kamu gantiin Wulan. Belinya di kedai kopi depan kantor kan?" tanya Bimo sambil menyerahkan uang itu pada Opi, dan Opi mengangguk setuju. "Kamu segera laksanakan tugas saya. Selesai dari binatu, kamu sekalian mampir ke toko buku, beliin saya notes. Abis itu kamu ke toko bunga, saya mau sebelum jam pulang, sudah ada bunga mawar putih di meja saya," jelas Bimo. Opi dan Wulan saling menatap saat Bimo sudah berlalu. "Pak Bos aneh banget. Kenapa banyak banget permintaannya. Susah pula! Kalau mau notes, tinggal minta aja di bagian ATK kantor. Bunga? Sejak kapan? Pacar aja nggak punya, ini kok minta bunga. Lha, kata anak-anak yang lain malahan dia ini homoan kok sama temennya yang suka nyamperin ke sini, patah hati deh semua pegawai cewek di sini," gumam Opi bingung. Wulan tersenyum simpul. Opi sungguh lucu! Kalau dia tahu bagaimana Bimo sebenarnya, dia pasti akan langsung mengumpat! Wulan juga tahu, ini hanya akal-akalan Bimo saja, membuatnya menderita. Ini juga baru saja dimulai, hari pertama. Setelah ini akan datang hari berikutnya yang sudah dapat dipastikan bahwa Wulan akan semakin menderita dari hari-hari sebelumnya. ------------------- Benar saja, permintaan Bimo makin aneh. Tidak hanya menyangkut urusan kantor, bahkan di hari keempat Wulan bekerja, Bimo membawanya pergi dari kantor ke apartemennya, menyuruhnya untuk membersihkan apartemen miliknya. Tidak hanya sampai di situ, walau hari makin larut, Bimo masih meminta Wulan memasak makan malam untuk Bimo sebelum pulang. "Asin! Kamu minta kawin?" dengus Bimo setelah memuntahkan masakan Wulan yang keasinan, "Ayo sini kawin sama saya. Lagian juga nggak ada yang mau nikah sama bekas pembunuh, kan?" ejeknya. Wulan bergidik mendengar perkataan Bimo, kemudian langsung pamit pulang tanpa mempedulikannya yang masih mengomel, karena makan malamnya rusak. Ingin sekali Wulan berhenti bekerja, dia sudah tidak tahan dengan siksaan Bimo. Namun, hal itu urung dilakukannya karena sampai saat ini dia belum mendapatkan pekerjaan pengganti. Oleh karenanya, Wulan tidak akan gegabah untuk melarikan diri dari perusahaan Bimo, sebelum mendapatkan pekerjaan baru, atau maksimal setelah dia mendapatkan gaji pertamanya. Itu akan sangat membantunya untuk bertahan hidup selama sebulan lebih, sembari mencari pekerjaan baru. Ya, dia hanya butuh bertahan selama sebulan di sini, sampai gaji pertamanya sampai dengan selamat di tangannya. "Jadi benar, di sini isinya boneka voodoo?" tanya Wulan iseng saat membersihkan ruangan Bimo. Bimo yang saat itu sedang duduk di sofa membaca koran pagi mengernyit, kemudian menurunkan koran, menatap bingung kepada Wulan. "Gosipnya lo punya boneka voodoo buat masing-masing karyawan lo, dan disimpennya di sini," Lanjut Wulan sambil menunjuk laci kabinet yang terkunci. "Bukan urusan kamu." Sejauh ini, tidak pernah sekalipun Wulan melihat Bimo membuka laci itu. Apa benar ada sesuatu yang sangat rahasia di dalamnya? Ah, itu bukan urusan Wulan, jadi untuk apa dia memikirkannya, lebih baik dia memikirkan cara bagaimana menghindari permintaan konyol Bimo yang menyuruhnya untuk les pijat. "Biar kalau aku pegel, kamu bisa pijitin. Kamu kan asisten pribadi aku." "Lagi, gue ingetin lo ya, Bim. Gue daftar di sini sebagai office girl. Bukan asisten pribadi lo, apalagi orang yang bisa lo suruh seenak jidat lo!" "Aku nggak peduli. Di sini aku yang pegang kendali. Kalau kamu nggak suka ..." Bimo berjalan mendekati Wulan, disentuhnya pipi kiri Wulan. "Kamu bakal tetep di sini, karena semua keputusan ada di tanganku. Ngerti?" lanjutnya, sembari menepuk kedua pipi Wulan pelan. Itu alasan Bimo kemarin saat matanya tidak beralih dari ponselnya, sedang mencari tempat kursus pijat. "Pijat ala salon juga ngga apa-apa kok. Ya, walaupun kadang kurang manteb aja, tapi buat kamu nggak apalah. Lagian nggak apa-apalah, kan bisa jadi ternyata kamu punya bakat tersembunyi, jadi tukang pijat misalnya?" Bimo beranjak dari duduknya, kemudian beranjak menuju kabinet, membuatnya sekarang berdiri tepat di depan Wulan. Tangan besarnya mengelus badan kabinet, ada tatapan aneh di matanya, entah apa, Wulan tidak bisa mengartikannya.  "Kamu nggak akan pernah ngerti pentingnya benda yang ada di dalam sini." Bimo memutar tubuhnya, menatap Wulan dengan cengiran meremehkan khasnya. "Karena kamu yang menghancurkan benda-benda yang ada di sini." "Huh! Gue tahu isinya aja juga nggak. Gue kerja juga belum lama, kenapa gue bisa ngehancurin itu benda?" tanya Wulan sambil bersedekap, tak ingin kalah oleh intimidasi yang diberikan Bimo, setiap kali mereka bersitatap.  Gestur dan ucapan Wulan berhasil membuat Bimo meradang, diraihnya kedua pundak Wulan, lalu dihimpitnya tubuh kecil itu, antara tubuh Bimo dan kabinet. Perlahan jemari Bimo menelusuri peta wajah Wulan, mulai dari kening, mata, dan berakhir di leher dengan cengkeraman. "Aku penasaran, kalau aku kasih goresan sedikit di wajah kamu, kamu masih bisa sombong nggak sih? Atau, gimana kalau aku ambil harta paling berharga yang kamu punya?" "Silakan buktikan! Kalau lo emang punya nyali!" Bimo mengetatkan cengkeramannya di leher Wulan, masih dengan senyum merendahkan dia berucap, "Belum, Sayang. Belum saatnya kamu merasakan lebih dari apa yang udah aku lakuin ke kamu yang dulu-dulu itu. Menutup akses kerja kamu, itu baru menu pembuka. Aku nggak mau langsung ke menu makanan utama, karena main-main sama mangsa seperti kamu itu, lebih menyenangkan." Wulan memutar matanya jengah. Bimo memang memiliki segudang cara untuk membuat Wulan menderita, bahkan sepertinya dia tidak akan pernah kehabisan ide untuk itu. Wulan hanya perlu bertahan, ya bertahan hingga ia mendapatkan gaji pertamanya – berkali – kali Wulan menyakinkan dirinya sendiri, masih dengan menatap Bimo marah. Ditepisnya tangan pria itu kasar, lalu mendorong tubuh besar itu sekuat tenaga berusaha keluar dari himpitan tubuh Bimo. "Gue tunggu nyali lo!" tantang Wulan, yang kemudian berlalu menuju pantry. Bimo mengambil sebuah anak kunci dari saku celananya, kemudian memutarnya pada lubang kunci kabinet, "Tunggu, Sayang. Aku akan balas dendam kamu ke dia. Aku nggak akan lepasin dia gitu aja," janji Bimo pada sebuah botol kaca kecil berisi origami burung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN