Delapan tahun yang lalu...
"Ini kamu salah pake rumusnya, Lan. Coba deh kamu liat lagi rumus buat nyari vektornya."
"Emang salah ya, Bim? Perasaan kemaren kamu ngajarinnya pake rumus ini kok."
"Ini kan beda soalnya, Lan. Udah sekarang coba kamu pake rumus yang ini."
Bimo menunjuk sebuah persamaan rumus fisika dengan ujung pensilnya.
Sedangkan Wulan sangat sebal, karena sejak tiga hari lalu dia terpaksa belajar bersama Bimo, dan sepertinya tidak ada kemajuan sama sekali. Wulan masih banyak melakukan kesalahan dalam mengerjakan soal Fisika, Kimia, matematika, bahkan Bahasa Inggris.
Memang Tuhan itu Maha Adil, cantik belum tentu pintar, contohnya ya Wulan ini, batin Bimo yang menumpukan dagunya di sebelah tangannya, sembari masih terus menatap Wulan yang kebingungan mengerjakan contoh soal.
Kalau bukan karena perintah gurunya dan imbalan uang jajan tambahan, Bimo tidak akan pernah mau menjadi guru les private Wulan, gadis cantik tapi bebalnya minta ampun.
"Ujian sekolah tinggal tiga minggu lagi, dan kamu masih banyak nggak ngertinya. Lama-lama aku nyerah juga. Lagian kamu ini kalau di kelas ngapain aja sih?"
"Bukan urusan kamu. Emang apa hebatnya sih kamu? Sampai Mama aku nyuruh kamu ngajarin aku?"
"Tanya aja sama Mama kamu. Aku sih juga males ngajarin cewek bebal kayak kamu."
Wulan merobek selembar kertas, meremasnya, kemudian melemparkannya ke muka Bimo yang duduk di hadapannya.
"Aku juga males diajarin sama cowok angkuh, galak, sok pinter kayak kamu. Mending ganteng! Kamu tuh harusnya ngaca, gimana muka kamu! Mirip gorilla, buluan dimana-mana! Cukur tuh kumis! Umur masih anak sekolahan, tapi kumisan, udah mirip bapak-bapak lo!"
"Kok kamu main fisik sih?" Bimo meradang mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Wulan.
"Biar kamu nyadar, kamu tuh ngga lebih baik dari aku!"
Baru saja Bimo hendak membentak Wulan, namun diurungkannya niatnya itu, karena Bu Srikandi--mama Wulan--guru Kimia di sekolah mereka tiba-tiba masuk ke ruang kerja Papa Wulan, tempat belajar mereka saat ini.
"Gimana, Bim? Betah ngajarin Wulan? Pasti susah banget ya."
Bimo hanya tersenyum.
"Mama apaan sih?" Wulan kesal, dia membuang muka.
"Ya udah, lanjutin lagi ya. Mama keluar sebentar."
"Aku yakin cewek kayak kamu nggak akan bisa dapet nilai bagus. Bebalnya ngga ketolong sih."
"Kamu nantangin? Ya Ayo! Kita taruhan! Aku bakalan masuk peringkat 100 besar di ujian sekolah nanti."
"Huh, 100 terlalu mudah. Gimana kalau 50?" tantang Bimo.
Wulan tampak berpikir mendengar tantangan Bimo. Tapi sudah kepalang basah, dia tidak bisa mundur lagi, Malu! Di sisi lain dia juga tidak yakin akan masuk peringkat 50 besar untuk nilai ujian kenaikan kelas nanti. Karena di dalam hatinya, dia juga menyadari kemampuannya yang jauh di bawah rata-rata.
"Ok! Apa taruhannya?"
"Kalau kamu kalah, kamu harus mau bantu aku buat dapetin cewek paling populer di sekolah, sebelum lulus."
Wulan melotot tak percaya, hampir saja dia tersedak roti bolu buatan Ibu Srikandi. "Hah? Maksudmu? Vanya?"
Bimo nyengir sambil mengangguk cepat.
"Mustahil aku bisa mewujudkan itu. Yang lainnya aja, deh. Makan atau apa gitu?"
Bimo menggeleng mantap.
"Kalau kamu gagal bantu aku, maka kamu yang harus jadi pacarku."
"Kamu gila! Dih, amit-amit!"
"Ya udah, berarti kamu cemen."
"Enak Aja! Ok aku terima. Kalau kamu kalah, ehmm...apa ya, aku belum kepikiran."
"Ya sudah, kamu bisa bilang nanti."
"Tapi kamu harus tetap mengajariku."
"Tentu saja, aku akan bermain fair. Tetap mengajarimu semaksimal mungkin, tapi hasil ujian nanti tergantung dari usahamu."
Bimo sadar, dalam pertaruhan ini, dia adalah pihak yang lebih dirugikan. Mau tidak mau, dia tetap harus membantu rivalnya untuk mendapatkan nilai baik, Dan tentu saja itu mengancam kemenangannya, jika Wulan berhasil masuk 50 besar. Jika hal itu terjadi, itu artinya kesempatannya untuk bersama Vanya akan tertutup! Lalu setelah tenggat waktu habis, dan Bimo belum berhasil bersama Vanya, dia juga akan terjebak bersama Wulan. Well, tidak apa, jika itu terjadi Bimo akan meminta Wulan mengabulkan permintaannya yang lain.
Akhirnya setelah belajar dengan sistem sparta, Wulan menghadapi ujian kenaikan kelas yang diadakan selama 4 hari berturut-turut. Selesai ujian, Ada perasaan tidak yakin yang menghinggapi dirinya.
Hari ini, daftar nilai siswa akan diumumkan di papan pengumuman, berikut dengan peringkatnya. Wulan berlari kecil menuju papan pengumuman, debar di dadanya tak bisa dia kontrol. Sejak tadi pagi saat di rumah hingga saat ini dia merapalkan doa agar masuk 50 besar, karena dia ingin sekali keinginannya dikabulkan oleh Bimo. Dia sudah memutuskan hadiah yang diinginkannya, kalau dia menang taruhan. Dan hanya Bimo yang bisa mewujudkannya.
Panik, Wulan terus meremas ujung seragamnya. Dia sadar tidak mungkin dia berada di tingkat 10 besar, makanya dia mulai mencari namanya dari peringkat 60, kemudian terus Naik. Hingga jarinya menunjuk angka 25, Wulan belum menemukan namanya. Dia semakin panik. Jari telunjuknya terus menyusuri peringkat 25 besar. Akhirnya Wulan tetap tidak menemukan namanya dalam daftar itu.
Wajahnya tertunduk. Dia kecewa. Tidak Ada namanya di peringkat 50 besar, padahal dia yakin sudah maksimal mengerjakan ujian Dan yakin akan mendapatkan nilai bagus. Sebuah tangan tiba-tiba menarik lengannya. Ditariknya Wulan hingga ke bagian tengah kertas pengumuman.
"Lihat ini. Ini nama kamu," ujar Bimo sambil menunjuk nama Wulan di sana, tepat di urutan ke 101. "Bahkan 100 besar pun kamu tidak sanggup. Menyedihkan," ejek Bimo kemudian.
-------------------------
Bimo mengetukan jemarinya di meja kerja. Sesekali matanya menangkap sosok Wulan yang terkadang mondar mandir di lantai 7. Amarah selalu menyergapnya setiap dia melihat sosok itu. Penghinaan Dan sakit hati yang dirasakannya tak berkurang sedikitpun, bahkan setelah bertahun-tahun lamanya. Entah kapan dia akan terbebas dari rasa ini, Bimo sendiri tidak tahu.
Dulu sekali, pikiran menikahi Wulan muncul tiba-tiba, Bimo merasa dengan begitu dia akan lebih leluasa untuk balas dendam. Membuat hidup Wulan menderita, seperti yang selama ini Bimo rasakan.
"Lo jangan gila, Bim. Nikah itu nggak main-main. Dosa lo! Apalagi tujuan lo cuma buat balas dendam!"
Bimo teringat ucapan Arya, sahabatnya di kala itu. Namun, tidak dihiraukannya. Kini Wulan berada dekat sekali dengannya, Dan dia tidak akan melepaskannya begitu saja. Jika dengan cara baik-baik dia tidak mendapatkan Wulan, maka terpaksa dengan cara kasar.
Di otaknya sebuah rencana licik tersusun rapi. Memikirkan rencananya saja sudah berhasil membuat seringai Bimo mengembang. Dia tidak sabar untuk mengeksekusi rencananya itu. Mungkin nanti sepulang kerja bisa langsung ia lancarkan.
Bimo mengangkat telepon mejanya, menekan nomor ekstensi sekretarisnya - Tari. Dilihatnya melalui kaca bening, sekretarisnya mengangkat telepon darinya.
"Saya hari ini akan lembur. Kamu siapkan semua berkas yang perlu saya periksa." Kemudian Bimo menutup teleponnya dan senyuman licik tercetak di wajahnya.
----------------
Matahari semakin condong ke barat. Jam dinding di ruangan Bimo bergerak menunjuk ke angka 5. Beberapa karyawannya sudah pulang. Mungkin hanya Ada sekitar 4 orang termasuk dirinya yang masih menghuni lantai 7.
"Opi, kamu belum pulang?" tanya Bimo sembari mengambil cangkir kopi dari kabinet pantry.
Opi yang saat itu sedang mencuci gelas, gegas menghampiri Bimo. "Belum, Pak. Bapak mau saya buatkan kopi?" tawar Opi.
"Oh, nggak usah. Saya pengen bikin sendiri."
Bimo mulai menuang bubuk kopi dan gula dengan perbandingan 1:2 ke dalam cangkirnya. Kemudian menyeduhnya dengan air panas dari dispenser.
"Temen baru kamu kemana?" tanya Bimo, sambil sesekali menyesap kopi dan memperhatikan keadaan sekitar saat tidak menemukan Wulan di sana.
Opi menghentikan aktivitasnya membersihkan sink sesaat.
"Oh, Wulan, dia sedang ke toilet."
Bimo mengangguk pelan, tangannya kembali meraih sebuah cangkir dari dalam kabinet, menyeduh kembali secangkir kopi. Kemudian membawanya menuju ruangannya, "Oh iya, suruh teman baru kamu menemui saya setelah dia kembali."
Opi mengangguk.
Suasana lantai 7 semakin sepi, bahkan beberapa lampu sudah mulai dimatikan. Hanya menyisakan dua buah lampu yang masih menyala di masing-masing pojok ruangan, dan ruangan Bimo.
Di dalam kubikalnya, rahang Bimo mengeras, jemarinya kembali mengetuk meja tak sabaran. Sudah satu jam yang lalu Bimo menitip pesan pada Opi, agar Wulan menemuinya sebelum pulang. Bahkan kopi yang memang sengaja Bimo buat untuk Wulan sudah tak lagi hangat.
Bimo bangkit dan berjalan melewati kursi serta meja kerja yang terbengkalai karena tak ada lagi pekerja di lantai itu, menuju pantry.
"Wulan!" teriaknya saat melihat Wulan menata gelas-gelas yang sudah dicuci Opi ke dalam kabinet.
Tersentak kaget Wulan mendengar teriakan Bimo, yang sekarang sudah berdiri dengan tatapan menghujam di sampingnya. Wulan tidak mempedulikannya dan kembali sibuk dengan tugasnya.
"Opi nggak bilang ke kamu?"
Wulan mengernyitkan dahinya, bilang apa? Batinnya. Oh, apakah pesan tadi? Bimo ingin gue dateng ke ruangannya?
"Bilang. Tapi gue sibuk. Nggak Ada waktu."
Bimo menarik lengan Wulan kasar, dihadapkannya tubuh Wulan ke tubuhnya. Lalu, "Aku atasan kamu di sini. Jaga cara bicaramu! Ayo ikut!"
Bimo menarik kasar lengan Wulan, menyeretnya masuk ke ruangan kerjanya. Dikuncinya pintu ruangannya dan diturunkannya tirai yang membatasi pandangan ruangan Bimo dan meja karyawannya.
Bimo menghempaskan Wulan ke sofa, mengungkung tubuh Wulan dibawah kuasa tubuhnya dan mulai mencumbunya. Sekuat tenaga Wulan berusaha mendorong tubuh Bimo! Ini sudah di luar batas penyiksaan Bimo yang mampu Wulan pikirkan. Harus melayani nafsu b***t pria yang sedang kalap ini, tidak pernah sekalipun dibayangkan oleh Wulan!
Seketika ketakutan merambati diri Wulan saat pria di atasnya mulai membuka kancing kemejanya satu per satu. Ditatapnya mata Bimo yang menggelap penuh amarah. Wulan menyadari, ini tidaklah baik untuk dirinya. Dia berusaha sekuat tenaga kembali mendorong tubuh Bimo. Percuma, Bimo dengan pikiran waras saja Wulan tak mampu melawan. Apalagi kini Bimo dalam dengan pikiran bejatnya, kekuatannya seakan berkali-kali lipat lebih besar dari biasanya.
"Lepasin gue, Bim! b******k lo!"
"Diem! Atau gue bunuh lo sekalian!"
"Lebih baik gue mati daripada nurutin nafsu b***t lo!" bentak Wulan sambil terus berusaha melepaskan diri dari Bimo dan berteriak minta tolong. Namun percuma saja, karena tidak ada orang di lantai 7 selain Bimo dan Wulan.
"Diem, Lan! Diem! Gue bilang diem!" teriak Bimo berulang kali, saat gadis di bawahnya ini terus meronta minta dilepaskan.
Airmata Wulan akhirnya jatuh juga saat Bimo melayangkan satu tamparan di pipi Wulan, membuat pipi gadis itu panas. Diiringi dengan isak yang bukannya membuah Bimo menghentikan aksinya, pria itu justru semakin dalam, kasar, dan menutut mencium Wulan. Tak peduli lagi dengan tubuh Wulan yang bergetar, terisak hebat, dan kini mulai melemah. Gadis itu akhirnya hanya bisa menangis.
Malam ini, Bimo berhasil melaksanakan rencana bejatnya untuk memiliki Wulan. Merenggut satu-satunya kehormatan dan harta berharga yang dimiliki Wulan, membuat hidup gadis itu menderita seumur hidupnya. Setelah berkali-kali mendapatkan kepuasannya, Bimo mengakhiri kebejatannya dengan kecupan singkat di kening Wulan dan senyum merendahkan.
Pria itu kemudian bangkit, sibuk membenahi pakaiannya. Lalu mengambil jasnya yang tersampir di kursi kerjanya, melemparkannya asal ke tubuh Wulan yang polos dan sedang meringkuk di sofa.
"Pakai itu."
Wulan tak acuh dengan perintah Bimo, perlahan dia bangkit dari sofa dan menutupi bagian pribadi tubuh dengan kedua tangannya sembari memunguti satu per satu pakaiannya yang berserak di lantai.
"Nggak usah nangis. Ngapain kamu nangis? Bukannya kamu sendiri yang tadi bilang aku nggak punya nyali?"
Bimo berjongkok di depan Wulan yang masih terisak dan dengan jari gemetar mengancingkan satu per satu kancing kemeja seragamnya. Tangan besarnya terulur, memaksa Wulan untuk memandang kedua netranya. Yang kemudian langsung ditepis kasar oleh Wulan.
"Lo emang pengecut! b***t!"
Bimo tersenyum miring mendengar makian Wulan. Kembali Bimo memaksa Wulan memandangnya.
"Kalau aku pengecut, aku nggak akan ngelakuin ini semua ke kamu. Tapi sekarang lihat apa yang terjadi? Siapa di sini yang kalah? Bukan aku, tapi kamu."
Bimo bangkit, seraya membantu Wulan berdiri. Entah apa yang ada di pikiran Bimo. Pria itu kini malah membantu Wulan untuk mengancingkan kemeja, kembali mengambil jasnya dan memakaikannya ke tubuh Wulan. Tak ada Bimo yang kalap seperti beberapa saat sebelumnya. Pria itu bahkan tiba-tiba menarik Wulan dalam pelukannya, mengelus pelan puncak kepala Wulan, dan terakhir memberikan kecupan singkat di keningnya.
Setelahnya, tanpa berucap lagi, Bimo langsung beranjak meninggalkan Wulan sendiri yang kemudian tubuhnya meluruh. Kembali Wulan tenggelam dalam tangisnya, menenggelamkan wajahnya di antara kedua lututnya. Memeluk pilu kedua lututnya.