Di kamar yang luas tersebut, suara desahan dan erangan terdengar. Di atas tempat tidur, Vincent bergerak dengan cepat. Semakin ia mendengar teriakan memabukkan yang keluar dari bibir manis Maya, semakin ia bergerak lebih bersemangat. Memegang pinggang Maya di tiap sisinya dengan erat, ia mendorong tubuhnya semakin cepat dan semakin cepat.
Maya tahu besok pagi akan terdapat memar di pinggangnya, tapi dia tidak peduli. Perasaan penuh di bagian bawah tubuhnya mengalihkan segala kesakitan yang ia terima. Kegilaan yang mereka buat semakin menjadi.
“Sebentar lagi. Hampir sampai.” Suara Vincent terdengar agak berat.
Beberapa dorongan berikutnya, pelepasan itu menghampiri mereka berdua bersama.
Berkeringat dan terengah-engah Maya memainkan rambut Vincent yang masih menyandarkan tubuh lelahnya di atas tubuh Maya. Pria itu memberikan kecupan basah di bahu telanjang Maya sekilas sebelum bergerak ke sisi kosong tempat tidur dan melepaskan pelindung di organ tubuh bawahnya, mengikat ujungnya lalu membuangnya ke tempat sampah kecil.
“Kenapa kau menggunakannya?” Maya bertanya membuat Vincent menatapnya. “Aku menggunakan pengaman.”
“Jangan menggunakannya lagi.”
Lagi... Kata itu membuat Maya tidak bisa berbicara. Mereka akan mengulangi hal ini lagi ke depannya?
“Itu tidak baik untukmu.”
Maya mengedikkan bahunya. Saat bersama mantannya, dia sudah lebih dulu menggunakannya dan itu baik-baik saja selain periodenya yang kerap kali datang telat. Tidak ada masalah yang terjadi.
“Ke depannya.” Vincent menambahkan. “Pikirkan juga dampaknya ke depannya.”
“Tapi bukankah tidak enak ketika kau menggunakan kondom?”
Mendapatkan tatapan penuh arti dari Vincent, Maya berkata dengan wajah merah, “Maksudku, kebanyakan pria tidak suka menggunakan itu ketika melakukannya. Mereka bilang itu mengganggu.”
“Itu yang harus kami terima.” Vincent tersenyum tipis sambil mengusap lengan halus Maya. “Dan aku tidak masalah menggunakannya. Yang terpenting adalah kesehatanmu.”
Maya bersumpah, hati kecilnya tersentuh ketika mendengar itu. Seakan ada harapan di depan matanya membuat jantung Maya tidak bisa berhenti bersemangar. Tubuhnya terpacu akan kebahagiaan akibat ucapan ringan tersebut.
“Kamu baik-baik saja?”
Lagi, mana mungkin Maya tidak berdebar-debar ketika pria ini masih memikirkannya setelah dia puas.
Maya mengangguk kecil. “Hmm.”
Maya hanya perlu berbaring beberapa detik. Ia membutuhkan waktu untuk membetulkan napasnya kembali normal seperti sebelumnya. Setelah itu, ia bangun dari tempat nyamannya.
Mata Vincent bergulir ke samping. Menatap Maya yang berjalan menuju kamar mandi. Kembali bersemangat, dia pun ikut bergabung ke dalam kamar mandi dan menggeser pintu buram tersebut hingga tertutup.
Puas dengan ronde kedua, Maya segera menggunakan pakaian dalamnya. Vincent yang baru saja kembali ke kamar dengan segelas air mineral menatap Maya. Dia hanya mengenakan celana tidur yang longgar menampakkan garis V seksi di bawah perutnya yang keras. Dia bertanya, “Kamu ingin pulang?”
“Ya. Ini tidak lagi awal.” Maya mengambil gelas dari tangan Vincent dan meminumnya hingga setengah gelas. “Thanks.”
“Menginaplah di sini,” bujuk Vincent ketika Maya membelakanginya.
Gerakan Maya yang memasang rok kerja terhenti sejenak sebelum melanjutkan pekerjaan tangannya. Tanpa menoleh, Maya berkata tenang, “I can't.”
Vincent yang tidak bisa membujuknya lagi hanya bisa mengangguk. “Mau aku mengantar kamu pulang, M?”
“Aku membawa mobil.” Maya tersenyum singkat ketika duduk di pinggir tempat tidur sambil mengenakan jam tangannya dan perhiasannya.
“Tinggalkan saja di sini. Besok pagi aku akan menjemputmu dan membawamu kemari untuk mengambil mobilmu.”
Maya berdiri mengambil tas kerja dan ponselnya di atas nakas. “Itu membuang waktu. Kau tahu itu, Vincent.”
Vincent membuntuti Maya. Ia meletakkan gelas tadi di nakas. “Tapi ini sudah sangat larut, M. Tidak baik untukmu pulang selarut ini. Biarkan aku mengawasimu pulang dari belakang.”
“Sungguh, aku akan baik-baik saja, Vincent. Jarak dari sini ke rumahku tidak memakan waktu sampai 1 jam. Aku akan sampai dengan selamat.” Maya memberikan senyuman kesekiannya untuk Vincent kemudian memasang stiletto berwarna nude. “Aku pergi. Sampai bertemu besok pagi.”
Maya melangkah menuju pintu kamar. Sebelum dia bisa membuka pintu, pernyataan Vincent di belakangnya membuat dia tidak bergerak.
“Kamu menghindariku.” Vincent segera menyadari ini. Dari awal Maya sangat jelas melakukannya. “Apakah karena peraturan perusahaan?”
Maya berbalik. “Dengar—”
“Persetan dengan peraturan sialan itu.” Vincent melangkah mulai mendekati Maya. “Jika kita baik-baik saja, tidak usah pedulikan peraturan itu.”
“Kau bosku.” Maya memberitahunya hingga Vincent berhenti tidak jauh darinya. “Kau adalah atasanku, Vincent. Bukankah aneh harus berhubungan dengan sekretaris barumu?”
Maya membasahi bibirnya. “Aku tahu aku terdengar bodoh karena harus mengatakannya sekarang, tapi pikirkan dirimu dan diriku. Konsekuensi dan jabatan benar-benar penting untukku, saat ini.”
“Apa kamu menyesal melakukannya bersamaku?” tanya Vincent pelan dan Maya menggeleng.
“Apakah kau?” tanya Maya balik sedikit takut menunggu jawaban Vincent.
“Sialan. Tidak, M.” suara Vincent sedikit meninggi karena geram. “Aku suka melakukannya bersamamu. Kamu juga. Tidak akan ada yang mencurigai kita. Tenang saja kita akan baik-baik saja. Jadi, apa lagi yang kamu khawatirkan?”
Melihat Maya yang diam, Vincent mengeluarkan key card dari laci nakas kemudian menyerahkannya kepada Maya. Maya melihat key card berwarna hitam tersebut dengan tatapan kosong.
“Tidak ada yang tahu tempat tinggalku termasuk Pak Richard. Jadi, kamu bisa kemari kapan pun kamu mau.”
***
Berbaring di atas tempat tidurnya, Maya mengangkat tinggi-tinggi key card di tangannya. Sekali lagi, Vincent menggerakkan hatinya. Kali ini ia membawa pulang key card pria itu. Apakah ini pertanda untuk hubungan mereka yang mulai berkembang?
Menyadari bagaimana besar keinginan Vincent padanya tidak menutup kebahagiaan Maya. Itu benar-benar berarti untuk Maya.
“.... kita akan baik-baik saja.”
Kalimat Vincent itu membuat Maya menerima benda berharga ini. Kalimat yang mulai menenangkan Maya.
***
Setelah malam itu, hari-harinya Maya lewati seperti biasa di kantor. Hanya, sedikit yang beda. Siang hari dia menjadi sekretaris dan karyawan yang kompeten. Sepulang dari kerja dia akan menuju penthouse Vincent. Dia tidak menetap di sana. Dia akan pulang setelah mereka memberikan kepuasan satu sama lain.
Walaupun begitu, Maya merasa ada keganjilan di dalam hatinya namun ia belum tahu apa itu. Ia pikir lebih baik membuang hal kecil yang mengganggunya itu ketika dia sedang bahagia.
“Menginaplah di sini.”
Setiap malam, Vincent sama sekali tidak menunjukkan niatnya untuk menyerah membujuk Maya.
Saat ini posisi Maya tengkurap di atas tubuh keras Vincent. Setelah pergulatan mereka, Vincent membalikkan posisi mereka.
“Jika aku melakukannya, akan ada hari seperti itu ke depannya.” Maya bercanda sambil membuka matanya dengan malas. Maya hendak beranjak dari tempat malasnya tepat ketika Vincent memeluk pinggangnya. Maya menatapnya.
“Aku tidak masalah. Menginaplah sesering mungkin.”
‘Sial.’ batin Maya. Kenapa dia mengatakan itu?! Apakah dia tidak tahu seberapa besar pengaruh dari ucapannya itu pada Maya?!
***
Pagi itu Maya membuka matanya ringan. Ia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi sebelum beranjak dari tempat tidur.
Duduk di pinggir ranjang, Maya mengedarkan pandangannya ke tiap penjuru kamar Vincent untuk menyadarkan dia bahwa ini bukan ilusi. Bukan sebuah mimpi. Dia memang setuju menginap di sini.
Maya menguap kecil dan matanya menangkap sesuatu di atas nakas samping tempat tidur. Sebuah catatan kecil.
Jogging in a park.
V
Maya tersenyum. Ia segera berdiri setelah melakukan peregangan kecil dan mencari matras. Mungkin saja Vincent memilikinya.
Namun setelah mencari beberapa saat, dia tidak mendapatkannya di dalam kamar. alhasil, Maya memulai harinya dengan melakukan yoga di karpet tebal berbulu halus.
20 menit berikutnya, Vincent kembali setelah bunyi pelan lift yang terbuka. Dia mengusap wajahnya yang berkeringat dengan handuk kecil dan mencari air mineral di dapur.
Setelah itu ia segera menaiki anak tangga. Hal yang ia lihat pertama adalah tempat tidur yang sudah kosong. Vincent memasuki kamarnya semakin dalam hingga melihat sesuatu di teras kamar.
Saat itu, Maya dalam posisi headstand yoga, atau shirshasana. Pose ini dilakukan dengan cara membuat tubuh terbalik dengan kepala di bawah dan kaki lurus ke atas. Memiliki sikap yang tegak agar tetap seimbang. Dan ditopang oleh lengan bawah dan ubun-ubun kepala. Untuk lrbih menguatkan posisinya, Maya menjalinkan ke sepuluh jarinya di belakang kepalanya.
Untuk waktu yang lama, akhirnya Maya menurunkan ke dua kakinya dengan santai.
Saat Maya mendongak, dia melihat Vincent berdiri di sana. “No matras.”
“Kita akan membelinya nanti.” Vincent tersenyum. Di saat Maya berdiri dengan keringat tipis, dia bertanya, “Sudah selesai?”
“Belum.” Maya menjawab seraya mengusap lehernya dengan handuk kecil yang diberi Vincent. “Tapi kita akan terlambat bekerja.”
“Kalau begitu lebih baik kita mandi sekarang. Mau mandi bersamaku?”
Maya tertawa kecil saat Vincent menarik lengannya menuju kamar mandi. “Kau memaksaku, sungguh?”
“Aku mengajakmu, M.” Vincent ikut tertawa.
***
Beberapa hari kemudian, bell rumah Nadin berbunyi. Wanita paruh baya itu dengan langkah cepat menuju pintu. Saat membuka pintu, ia melihat anaknya yang membawa beberapa bahan makanan segar dan makanan cepat saji.
Dengan wajah ceria, Maya mengangkat kantong belanjaannya. “Tadaa! Maya beli makanan kesukaan Ibu.”
Nadin tersenyum dan memberi jalan untuknya. “Ayo masuklah.”
Mereka berdua masuk ke dalam. Maya meletakkan kantong belanjaan di atas meja.
“Kenapa banyak sekali, Sayang?” Nadin memeriksa bahan makanan.
“Teman Ibu masih sering kemari, kan? Jadi Ibu tidak perlu ke pasar.” Maya kemudian menambahkan dalam hati bahwa dia juga membeli bahan makanan untuk dia dan Vincent di penthouse sebelum kemari. Dia mulai memasukkan minuman kotak dan botol ke dalam lemari es.
“Ya, dia masih kemari. Ibu juga senang. Setidaknya Ibu punya teman mengobrol. Oh iya, dia juga mengajak Ibu ikut arisan bersamanya.”
“Wah, Ibu ikut kan?”
“Ibu masih memikirkannya.”
“Untuk apa dipikirkan Bu. Ikut saja. Kalaupun Ibu mau jalan-jalan dengan teman-teman Ibu, pergi saja. Tenang, ada Maya dan Kak Ian.”
Nadin memukul main-main bahu anaknya sebelum tertawa bersama anaknya.
“Serius, Bu. Jangan terlalu sering berada di rumah. Jika Ibu mau pergi sampai liburan, Maya tidak akan melarang Ibu. Ibu juga butuh senang-senang bersama teman Ibu.”
“Kalau kamu bilang begitu, Ibu jadi ingin liburan bersama teman Ibu ke Pantai.”
“Oke!” Mereka kembali tertawa. “Ibu pasti belum makan, kan? Ayo, Ibu duduk dulu. Maya ambilkan garpu.”
Spaghetti carbonara, kesukaan Nadin. Mereka makan berdua dengan bahagia sambil mendengarkan cerita Nadin tentang temannya yang memiliki anak cowok itu.
Setelah selesai makan, Maya segera mencuci peralatan makan yang kotor.
“Kamu baik-baik saja tinggal sendiri di indekos, Nak?” tanya Nadin tiba-tiba membuat Maya menoleh. “Kamu sedikit tidak fokus.”
Semenjak hari di mana Maya lemah dengan ajakan Vincent untuk menginap di penthouse pria itu beberapa hari yang lalu, Maya bukan hanya menginap sesekali. Tapi tanpa dia sadari dia sudah tinggal di sana. Seperti pasangan baru, setelah jam kantor berakhir mereka menghabiskan waktu saling menyentuh seolah-olah tidak ada hari esok.
Jadi Maya mengatakan kepada Ibunya, yah walaupun harus berbohong bahwa dia tinggal di indekos karena dekat dengan area kantor. Untung saja Ibunya setuju dan tidak curiga padanya. Juga, Maya tidak perlu membawa mobil dan membiarkan ibunya menggunakan mobilnya.
Namun sayangnya di kantor Vincent dan Maya tidak memiliki waktu berduaan. Maya sibuk dengan tugasnya, begitu juga Vincent. Mereka benar-benar menempatkan jam kerja untuk fokus pada pekerjaan. Lalu siangnya, Vincent akan pergi ke luar tanpa Maya. Pernah sekali Maya bertanya, dia menjawab dia pergi makan siang bersama Ibunya.
Menjawab Nadin, Maya mengangguk tidak enak hati. Dia bahkan tidak berani menatap Nadin di belakangnya. “Ya, Bu. Maya hanya memikirkan beban kerja.”
“Jika sakit atau lelah, kamu bisa kembali kemari. Setidaknya di sini ibu bisa mengawasimu dibandingkan di sana.”
Maya mengeringkan tangannya yang basah dengan handuk kecil di sana sebelum berbalik dan kemudian mengangguk.
Dari luar mereka mendengar suara klakson mobil membuat Maya melihat jam tangannya sebentar dan itu diperhatikan Nadin.
“Kamu sudah mau pulang?”
“Iya. Taksi yang Maya hubungi sudah datang. Weekend ini Maya janji akan kemari.” Maya mengambil tas tangannya kemudian memeluk dan mencium pipi ibunya. “Maya pergi dulu ya, Bu.”
Nadin mengangguk. “Hati-hati ya, Nak. Jangan telat makan.”
“Aye aye, Ma’am!”
Nadin memperhatikan taksi tersebut meninggalkan perkarangan rumahnya sebelum dia masuk.