Taksi yang di tumpangi Maya melaju di jalan yang cukup sepi. Mungkin karena sudah malam mempermudahkan Maya tiba di bar favorit dia dengan cepat.
Setelah membayar taksi, Maya membuka pintu mobil namun terdiam sejenak sebelum menutupnya. Sopir di depannya menatap dia dengan bingung.
“Maaf, Pak. Tunggu sebentar.” Maya memberi alasan sambil tersenyum merasa bersalah. Dia dengan cepat mengetik pesan singkat pada Vincent.
Maya: Apakah ada karyawan perusahaan di sana?
Maya hampir melupakan ini. Bagaimana jika ada orang yang mengenali mereka berdua? Bisa menjadi boomerang di perusahaan! Tidak menunggu lama, pesan baru masuk.
Vincent: Tidak ada.
Vincent: Kamu sudah datang? Di mana?
Vincent: Aku di meja bar.
Oh baguslah. Maya membuka pintu dan mengucapkan terima kasih pada sopir. Berjalan beberapa langkah mendekati pintu bar, Maya segera berbalik dan berjalan cepat menuju tempat yang gelap.
Maya: Bagaimana kamu tahu?
Maya: Kamu bahkan tidak mengenal ratusan wajah karyawan.
Mana bisa Maya percaya dengan jawaban Vincent. Pesan berikutnya kembali datang.
Vincent: Karena aku menghadap pintu dan tidak ada yang menyapaku. Jadi sudah dipastikan tidak ada karyawan Adinata di sini.
Ah benar juga... Maya merasa dirinya bodoh. Semua karyawan Adinata mengenal wajah Vincent, tidak mungkin jika mereka datang ke bar tapi tidak menyapa Vincent.
Tapi tetap saja, Maya harus memastikannya sekali lagi.
Maya: Kamu yakin?
Vincent: Kamu mau kita kembali ke penthouse saja?
Vincent: Sebenarnya kamu sudah tiba atau belum?
Vincent: Mau aku jemput di rumah Ibumu?
“Sial...” Maya berdesis pelan. “Sial sial sial...”
Dia benar-benar bosan berada di penthouse setelah bekerja. Dia butuh ke luar dan sungguh, dia merindukan alkohol saat ini. Dan dia juga merindukan Jay. Berdecak kecil, Maya kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas dan melangkah kakinya yang jenjang menuju bar.
Dari tempat duduknya, Vincent melihat kedatangan Maya. Dia berdiri dari kursi bar ketika Maya mendekatinya. Merangkul pinggang kecil Maya, dia menciumnya dengan keras. Terkejut dengan aksi di depan umum, Maya hanya bisa melebarkan bola matanya. Setelah ciuman itu berakhir, Maya menatapnya dengan tatapan bertanya sekaligus terkejut. Sedangkan Vincent hanya menyeringai.
Vincent menunduk dan berbicara di telinga Maya. “Jangan tegang, M. Tidak ada siapapun yang mengenali kita di sini.”
Vincent memberikan remasan lembut di pundak Maya menyebabkan Maya mulai menjadi santai.
“Ayo, duduklah.”
Dengan perilaku jantan Vincent, Maya duduk di kursi sebelah Vincent. Di saat dia menatap ke bartender, dia melihat kebingungan dan sedikit kaget di wajah Jay.
“Hei, J. Lama tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Aku sangat merindukanmu!” tanya Maya.
Jay butuh waktu untuk memproses semuanya ketika menatap Maya dan Vincent bergantian. Di saat Vincent menatapnya dari pinggiran gelas wiski ketika meminumnya, Jay menjawab Maya, “Sangat hebat seperti biasa, Maya. Bagaimana denganmu?”
“Ya, aku juga.” Maya menjawab sangat ceria.
“Minuman seperti biasa?”
Maya menggangguk dan membiarkan J melakukan tugasnya membuat martini. Merasakan seseorang meremas tangannya, Maya menatap si pemilik tangan.
“Seharusnya kamu membiarkan aku menjemputmu.”
Maya menggeleng. “Arah kedatanganmu cukup jauh jika harus menjemputku.”
“Jadi bagaimana kabar Ibumu?”
Maya menatap mata mesra Vincent. Padahal pria ini belum bertemu Ibunya, dia bahkan tidak tahu di mana rumah Ibu Maya tapi dia cukup perhatian. “Dia baik-baik saja. Besok malam aku akan ke sana lagi.”
Vincent tampak berpikir sejenak. “Jumat malam?”
Maya mengangguk.
“Kamu akan menginap?”
Lagi, Maya mengangguk.
“Kapan kamu pulang? Jangan bilang Minggu malam.”
Maya memasang raut bersalah. “Maafkan aku, Vincent. Dengan sangat menyesal aku mengatakan ya.”
“Tuhan...” Vincent berdesis pelan.
Maya memandang wajah tidak bahagia Vincent. Ia segera menangkup rahang tegas prianya dan memberikan kecupan di sudut bibir pria itu. “Hei, hei, hanya dua hari—”
“3 hari, M.”
“Maksudku hanya 2 malam.” Maya beranjak dari kursinya mendekati Vincent. Lengan kekar Vincent membawa Maya ke dalam pelukannya. Ia menyandarkan dahinya di bahu Maya dan Maya membalas pelukan pria itu. “Hanya 2 malam, oke? Ibuku sendirian di rumah.”
“Padahal aku ingin mengajakmu liburan berdua karena hari kerja kita yang padat membuat kita sulit untuk pergi ke luar. Kita selalu berakhir di penthouse tiap pulang kerja.” Vincent menghela nafas dan mengangkat kepalanya. “Baiklah, temani Ibumu. Akan ada lain waktu untuk kita.”
“Ya, akan ada lain waktu.” Maya tersenyum. Dia mendekatkan bibirnya ke bibir Vincent dan mengusap pelan bibirnya di sana.
Godaan itu membuat Vincent menahan tengkuk Maya dan mencium wanita itu dalam.
‘Tak’
“Ehem...” Bunyi gelas yang diletakkan agak kuat ditambah dehaman Jay menyebabkan ciuman mereka terlepas.
Bukannya marah akibat gangguan tersebut, Maya menyeringai lebar dan kembali duduk di kursinya. “Thanks, J!”
Jay hanya tersenyum singkat sebelum mengeringkan sisi meja bar yang basah karena gelas yang menggunakan es batu. Sambil melakukan pekerjaannya, ia memperhatikan Maya yang meneguk martininya dengan cepat.
“Aku ingin lagi.”
“No.” Jay menolaknya tegas. “Aku akan memberimu air mineral.”
“Hei!” Maya melototinya.“What the hell, J?! Sejak kapan bar menjual air putih?!”
Vincent memandang kedua orang tersebut bergantian. Dan ketika matanya bertemu dengan Jay, bartender itu segera berkata, “Dia tidak kuat minum. Kau tidak tahu apa yang akan ia lakukan ketika mabuk.”
“Hanya satu gelas lagi aku tidak akan mabuk, J!” Elak Maya lalu menatap Vincent. “Percayalah, hanya orang jahat yang mempercayai omongan Jay.”
“Aku sudah hapal kebiasaanmu, May. Satu gelas ke gelas berikutnya...”
“Lagi pula ada Vincent di sini. Dia akan menjagaku jika aku mabuk. Tapi sepertinya tidak akan karena aku selalu tahu batasku.”
“Kau tidak pernah tahu batasmu jika datang bersama orang lain.”
“J!”
J berbicara pada Vincent. “Hanya Tuhan yang tahu bagaimana caranya dia bisa kembali ke rumahnya tiap kali dia mabuk. Aku sarankan jangan biarkan dia meminum lebih dari satu gelas. Ketika dia meminum gelas ke-2, dia tidak akan berhenti.”
“My God, J!”
Memandang wajah Maya yang mengeluh, Vincent hanya mengatakan, “Berikan saja, J.”
Dalam benaknya, Vincent penasaran bagaimana Maya mabuk.
***
Dan apa yang J katakan 100% benar. Hanya 10 menit berlalu dan Maya sudah mabuk. Wanita itu duduk di pangkuan Vincent dan meminum wiski Vincent. Setelahnya dia berdesis ketika alkohol membakar tenggorokannya.
“Screw you, J! Mana tequila-ku!” Maya memberi Jay kedua jari manisnya kemudian memeluk leher Vincent dan tertawa.
Dari wajahnya, J seolah mengatakan ‘I told you’ pada Vincent. Namun Vincent hanya tersenyum terhibur dengan Maya di pangkuannya.
Maya menyipitkan matanya ketika menatap wajah Vincent. “Hei Tampan, mau ikut Tante ke hotel? Tenang saja, Tante punya banyak uang. Jika Tante puas, Tante akan kirim 11 Ethereum dan 2 bitcoin. Bagaimana? Tante baik ‘kan?”
Vincent mengangkat kedua alisnya semakin terhibur. Maya Ashley menjadi lebih tak terkendali ketika mabuk. Dia semakin terhibur.
Ada dua pria yang datang ke meja bar. Dua pria asing itu duduk tidak jauh dari kursi Vincent.
Maya yang menangkap kedatangan mereka mulai menggoda mereka dengan wajahnya cantik. “Uh, pria tampan.... Tampan, mau main sama Tante? Tante suka pria-pria tampan!”
Sontak saja Maya dengan mudahnya mendapatkan pusat perhatian dari kedua pria asing itu.
“Tante akan membiayai kehidupan kalian—”
Vincent mengernyit kecil. Jika dia membiarkan lebih lama, Maya akan semakin menjadi liar. Belum lagi, walaupun Maya sedang mabuk wanita ini masih bisa menilai pria asing dengan baik. Jadi dia menyela Maya dengan sabar. “Oke, Tante. Ayo kita pulang.”
Mendengar kata pulang, wajah Maya seketika pucat. “Oh tidak. Jika Tante pulang, Ian akan membunuh Tante.”
“Ian? Siapa itu?” Tanya Vincent.
“My brother. Ian!”
“Kalau begitu kita ke hotel.” Vincent bangkit sambil memegang tubuh Maya yang mulai sempoyongan.
“Yeay!” Maya terkikik geli.
Vincent menggelengkan kepalanya melihat Maya. Dia mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya lalu mengeluarkan uang tunai untuk Jay. “Ambil kembaliannya.”
Mereka mulai berjalan keluar.
Melihat Vincent di sisinya, Maya memiringkan kepalanya. “Hanya kamu?”
Vincent menatapnya bingung.
“Tante mana bisa puas!” Maya berseru kuat kemudian berdecak. Dia segera menoleh ke belakang dan berteriak, “Kemarilah, anak-anak! Ayo main sama Tante. Tante akan—”
“Tenang saja. Saya jamin Tante akan puas hanya dengan saya.” Vincent menjadi tidak sabaran. Ia segera mengangkat tubuh Maya seperti karung beras dan membawanya keluar dari bar.
***
Cahaya matahari yang menyilaukan membuat Maya mengerutkan ruang di antara alisnya yang rapi. Ia membalikkan posisi tidurnya. Namun setelah 5 detik, dia dengan cepat membuka matanya dengan lebar.
Menoleh ke luar teras kamar yang sudah cerah, dia mengutuk pelan, “s**t s**t s**t. Aku akan terlambat! Holy s**t!”
Maya baru saja mendudukan tubuhnya tepat ketika merasakan nyeri yang hebat di kepalanya. Dia kembali memejamkan matanya dan berdesis. Memegang kepalanya dengan dramatis. “Sialan...”
Kepalanya benar-benar sakit. “Apa yang terjadi semalam?”
“... Tante punya banyak uang. Jika Tante puas, Tante akan kirim 11 Ethereum dan 2 bitcoin ....”
“Tante akan membiayai kehidupan kalian—”
“Kemarilah, anak-anak! Ayo main sama Tante...”
“.... Saya jamin Tante akan puas hanya dengan saya.”
Setelah mengingat segalanya dengan jelas saat di bar, Maya meletakkan dahinya di kedua lututnya yang ditekuk. Dan mengutuk kembali.
Oh sial... Dia malu. Sungguh.
Tapi, setelah itu tidak ada hal lain yang terjadi ‘kan? Kekonyolannya hanya sampai di situ saja. Iya ‘kan?
“Ayo ingat kembali, Maya...” bisiknya pada dirinya sendiri.
Walaupun Maya mabuk. Dia selalu dengan mudah mengingat apa yang ia lakukan ketika mabuk di hari esoknya. Entah Maya patut bersyukur atau menangis karena itu.
Seperti sebelumnya, dia mengingat segalanya dengan jelas.
Mulai dari dalam mobil....
“Duduk di kursimu dengan tenang, M.” Vincent mengingatkannya ketika dia sedang fokus menyetir..
“Anak nakal. Ini Tante, Sayang. Tante.” Maya menunjuk dirinya sendiri dengan bangga.
“Tante.” Vincent menghela nafas sebelum geleng-geleng.
Melihat dari ekor matanya bahwa Maya sedang berusaha membuka seat belt, Vincent dengan tangkas memegang tangan Maya.
“Tante mau duduk di pangkuan kamu. Ayo, jadilah anak baik!” Keluh Maya.
“Anak baik sedang menyetir, Tante. Tante tenang dulu ya.”
“Setidaknya biarkan Tante bermain dengan itu...”
Vincent mengikuti arah pandang Maya di antara kedua kakinya. Dia mulai mengeras hanya dengan kata-kata dari seorang wanita yang mabuk. “Sialan, M. Aku sedang menyetir.”
“Tapi Tante suka lolipop.”
“Ya Tuhan...” pegangan Vincent pada kemudi mengencang. Dia bernapas kasar.
“Tante juga suka yang punya extra cream pria tampan. Umm yummy!”
Sontak saja Vincent menatap Maya cepat. Dia speechless.
“Thank God,” bisik Vincent ketika dia akhirnya kembali ke penthouse dengan cepat dan selamat. Dengan tekad yang kuat, dia tidak mengikuti keinginannya meniduri Maya di tepi jalan.
Dia membopong Maya yang melantur mendekati anak tangga.
“Tunggu sebentar.”
Mengikuti perintah Maya, Vincent berhenti. Maya mengeluarkan ponsel dari tasnya. Maya menyipitkan matanya ketika menyalakan layar ponselnya.
Vincent memandang bagaimana jari telunjuk Maya mencari sesuatu di layarnya. Dia tidak dapat membantu untuk tidak bertanya. “Apa yang kamu cari?”
“Alarm. Tante harus bangun pagi. Besok Tante harus kerja supaya bisa menyekolahkanmu sampai menjadi Professor.”
Vincent mengarahkan jari telunjuk Maya ke aplikasi jam di ponselnya.
Ketika Vincent melakukan itu, Maya berseru. “Jarimu sangat besar ya. Tante suka.”
“Aku rasa tidak ada yang Tante tidak suka dariku.”
Maya terkiki geli. Dia mulai memfokuskan dirinya di tab alarm. Dan Vincent tersenyum tipis memperhatikan wajah serius Maya yang sedang mengatur waktu. Ternyata wanita ini masih memiliki sisa kesadarannya.
Namun pikiran bangganya segera hancur sampai ia melihat waktu yang disetel Maya. 17:00, jam pulang kantor.
“Oh really, M.” Vincent tidak dapat membantu untuk tidak tertawa.
“Ayo kita bergulat sampai pagi! Tante tidak akan mengizinkanmu tidur jika Tante belum puas!” Maya berteriak dengan penuh semangat sebelum terkikik.
Vincent menggeleng sambil terkekeh pelan. Masih menahan pinggang Maya dengan satu tangannya, dia mulai membantu Maya menaiki tangga.
“Apa ini hotel, Sayang?”
“Hmm.”
“Ini Presidential suite, kan Sayang? Perlu kamu ketahui Tante alergi dengan standard room. Badan Tante bisa gatal-gatal...” Gerakan tangan Maya seperti sedang menggaruk-garuk bahunya dengan cemberut.
Walaupun kelelahan, Vincent masih bisa tertawa geli. “Untung saja Tante sangat kaya, ya.”
“Hmm~” Maya bersenandung.
Vincent membuka pintu kamar utama. Hendak membawa Maya masuk, ponselnya berbunyi. Berhenti di depan pintu, dia mengeluarkan ponselnya dengan tangan yang bebas. Dia melihat nama mitra kerjanya dan segera mengangkat panggilan tersebut.
“Vincent di sini ....”
Fokus mendengarkan, Maya melepaskan rangkulan Vincent di pinggangnya dan berjalan sempoyongan sambil membuang tasnya di lantai begitu saja.
Vincent memperhatikan Maya sejenak dan berpendapat bahwa Maya akan baik-baik saja sampai di kasur. Kemudian menjawab pertanyaan di seberang telepon. “Ya, itu baik-baik saja .... Oke ....”
Maya menyenandungkan lagu dengan keras. “I am healthy, I am wealthy. I am rich....”
“Apakah Anda di luar?” di seberang telepon bertanya. Ini pasti karena nyanyian Maya sampai ke dia, batin Vincent.
Sedangkan wanita yang tidak sengaja mengusik pembicaraan tentang pekerjaan Vincent dengan penuh percaya diri menggoyangkan tubuhnya mengikuti irama nada lagunya.
“... Got her own money, she 'on't need no nig'. On the dance floor, she had two, three drinks. Now she twerkin', she throw it out and come back in...”
Tanpa melihat-lihat, Maya menabrak dinding di depannya.
‘Bugh'
“Ouch!" Memegang dahinya, Maya memekik sambil mundur ke samping.
Kaki yang melangkah ke samping tersandung pinggiran tempat tidur dengan bunyi ‘Krakk!’
“Ugh!”
Tidak mendapatkan keseimbangan, bukannya jatuh ke tempat tidur Maya terbaring di lantai dengan Dramatis.
***
Vincent memijit pangkal hidungnya. “Tidak. Begini saja, saya—”
‘Bugh Krakk Brakk!’
”Ouch! Ugh!”
Demi Tuhan, belum sampai 1 menit Vincent tinggal, suara menyakitkan terdengar hingga ke telinganya. Suara yang membuatnya kaget dan ngilu bersamaan.
“Maaf, saya akan menghubungi Anda nanti.” Vincent dengan cepat mematikan panggilan.
“M?!” Dia melangkah cepat melewati sekat. Melihat tempat tidur yang tidak berpenghuni mulai membuatnya semakin khawatir. “M? Maya, kamu di mana? May—”
Vincent baru saja melewati tempat tidur dan mendadak berhenti di tengah jalan. Dia menoleh ke samping di mana Maya tertidur dengan posisi tengkurap di lantai sebelah kaki tempat tidur.
“Astaga...” Vincent menyisir rambutnya ke belakang. Lalu menghela napas.
Wanita ini benar-benar tidur di atas karpet.