Tak ada yang menyangka, 30 hari terasa terlewati dengan begitu cepat. Pernikahan yang telah ditentukan oleh pihak orangtua, akhirnya tiba. Dan hari inilah pernikahan antara Irene dan Reiki akan diselenggarakan.
Irene tak pernah menduga bahwa keluarga Altezza ternyata sangat kaya. Rumah yang mereka tempati lebih cocok disebut sebagai mansion dibandingkan rumah. Adrian yang sebentar lagi akan menjadi ayah mertuanya, rupanya memiliki banyak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Baik itu dalam bidang elektronik, hotel, mall & resort, bahkan di bidang kuliner juga. Keluarga itu memiliki banyak restauran yang tersebar di beberapa negara besar di dunia.
Reiki yang merupakan putra tunggal keluarga itu, jelas akan menjadi pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarga Altezza. Katakan Irene sangat beruntung karena akan menjadi istri seorang pewaris tunggal tersebut. Akan tetapi, bagi Irene sekaya apa pun Reiki, dia tetap enggan menikah dengan pria itu. Memangnya setelah mengetahui Reiki kaya raya, dia akan melupakan kebenciannya dan menerima dengan senang hati pernikahan ini? Jawabannya adalah TIDAK. Dia bukan wanita matre, baginya kekayaan bukanlah segalanya. Lagi pula, sampai kapan pun dia akan selalu membenci Reiki. Si maniak game sekaligus sumber kesialan dalam hidupnya.
Saat ini, Irene sedang berada di salah satu ruangan di mansion milik keluarga Altezza. Dia sedang dirias oleh beberapa petugas wedding organizer. Di hari pernikahan, setiap wanita pasti akan merasa gugup dan bahagia di saat yang bersamaan. Namun tidak demikian dengan Irene. Sejak memasuki ruangan rias itu, bibirnya hanya mengerucut kesal, wajahnya tertekuk jengkel dan tatapan matanya terlihat sayu serta sendu. Kentara sekali dia sama sekali tidak merasa bahagia.
“Sudah selesai, Nona. Silakan menunggu sebentar lagi. Nanti kami akan memanggil Anda jika acaranya akan segera dimulai,” ucap salah seorang wedding organizer yang sejak tadi merias Irene dan telah menyelesaikan tugasnya.
“OK,” jawab Irene singkat, datar dan cukup ketus.
Semua wedding organizer meninggalkan ruangan, jadilah dia hanya seorang diri di dalam ruangan tersebut. Irene mendesah lelah untuk kesekian kalinya hari ini. Sebentar lagi, hal yang paling tidak diinginkannya akan segera terjadi yaitu pernikahannya dengan Reiki. Ingin rasanya dia kabur saja sekarang, lalu pergi ke tempat tak ada seorang pun yang akan mengetahui keberadaannya. Irene tentu saja sangat mungkin melakukan itu, jika saja dia tidak mengingat pernikahan ini merupakan wasiat terakhir dari mendiang ayahnya. Dia tidak ingin mengecewakan ayahnya. Jadilah dia memilih untuk tetap duduk manis di dalam ruangan yang sunyi itu.
Atensinya teralihkan ketika seseorang tiba-tiba membuka pintu. Dia menoleh menatap sosok seseorang yang kini berjalan masuk menghampirinya.
“Ren, lo cantik banget,” puji orang tersebut. Seandainya Irene mendapatkan pujian itu tidak di hari ini, mungkin dia akan tersenyum senang mendengarnya. Namun, rasanya berbeda ketika pujian itu datang di hari yang paling tidak diharapkannya ini.
“Lo keliatan gak bahagia.”
“Apa perlu gue jawab? Lo kan tahu jawabannya, Rin.” Irene menyahuti perkataan sahabatnya, Ririn. Ya, Irene memang memberitahukan tentang perjodohan ini pada Ririn. Hanya pada Ririn seorang, dia menceritakannya. Ingat, Irene tak ingin pernikahannya ini diketahui publik. Hanya saja, dia tak bisa merahasiakan ini dari sahabat baiknya itu. Lagi pula mungkin sesekali dia akan membutuhkan teman untuk mencurahkan isi hatinya. Dan menurutnya, hanya Ririn yang bisa dipercayainya untuk dijadikan tempat berbagi keluh kesah.
“Rin... menurut lo, keajaiban itu beneran ada gak sih? Kalau emang ada, gue pengin banget keajaiban terjadi hari ini. Keajaiban yang tiba-tiba buat pernikahan ini batal,” ucap Irene sendu, dengan tatapan matanya menunduk, tertuju pada kesepuluh jemarinya yang saling meremas di atas pangkuan. Ririn menatap iba pada sahabatnya, mungkin di dunia ini hanya dia yang tahu persis bagaimana perasaan Irene saat ini. Sahabatnya itu memang sangat tak mengharapkan pernikahan ini terjadi. Tapi apa mau dikata, bahkan tinggal beberapa menit lagi pernikahan itu akan segera terjadi. Dia sangsi keajaiban bisa terjadi.
“Hmm, jangan berharap yang aneh-aneh, Ren. Lo harus sabar.”
“Di saat udah frustasi, manusia hanya bisa ngarepin keajaiban,” gumam Irene pelan, yang membuat Ririn semakin tak tega melihatnya.
Ririn memegang bahu Irene, mencoba menguatkan sahabatnya. Dia berada dalam posisi tidak bisa melakukan apa pun untuk membantunya selain menguatkannya seperti ini.
Tak lama kemudian, seorang petugas wedding organizer masuk ke dalam ruangan, memberitahukan bahwa acaranya akan segera dimulai.
Dengan gerakan super lambat, Irene bangkit berdiri dari duduknya. Dia pandangi penampilannya lagi sebelum beranjak pergi. Benar yang dikatakan Ririn, hari ini Irene memang terlihat sangat cantik.
Gaun pengantin berwarna putih bersih membungkus tubuh rampingnya. Gaun pengantin berlengan panjang namun transfaran di bagian lengannya. Tak banyak hiasan di gaunnya, hanya ada beberapa renda di bagian kerah dan pinggangnya. Bawah gaunnya menjuntai hingga menyapu lantai. Sedangkan rambutnya disanggul dengan amat rapi dan terdapat bunga melati yang melingkar menghiasi sanggulannya. Riasan di wajahnya juga tampak alami dan natural namun berhasil menunjukan kecantikan Irene sepenuhnya. Memang pada dasarnya wajah Irene sudah cantik meski tanpa riasan sekalipun.
Ririn bergegas membantu Irene merapikan bagian bawah gaun pengantinnya agar tidak terinjak sekaligus agar sahabatnya itu mudah berjalan.
“Lo temenin gue ya ampe acara ini selesei,” pintanya pada Ririn. Lagi-lagi Ririn menangkap kesedihan di wajah Irene. Ririn mengangguk disertai senyuman tipis tersungging dari bibirnya.
Mereka berdua pun melangkah menuju tempat acara. Pernikahan mereka memang dilaksanakan di mansion keluarga Altezza karena awalnya Adrian berniat menyelenggarakan pernikahan mereka di salah satu hotel miliknya. Namun, bergegas Irene menolaknya. Menikah di hotel mewah? Yang benar saja. Tentu saja tindakan itu hanya akan membuat publik tahu pernikahan ini, berbanding terbalik dengan keinginan Irene yang tak ingin pernikahannya diketahui publik.
Beruntung kali ini Reiki pun ikut membantunya membujuk Adrian agar mengurungkan niatnya. Pemuda itu benar-benar menepati janjinya untuk memenuhi semua persyaratan yang diberikan Irene. Jadilah setelah melalui perdebatan cukup panjang antara mereka dan Adrian, pernikahan pun diputuskan diselenggarakan di mansion ini.
Reiki lagi-lagi memenuhi janjinya pada Irene ketika dia pun menyarankan pada orangtuanya agar tak terlalu banyak mengundang orang. Dia hanya menyarankan untuk mengundang kerabat dan tetangga mereka saja. Entah dengan cara apa Reiki membujuk orangtuanya, karena faktanya mereka akhirnya menuruti keinginan Reiki. Hanya kerabat dan tetangga saja yang menghadiri pernikahan mereka. Hal itu cukup membuat Irene merasa lega. Kini teman-teman di kampusnya maupun publik tak akan tahu bahwa dirinya sudah menikah, dia juga tak perlu khawatir karirnya akan surut karena insiden pernikahan tak diharapkan ini.
Suasana tampak khidmat ketika upacara pernikahan mereka dilangsungkan. Setelah semua ritual dalam upacara itu selesai dilakukan, kini Irene dan Reiki telah resmi menjadi sepasang suami-istri. Semua orang tampak bahagia menyaksikannya. Terutama Adrian, Santy dan Ratna. Akhirnya apa yang mereka inginkan dapat terwujud yaitu menikahkan putra-putri mereka.
Tak berselang waktu lama, acara resepsi pun segera dimulai. Tentu saja sebelumnya, baik Irene maupun Reiki mengganti pakaian mereka dengan dibantu wedding organizer.
Kini mereka berdua sedang berdiri di pelaminan, menerima ucapan selamat dari semua tamu undangan yang hadir. Meski acara pernikahan mereka terbilang sederhana tapi cukup banyak tetangga yang datang sehingga suasana pun menjadi ramai.
“Ren, Rei, selamat ya.” Ririnlah yang saat ini sedang mengucapkan selamat pada pasangan pengantin. Dia memeluk Irene erat seraya mengelus pelan punggungnya berulang kali untuk menguatkan sahabatnya. Irene memang pandai berakting sehingga dia sukses menyembunyikan kesedihannya dari semua orang, tapi tidak dari Ririn. Ririn bisa melihat dengan jelas kesedihan yang sedang dirasakan sahabatnya itu. Dia bahkan sedang menahan mati-matian air matanya agar tidak jatuh, Ririn tahu betul itu.
“Lo yang kuat ya,” tambah Ririn, sebelum gadis itu melepaskan pelukannya pada Irene dan beralih menyalami Reiki.
“Gue titip sahabat baik gue sama lo ya. Tolong jangan sakitin dia.” Reiki tak mengatakan apa pun, kedua matanya dari balik kaca mata bulatnya hanya menatap Ririn datar. Beberapa detik kemudian, anggukan dia berikan sebagai responnya.
Satu per satu tamu undangan bergantian mengucapkan selamat pada pasangan pengantin. Irene sudah kesal setengah mati, kakinya terasa pegal karena entah sudah berapa jam dia berdiri seperti itu.
“Hei, kok banyak banget sih tamu undangannya? Kalau kayak gini sih bisa-bisa berita pernikahan kita tersebar kemana-mana,” bisik Irene, di dekat telinga Reiki yang berdiri di sampingnya.
“Tetangga gue emang banyak. Tapi lo gak perlu khawatir, gue sendiri yang mastiin mereka gak bakalan nyebarin soal pernikahan kita ke publik.” Irene mendesah lelah, pemuda yang sudah resmi menjadi suaminya itu tampak begitu tenang dan tak khawatir sedikit pun. Tentu saja, memangnya apa yang perlu dikhawatirkan oleh maniak game itu? Toh dia sama sekali tidak bekerja atau memiliki karir apa pun. Jauh berbeda dengan Irene yang merupakan seorang model terkenal. Bisa terjadi skandal luar biasa jika pernikahan ini sampai tercium media, skandal yang tentunya sangat mungkin bisa menghancurkan karirnya di dunia permodelan.
“Gue pegang kata-kata lo. Awas ya kalau ada apa-apa nantinya,” ancam Irene, kentara sekali dia belum bisa mempercayai ucapan Reiki, meskipun pemuda itu telah membuktikan bahwa dia bisa menepati janjinya akhir-akhir ini.
Resepsi pernikahan mereka selesai tepat jam 3 sore, semua tamu undangan telah pergi. Wedding organizer sedang membereskan kembali dekorasi pernikahan yang terpasang di mansion. Irene dan Reiki pun sudah berganti pakaian santai. Kini mereka sedang mengadakan makan malam bersama orangtua mereka, minus Ratna karena wanita paruh baya itu meminta izin pulang ke rumahnya untuk beristirahat.
Suasana hening di meja makan, tak ada seorang pun yang memulai pembicaraan. Merasa harus menjadi orang pertama yang mencairkan suasana, Santy pun mulai angkat bicara.
“Ren, kamu pasti capek banget, ya? Keliatan banget dari wajah kamu,” ucapnya. Irene yang sedang menunduk menatap makanannya itu akhirnya mendongak, menatap ke arah ibu mertuanya yang baru saja melontarkan pertanyaan padanya.
“Iya, Tante,” jawabnya seraya tersenyum ramah.
“Kok tante sih, jangan panggil tante lagi dong. Mulai sekarang panggil bunda ya,” pekik Santy, dia terkejut sekaligus tak suka karena Irene masih memanggilnya tante padahal kan sekarang dia sudah resmi menjadi ibu mertuanya.
“Eh, i-iya, maaf. Maksudnya Bunda,” ralat Irene cepat, menyadari ekspresi ibu mertuanya yang sepertinya tak suka karena dia masih memanggilnya tante.
“Kamu juga jangan panggil Om lagi ya, tapi panggil ayah.” Kali ini Adrian yang berucap sambil tersenyum lebar. Irene tak menyahut namun cepat-cepat mengangguk.
Betapa bahagianya Adrian, impiannya bersama mendiang sahabatnya akhirnya terlaksana. Kini keluarganya dan keluarga sang sahabat benar-benar menjadi kerabat karena hubungan pernikahan ini. Selain itu, dia pun bisa menggantikan mendiang sahabatnya untuk menjaga Irene mulai saat ini.
“Oh iya, besok kalian berangkat bulan madu ya. Ayah sama bunda udah siapin keperluan kalian termasuk tiket pesawat dan juga hotel.” Irene tersedak makanan yang dikunyahnya ketika Adrian tiba-tiba mengatakan itu.
‘Apa katanya? Pergi Bulan madu? Tidak, cukup pernikahan ini saja yang menyiksaku, tidak dengan bulan madu juga!’ batin Irene berteriak, tak terima.
“Nggak usah, Ayah. Kami berdua nggak perlu pergi bulan madu. Kami kan harus kuliah, aku juga ada beberapa jadwal pemotretan,” tolak Irene cepat, dia menoleh ke arah Reiki yang duduk tenang di sampingnya. Dia berharap Reiki akan membantunya lagi untuk menolak keinginan mertuanya ini.
Namun, seolah tak menyadari tatapan Irene, pemuda itu tetap tenang menyantap makanannya, tak sedikit pun menoleh ke arah Irene.
“Soal kuliah nggak usah khawatir, nanti ayah yang bilang ke pihak kampus minta izin satu minggu kalian gak masuk kuliah. Terus soal pemotretan itu, emangnya kamu gak bisa minta cuti dulu, Ren?”
“Nggak bisa, Yah,” jawab Irene tegas, kentara sekali wajahnya sedang risau sekarang. Sungguh, dia tidak mau kalau harus pergi berbulan madu dengan Reiki.
“Masa gak bisa, Ren? Ya udah Mas, coba nanti kamu aja yang ngomong ke manager-nya Irene. Bilang Irene minta cuti satu minggu.” Bukan hanya risau, sekarang Irene terbelalak kaget mendengar ucapan Santy. Tidak, berakhirlah sudah jika ayah mertuanya sampai bicara pada manager-nya, Ramses. Sebenarnya, pria itulah yang paling tidak Irene harapkan mengetahui perihal pernikahan ini. Jika boleh jujur, Irene tidak peduli meskipun semua orang tahu tentang pernikahan ini, kecuali Ramses. Dia tidak mau jika pria yang diam-diam disukainya itu sampai mengetahuinya.
“Ya udah, biar ayah aja yang ngomong ke manager-nya Irene.”
“Nggak usah, Yah,” sela Irene cepat. Apa pun yang terjadi dia tidak akan membiarkan ayah mertuanya bicara dengan Ramses.
“Biar Irene aja yang bilang ke dia dan minta dia memundurkan semua jadwal pemotretan Irene.” Adrian dan Santy tersenyum bersamaan, mereka senang karena akhirnya menantu mereka ini mau menuruti keinginan mereka.
“Bagus, berarti gak ada masalah ya, kalian bisa berangkat bulan madu besok?” tanya Santy, dengan tatapan berbinarnya pada pasangan yang baru saja resmi menjadi suami-istri.
“A-Aku gak keberatan, Bun. Tapi mungkin Reiki yang keberatan. Iya, kan, Rei? Bukannya kamu lagi ada ujian ya di kampus?” Irene mengarang cerita. Dia kembali menatap penuh harap pada Reiki. Berharap untuk kali ini Reiki mau membantunya.
“Kata siapa ada ujian di kampus? Gak ada kok,” jawab Reiki, yang sukses membuat harapan terakhir Irene hancur seketika. Entah karena pemuda itu bodoh atau pura-pura tak mengerti dengan sandiwara yang baru saja dilakukan Irene.
“Tapi kemarin kamu bilang lagi ada ujian di kampus. Kamu lupa, ya?” Irene masih tidak menyerah. Di bawah meja, Irene mencubit paha Reiki, mengisyaratkan padanya agar pemuda itu mau bekerja sama dengannya mengarang cerita ini.
Jika manusia normal pasti akan tersentak kaget atau meringis kesakitan setelah pahanya dicubit kencang, bukan? Namun, anehnya Reiki tak bereaksi apa pun, dia tetap memasang wajah datarnya seolah tak merasakan apa pun.
“Oh, ujian itu ya, kayaknya kamu yang lupa. Ujiannya udah kok kemarin,” sahut Reiki, seraya menepis kasar tangan Irene yang masih mencubit pahanya di bawah meja. Irene mendengus kesal yang dibalas Reiki dengan sebuah seringaian aneh.
‘Sialan, dia sengaja ya gak mau bantu gue!’ teriak Irene, dalam hati.
“Jadi, kamu bisa pergi bulan madu, kan, Rei?” Adrian memastikan sekali lagi.
“Ya, bisa kok.” Reiki menjawab dengan tenang seolah tak menyadari aura berbahaya yang menguar dari tubuh seseorang yang duduk di sampingnya.
“Emangnya kami mau bulan madu dimana?” tanya Reiki, penasaran karena orangtuanya sejak tadi belum menyebutkan tempat yang akan mereka tuju nanti.
“Korea Selatan. Kalian pasti suka. Bunda lho yang milihin.” Santy berucap dengan girang. Dia sangat yakin putra dan menantunya akan menyukai negara yang dipilihnya itu.
“Gimana? Kalian setuju kan sama pilihan bunda?” tanyanya antusias.
“Hm, boleh juga,” sahut Reiki. Sedangkan Irene masih diam mematung.
“Ren, gimana menurut kamu?” Santy mengalihkan tatapannya pada sang menantu yang belum juga merespon.
“I-Iya, Bun. Seneng deh bisa liburan di korea,” jawabnya, sembari tersenyum palsu.
Wanita paruh baya itu tidak tahu saja di dalam hatinya, Irene bertekad akan menyiksa Reiki di saat mereka bulan madu nanti. Dia akan membuat sang suami menyesal karena sudah menyetujui rencana bulan madu ini.