LEVEL 5

2097 Kata
Irene membuka sebuah daun pintu, dimana di balik pintu tersebut terdapat sebuah ruangan yang akan ditempati olehnya selama tinggal di mansion Altezza. Pandangan matanya berbinar dengan bibirnya yang terbuka tampak takjub ketika melihat pemandangan di dalam kamar.  Kamar itu cukup luas, terdapat sebuah ranjang berukuran king size yang sudah dihias sedemikian rupa sehingga terlihat begitu indah. Ada sepasang nakas di samping kiri dan kanan ranjang. Lampu tidur antik diletakan di atas kedua nakas. Ada sederet sofa berwarna putih diletakan pula di kamar tersebut. Meja belajar dan beberapa alat elektronik pun tak lepas diletakan di dalam kamar. Melihat berbagai elektronik itu, Irene menyadari bahwa pemilik kamar ini pastilah Reiki yang mulai hari ini telah resmi menjadi suaminya.  “Ini kamar lo ya?” tanyanya pada Reiki yang juga sedang berada di dalam kamar. Reiki hanya merespon dengan anggukannya. Memang benar kamar itu miliknya.  “Jadi gue harus tidur sekamar sama lo? Yang benar aja.” Sanggah Irene tak terima. Meskipun sudah resmi menyandang sebagai istri Reiki, tapi dia tentu saja tidak mau jika harus tidur sekamar dengan pria itu.  “Kita kan udah nikah, jadi wajar dong kita tidur sekamar.” Irene mendengus mendengar jawaban Reiki yang terdengar enteng di telinganya. Pria itu bersikap seolah dia melupakan persyaratan yang diberikan Irene sebelum mereka melangsungkan pernikahan. “Lo lupa persyaratan dari gue?” “Seinget gue, di tiga syarat yang lo ajuin gak ada tuh syarat lo tidur beda kamar sama gue.” “Tapi...” “Lo tenang aja, gue gak bakalan langgar syarat lo yang udah gue setujuin. Lagian asal lo tahu, gue gak bakalan tergoda meskipun sekamar sama lo. Jadi lo gak usah khawatir, gue gak bakalan sentuh lo kok.” Irene menggeretakan giginya kesal. Seharusnya dia senang karena Reiki masih mengingat persyaratan yang diberikan olehnya, tapi entah mengapa mendengar kata-kata pria itu barusan, membuat Irene sangat kesal. Bagi Irene, kata-kata Reiki seolah mengatakan secara tidak langsung bahwa dirinya sama sekali tidak menarik di mata pria itu, padahal selama ini banyak pria yang mengejarnya. Irene tak suka mendengarnya.  “Gue... tetep gak mau sekamar sama lo.” Ucapnya tetap menolak sekamar dengan Reiki. Lagipula dia belum bisa mempercayai sepenuhnya kata-kata pria itu. Bagaimana jika saat dia terlelap, Reiki memanfaatkan situasi itu untuk menyentuhnya? pikiran Irene mulai melayang memikirkan hal-hal tidak senonoh yang mungkin saja dilakukan Reiki padanya selama dia sedang tidur.  “Lo pikir gue juga mau sekamar sama lo?” gue juga gak mau kok. Tapi ya... selama kita tinggal disini, mau gak mau kita harus tidur sekamar.” “Tapi...” “Inget syarat yang gue ajuin, kita gak boleh ngecewain ortu kita.” Sela Reiki cepat, entah disadari atau tidak olehnya, sukses membuat Irene jengkel bukan main. Irene jengkel karena ucapannya selalu disela sebelum dia selesaikan apa yang ingin dikatakannya. “Huuh... lo emang nyebelin. Bisa gak sih jangan nyela kalau gue lagi ngomong? Kalau ada orang lagi ngomong itu, didengerin dulu ampe beres. Bukannya...” “Lo mau mandi duluan atau gue dulu?” Irene menjambak rambutnya frustasi, tak peduli meskipun riasan rambutnya jadi berantakan karena ulahnya. “Lo ini ya, baru dibilangin jangan suka menyela omongan orang.” Reiki menatap Irene tanpa kata, jangan lupakan raut datarnya yang membuat Irene rasanya ingin pergi dari hadapannya detik itu juga. Dia tidak tahan menghadapi pria yang bagaikan es di depannya itu.  “Ya udahlah terserah lo. Lo emang nyebelin, ampe kapan pun bakalan tetep nyebelin.” Katanya seraya mulai melangkah menuju kamar mandi.  “Ck... kenapa sih gue harus nikah sama tu cowok? Bisa darah tinggi gue lama-lama ngomong sama dia.” Gerutunya sambil berdecak berulang kali.  Dia melepas pakaiannya dan mulai melakukan aktivitas mandinya dengan cepat. Dia lelah... dia ingin segera merebahkan tubuhnya yang pegal-pegal di kasur empuk. Namun dia terenyak ketika mengingat telah melupakan sesuatu.  “Duuh... b**o banget sih gue, gue lupa koper baju gue ada di ruang rias. Gimana gue mau ganti baju?” gumamnya.  Dia menelisik seisi kamar mandi, hanya terdapat sebuah handuk saja disana. Rasanya tidak mungkin, dia keluar dengan hanya menggunakan handuk terutama disaat ada Reiki di dalam kamar. Akhirnya dia memakai kembali pakaian yang dikenakannya tadi.  Dia keluar kamar, didapatinya sosok Reiki sedang duduk di atas ranjang. Reiki bangkit berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Sekarang giliran dia yang akan melakukan aktivitas mandi.  “Baju lo ada di lemari ini, bunda udah siapin baju buat lo.” Katanya seraya menunjuk ke arah lemari berwarna putih sesaat sebelum dia masuk ke dalam kamar mandi. Irene mengernyit namun tetap melangkah menuju lemari yang dimaksud Reiki. Dia buka pintu lemarinya dan betapa terkejutnya dia ketika melihat isi lemari tersebut. Banyak gaun indah yang menggantung disana, bukan hanya gaun mahal tetapi semua pakaian yang berada di dalam lemari itu terlihat berkelas yang sudah pasti harganya selangit.  “Waah... Bunda baik banget beliin gue baju sebanyak ini. Merk kelas atas semua lagi.” gumamnya terpesona, senyuman mengembang di bibirnya. Dia memilih salah satu piyama tidur yang tertutup karena cukup banyak pakaian tidur yang terbuka dan seksi di dalam lemari. Tentu dia tidak mungkin memakainya.  Setelah selesai berganti pakaian, dia pun kembali melihat-lihat seisi kamar. Dia menghampiri alat-alat elektronik yang sekali lihat saja, Irene tahu itu alat-alat untuk bermain game. Dia mendengus, seperti dugaannya hidup Reiki memang tak bisa lepas dari game.  “Ternyata dia maen GHO juga ya.” dia kembali bergumam ketika menemukan kaset game online GHO yang beberapa saat lalu, dia promosikan di media. Game online yang saat ini sedang melejit di pasaran Indonesia. Semua orang seolah terhipnotis dengan permainan yang disuguhkan dalam game itu, Irene tak heran Reiki yang maniak game bisa ikut terhipnotis.  Atensinya dari kaset teralihkan ketika seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dia bergegas menuju pintu dan tanpa ragu membuka pintunya. Santy... sang ibu mertua tersenyum menatap ke arah menantunya yang baru saja membukakan pintu untuknya.  “B... bunda.” Panggil Irene sedikit terkejut. “Ini bunda bawakan koper kamu Ren.” Sahutnya seraya menyerahkan koper milik Irene yang dibawanya “Ya ampun Bun, padahal gak usah repot-repot begini.” “Gak apa-apa, sekalian bunda pengen tanya pendapat kamu soal kamarnya. Gimana, kamu suka? Bunda sendiri lho yang rias?” Santy melongokan kepalanya ke dalam kamar, bola matanya bergulir menatap seisi kamar putra dan menantunya. Entah apa yang sedang dicarinya.  “Iya bun, aku suka. Kamarnya indah.” Jawab Irene seraya menggeser tubuhnya agar sang ibu mertua bisa masuk ke dalam. “Bunda silakan masuk.” Tambahnya, namun dibalas kibasan tangan oleh Santy. “Tidak... tidak, bunda cuma pengen liat Reiki lagi apa di dalam. Kok dia gak ada?” “Oh Reiki lagi mandi, bun.” “Ya udah kamu masuk aja ke dalam Ren, selamat menempuh hidup baru ya sama anak bunda. Selamat berjuang juga di malam pertama kalian, Bunda berharap banget sama kalian berdua bisa ngasih cucu yang banyak buat keluarga ini.” Santy mengedipkan sebelah matanya, entah dia menyadarinya atau tidak raut terkejut yang berlebihan terpatri di wajah Irene. Dia benar-benar terkejut mendengar permohonan ibu mertuanya sekaligus merasa bersalah karena sepertinya dia dan Reiki tidak bisa mengabulkan keinginannya itu.  Irene kembali menutup pintu setelah sosok ibu mertuanya sudah melangkah menjauh. Dia duduk di atas ranjang memikirkan dengan seksama perkataan ibu mertuanya barusan. Dia merasa bersalah sekarang, Santy berbicara dengan tulus ketika mengutarakan harapannya, sedangkan Irene tak mungkin bisa mengabulkannya. Pernikahan ini hanya sebuah keterpaksaan dan Irene tidak pernah berencana untuk memiliki anak bersama Reiki. Sebenarnya dia ingin secepatnya terbebas dari pernikahan ini, namun akan cukup sulit mengingat persyaratan Reiki yang diberikan padanya. Suaminya itu memberikan syarat agar mereka tidak pernah melakukan perceraian karena alasan apa pun.  Merasa pusing memikirkan pernikahannya yang terlalu rumit, Irene akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Dia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Niat awalnya ingin memejamkan matanya, namun dia urungkan ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka.  Sosok Reiki yang baru menyelesaikan mandinya muncul dan berjalan perlahan ke arah tempat tidur. Irene membulatkan kedua matanya seraya meneguk salivanya susuah payah ketika menatap sosok Reiki di depannya.  Entah apa yang dipikirkan pria itu, mungkinkah dia lupa ada Irene di dalam kamarnya? Dengan berani atau tanpa tahu malu, dia keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang d**a, hanya celana pendek selutut yang dikenakannya saat ini. Seketika wajah Irene merona ketika tatapannya tertuju pada d**a bidang dan otot kekar yang menghiasi tubuh tegap Reiki.  ‘Sial, tubuhnya seksi juga.’ Gumamnya dalam hati.  “Ren... lo sakit ya? muka lo merah.” Irene salah tingkah dan entah mengapa jantungnya berdegup kencang ketika ditatap seintens itu oleh Reiki. “L... lo kenapa gak pake baju? Sengaja ya mau godain gue? Dasar cowok m***m!” sahutnya sedikit berteriak menahan malu. Reiki mencuramkan kedua alisnya heran. m***m katanya? Bukankah kata m***m itu lebih cocok disematkan pada Irene yang merona dan salah tingkah hanya karena melihat seorang pria bertelanjang d**a di depannya?  “Gue udah biasa tidur kayak gini.” Timpal Reiki cuek seraya ikut merebahkan tubuhnya di samping Irene, sontak hal itu membuat Irene bergegas bangun dari berbaringnya. Matanya melotot menatap ke arah Reiki yang tidur dalam posisi tengkurap di sampingnya.  “L... Lo mau ngapain?” tanyanya gugup, tanpa sadar dia memeluk dirinya sendiri, mengantisipasi jika Reiki tiba-tiba menyerangnya tanpa aba-aba. “Udah jelas kan, gue mau tidur. Ngapain pake nanya segala?” “Terus lo mau tidur di ranjang ini sama gue gitu? Enak aja... gue gak mau tidur sama lo!” Irene mencoba mengatur napasnya yang mendadak tak beraturan, tentu saja dia kesal pada sikap Reiki yang selalu seenaknya. Sangat egois menurut Irene.  “Ini ranjang gue, udah pasti gue tidur disini.” Jawab Reiki lagi-lagi dengan nada dingin dan datar seolah tak sadar tatapan tajam yang sedang dilayangkan Irene padanya. “Lo tidur di sofa aja sana.” “Lo aja yang tidur di sofa.” “Jadi lo gak mau ngalah sama cewek?” Irene geram, selain menyebalkan ternyata suaminya itu sangat keterlaluan. Lihatlah... dia bahkan tidak mau berkorban demi seorang gadis? “Gue gak larang lo kalau mau tidur di ranjang ini sama gue. Tapi kalau lo gak mau, ya udah sana tidur di sofa aja. Keputusannya ada di tangan Lo.” Ucapan terakhir Reiki sebelum dia melepas kacamatanya dan membenarkan posisi tidurnya menjadi telentang.  Irene sudah kehilangan kesabarannya. Ternyata benar dugaannya selama ini, Reiki tipe cowok egois yang tak mempedulikan orang lain. Dia bahkan tak mau berkorban demi seorang gadis sepertinya. Akhirnya Irene yang mengalah, dia turun dari atas ranjang dengan bibirnya yang mengerucut lucu. Dia mengambil serta bantal dan gulingnya.  “Gue doain lo mimpi buruk, dasar cowok jahat.” Gerutunya sebelum melangkah mendekati sofa.  Dia merebahkan tubuhnya di sofa, mencari posisi nyaman agar bisa tidur karena jujur saja dia sudah begitu mengantuk dan lelah.  Akan tetapi, mungkin karena dirinya yang sudah terbiasa tidur di kasur yang empuk, tentu saja tidur di sofa merupakan siksaaan untuknya. Meski sudah berusaha memejamkan kedua matanya, dia tetap tak bisa terlelap barang sedetik pun. Dia bangun dari posisi tidurnya, mendudukan dirinya di sofa dengan bibirnya yang cemberut.  Dia melirik sebal ke arah Reiki yang sepertinya sudah berpetualang di dunia mimpinya.  “Isshh... ada gitu cowok egois kayak dia? Makin benci aja gue sama dia.” Gerutunya pelan. Cukup lama dia memandangi Reiki dari sofa, ketika tiba-tiba sebuah ide jahil terbesit di benaknya. Dia tersenyum jahat ketika berpikir tidak ada salahnya menjahili pria itu dalam tidurnya, anggap saja sebagai hukuman karena pria itu tidak mau mengalah padanya.  Irene bangkit berdiri dan berjalan mendekati meja belajar Reiki, dia membuka laci meja dan tersenyum puas ketika menemukan spidol permanen di dalamnya. Dia berniat akan menggambar di atas wajah Reiki, membuat wajahnya sejelek mungkin, terutama dia menggunakan spidol permanen jelas akan membuat Reiki kesulitan untuk menghapusnya nanti. Dia tidak peduli meskipun Reiki akan marah nantinya, toh ini juga karena kesalahannya sendiri sudah membuat Irene marah.  Irene berjalan mendekati Reiki yang sedang tidur pulas. Dia membuka tutup spidol dan membungkuk mendekati wajah Reiki agar mudah mencoret-coret wajah pria yang sudah resmi berstatus sebagai suaminya itu.  Namun... tiba-tiba dia tertegun sejenak. Dia diam bagaikan patung dengan kedua matanya yang tertuju pada wajah Reiki yang tanpa kacamatanya. Meskipun kedua matanya sedang terpejam tapi paras tampannya masih tercetak jelas. Jantung Irene tiba-tiba berdentum-dentum dengan cepatnya. Entah setan apa yang sudah merasukinya karena tatapan matanya tertuju pada bibir Reiki yang sedikit terbuka. Katakan dia gila karena tiba-tiba terbesit keinginan untuk mengecup bibir itu di benak Irene.  ‘Dia keren kalau gak pake kacamata.’ Batinnya seraya meneguk saliva keringnya. Cepat-cepat Irene menggeleng dan memukul kepalanya sendiri ketika menyadari kebodohan yang baru saja dilakukannya. Bagaimana bisa dia menganggap pria yang dibencinya ini keren? Akh... pasti dia sudah tidak waras.  Dia kembali melangkah cepat menuju sofa yang malam ini mau tidak mau akan menjadi tempat tidurnya. Entah menguap kemana niat awalnya untuk menjahili Reiki karena kini niat itu seolah tak diingatnya lagi.  Dia pegangi d**a kirinya, jantungnya masih berdentum dengan cepatnya. Sesuatu yang tidak pernah dialaminya ketika berdekatan dengan Reiki.  “Gue kenapa sih jadi gugup gini cuma karena liat wajah dia tanpa kacamata? Gue pasti udah gila anggap dia keren tadi.” Gumamnya pada diri sendiri. Sekali lagi dia melirik ke arah Reiki yang masih belum merubah posisi tidurnya.  “Coba lo tiap hari gak pake kacamata Rei, kacamata itu bikin lo keliatan culun tahu gak? Ya udahlah... gue maafin lo kali ini.” Gumamnya seraya mulai memejamkan kedua matanya. Besok pagi mereka akan berangkat ke Korea untuk bulan madu, Irene harus bisa tidur malam ini bagaimana pun caranya. Tanpa dia sadari, Reiki perlahan membuka kedua matanya. Dia tersenyum tipis, gumaman Irene tadi sepertinya didengarnya tanpa sepengetahuan Irene. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN